15 - KEPUTUSAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nico berkali-kali meremas tangannya. Dia sekuat tenaga menahan diri agar tidak merogoh saku blazer untuk mengambil rokok. Pandangannya sesekali beranjak dari bagian belakang kepala Raja karena Nico tidak bisa terus-terusan meremas hatinya. Meski wajah pria itu tidak mampu dilihatnya, Nico bisa dengan jelas merasakan ketenangan dan ketegaran Raja melalui bahasa tubuhnya dan itu membuat Nico muak.

Tiap kali niat meninggalkan ruang sidang muncul, Eli dengan cekatan menahan lengannya. Adiknya itu seperti bisa membaca isi pikiran Nico dengan tepat. Dia awalnya menolak hadir pada persidangan, tetapi Nico tidak bisa mengelak saat Raja memintanya hadir. Masih tercetak dalam ingatan Nico tentang keinginan Raja untuk melihat Nico pada hari yang akan memutuskan masa depannya.

Nico mengunjungi Raja dua kali sebelum sidang dan percakapan mereka jauh lebih mudah setelah Nico menumpahkan perasaan di depan pria itu. Sikap Nico pun berubah menjadi lebih lunak karena sadar ada batas yang kali ini tidak bisa dia tembus. Usahanya mengubah pikiran Raja tidak membuahkan hasil. Raja justru tampak semakin siap untuk menjalani kehidupan barunya.

Meyakini status Raja yang tidak akan berubah, Nico sempat berpikir untuk mengingkari permintaan Raja. Dia merasa tidak ada perlu duduk dan mendengar keputusan hakim ketika hasilnya sudah dia ketahui jauh-jauh hari. Namun argumen yang diberikan Eli—terutama soal memberikan dukungan moral—tanpa lelah pada akhirnya berhasil meyakinkan Nico.

Tatapan mereka sempat bertemu, tetapi Nico tidak bisa membalas senyum yang diberikan pria itu. Masih ada kejengkelan yang dipendamnya atas keputusan Raja untuk menyerahkan kebebasannya atas nama moral.

Eli meraih tangan Nico dan meremasnya lembut meski tangan kakaknya berkeringat. "Lo tahan diri, Mas. Sebentar lagi hakim akan ngejatuhin vonis."

Nico bahkan tidak berusaha memahami setiap menit jalannya sidang. Pandangannya selalu tertuju ke Raja dan pikirannya masih menelusuri berbagai kemungkinan yang bisa saja dilakukannya untuk mencegah Raja ada di kursi tertuduh saat ini.

Satu-satunya hal positif yang didapat Nico dari kejadian ini adalah keberanian untuk bersikap jujur terhadap hatinya sendiri. Dia yakin sikapnya tidak akan berubah andai Raja tidak berada dalam situasi seperti ini.

Menepuk tangan Eli pelan, dia berbisik pelan, "Nggak seharusnya gue di sini."

"Itu harga yang harus lo bayar buat kekeraskepalaan hati lo selama ini. Ini hal paling gampang yang bisa lo lakuin buat dia," balas Eli ketus.

Nico memang tidak bisa menyalahkan Eli. Konsekuensi ini jauh lebih ringan dibanding jika dia harus kehilangan Raja di tangan orang-orang yang menganiayanya. Nico selalu bergidik membayangkan kemungkinan tersebut.

"Gue yakin vonis buat Raja nggak akan lama. Palingan 3-4 tahun, apalagi dengan sikap dan tanggung jawab dia. Hakim nggak akan ngejatuhin vonis maksimal buat orang kayak Raja."

"He's not made for this, Eli," ucap Nico lirih.

Eli membalasnya dengan senyum. "Gue seneng liat lo begini, Mas. It feels good, right? Coba dari dulu lo jujur sama hati lo sendiri, mungkin Raja nggak perlu ada di sini."

Nico tidak pernah menyangka bahwa melepaskan topeng yang bertahun-tahun dipasangnya demi seorang pria terasa begitu melegakan. Masih ada ketakutan yang terus menguntitnya, tetapi Nico sudah menyiapkan diri untuk itu. Terkadang ada dorongan untuk menyalahkan diri sendiri karena menyadari semuanya saat kebebasan Raja justru terenggut. Namun Nico belum kehilangan pria itu. Masih ada yang bisa dilakukannya meski semuanya tidak sebebas dulu.

Menarik napas dalam, Nico memejamkan mata saat hakim membacakan vonis. Dia mengisi pikirannya dengan hal paling remeh supaya bisa mengeliminasi apa yang akan didengarnya. Genggaman tangan Eli semakin kuat dan dia hanya diam saat menyaksikan kedua mata kakaknya terpicing.

Nico hanya membuka mata setelah hakim menjatuhkan vonis tiga tahun bagi Raja. Dipandangnya pria yang terlihat lega begitu tahu waktu yang harus dijalaninya di dalam penjara. Dia masih tidak percaya Raja terlihat begitu tenang hingga terkesan tanpa emosi. Pria itu sempat menatap Nico setelah menerima putusan hakim dan dalam hitungan detik tatapan mereka bertemu, Nico hanya bisa diam. Dia masih tidak bisa tersenyum.

Tanpa menunggu Raja digiring keluar dari ruang sidang, Nico beranjak dan melepaskan genggaman tangan Eli. Dia tidak bisa berada di tempat ini lebih lama.

Nico mempercepat langkah menuju tempat parkir. Dengan gerakan tergesa, Nico mengeluarkan rokok dari saku blazer dan menyalakannya dengan tangan gemetar. Setelah ujung rokoknya tersulut, dia membuka blazer hingga punggung basahnya tampak jelas. Mesin pendingin ruangan yang ada di ruang sidang tidak mampu mengurangi rasa gerah yang dirasakannya. Dia tidak bisa melampiaskan emosi di sini, sedangkan itulah satu-satunya hal yang ingin dilakukannya.

"Mas Nico, tunggu!"

Dia bahkan tidak berhenti agar Eli bisa menyusul. Dia hanya menoleh dan dengan nada sedikit meninggi, berseru, "Buka pintu mobil!"

Begitu mendengar bunyi beep beep, Nico membuka pintu mobil dengan penuh emosi dan duduk. Dia tidak peduli jika matahari tepat berada di atas kepalanya. Nico bahkan tidak mengindahkan jika rokok yang diisapnya tidak memberikan rasa tenang seperti yang biasa dia dapatkan. Dia melakukannya atas nama frustrasi karena tidak bisa meluapkan kemarahan.

"Lo tenangin diri dulu, lalu abis itu kita makan," ucap Eli sambil menyilangkan lengan di depan Nico. "Lo masih nggak terima Raja nyerahin dirinya gitu aja?"

"Gue cuma nggak bisa berhenti ngebayangin apa yang bisa terjadi sama dia di penjara, El. It's not the friendliest places on earth. Banyak orang rese di sana yang bisa ngelakuin apa aja Cuma buat seneng-seneng. Raja nggak akan bisa bergaul sama orang seperti mereka. He's too good to be there!"

"Gue yakin Raja tahu soal itu."

Nico menggeleng cepat sambil mengisap rokoknya yang hampir habis. "Kalau dia tahu, dia nggak akan setolol itu nyerahin kebebasannya."

"Buang deh rokok lo, Mas. Kita makan sekarang sebelum lo bener-bener ngerusak properti negara."

Dengan segera, Nico keluar dari mobil dan membuang rokoknya ke tempat sampah. Ada keinginan untuk menendang tong sampah di hadapannya, tapi dia menahan diri.

***

"Lo jangan lupa urusin BERANDA, Mas. Gue baca lo masih nyebutin kasus Jacinda dan Bang Cakra."

Nico mengangguk. Dia memang berharap Eli tidak akan membahas Raja selama makan siang. "Kasus gue aja nggak ada kabar, Eli. Jadi satu-satunya yang bisa gue dan temen-temen lakuin adalah terus ngingetin tiap bulan. Kami nggak bisa nuntut buat kasus penganiayaan itu diusut tuntas, tapi bukan berarti kami diem. Gue percaya suatu saat, semua kasus ini bakal nemuin titik terang."

Nico telah melepaskan harapan kasusnya akan diusut dengan tuntas. Dia hanya membuang waktu dengan berharap manusia-manusia yang menganiayanya akan tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Jika kasus seberat Jacinda bisa ditangguhkan, penganiayaan yang dialaminya beberapa bulan lalu jelas menjadi tidak lebih penting.

"Lo mau pergi dari Jakarta buat beberapa hari? Nyegerin otak lo."

"Nggak peduli gue ada di mana, pikiran gue bakal tetep di sini, Eli," jawab Nico setelah menyingkirkan piring yang masih menyisakan sedikit wagyu steak. Dia menyesap red wine g demi mengurangi ketegangan yang belum juga reda. Eli berusaha melarangnya, tetapi Nico bersikeras. Saat ini, Nico rela melakukan apa saja demi menumpulkan logika dan emosinya.

"Seenggaknya lo bisa ngembaliin fokus, Mas. Gue pesenin tiket ke Bali, ya?"

"Nggak usah. Gue nggak mau utang sama lo."

Eli membanting serbet yang dipegangnya ke atas meja. "Lo pernah nganggep gue adik nggak sih? Kok sama gue segitunya?"

Menyadari kesalahannya, Nico mendesah pelan. "Bukan gitu maksud gue. Gue nggak mau ke mana-mana, Eli. Gue bisa ngembaliin fokus sekarang juga kalau emang gue butuh. Apa yang terjadi sama Raja nggak akan ngaruh ke produktivitas gue."

Belum sempat Eli membalas, tubuhnya tiba-tiba menegang dan pandangannya terpaku pada pintu restoran yang baru saja terbuka. Fokusnya bukan pada wanita semampai yang mengenakan terusan kuning gading dengan rambut sebahu, tapi pada gadis kecil yang sedang berjalan di sampingnya. Seperti menyadari pandangannya telah beralih cukup lama dari Nico, Eli kembali menatap kakaknya.

Namun terlambat.

"Lo liat apaan, sih?" tanya Nico sambil menoleh, berusaha menemukan apa yang membuat adiknya tiba-tiba tertegun.

Eli tersenyum tipis sebelum menggeleng. "Nothing. Gue ngira liat temen yang udah lama nggak ketemu, tapi bukan."

"Lo beneran nggak bakal kena masalah di kantor gara-gara nemenin gue, kan?"

Eli menggeleng terlalu cepat. "Nyante aja, Mas. Eh, gue ke toilet bentar, ya?" Dengan pelan, dia memundurkan kursi dibarengi senyum.

Sepeninggal Eli, tidak ada lagi yang mampu mencegah pikirannya untuk kembali ke Raja. Ketakutan terbesarnya adalah jika dia tidak bisa menekan rasa kehilangan dan mulai merindukan kehadiran Raja. Inilah yang tidak disukainya dari meruntuhkan semua pertahanan atas nama perasaan. Ada kehilangan yang mengganggunya. Berkali-kali dia meyakinkan diri bahwa kesedihan itu hanya bersifat sementara. Dia akan terbiasa dengan ketidakhadiran Raja. Yang dibutuhkannya cuma waktu untuk beradaptasi dengan hatinya.

"Om Nico!"

Seruan itu cukup membuat Nico terperanjat. Bukan karena volumenya, tetapi hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya dengan sebutan itu. Degup jantungnya seketika menjadi lebih cepat. Dia berharap suara itu datang dari alam bawah sadar, tetapi saat Nina berdiri di samping meja seraya memberikan senyum lebar, Nico tahu dia tidak bermimpi.

Nico tidak tahu bagaimana harus bereaksi, hingga yang diberikannya kepada Nina hanyalah sebuah tatapan kosong.

"Om Nico sama siapa?"

Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu hingga yang lantas keluar dari mulutnya adalah kegagapan untuk membentuk satu kalimat utuh. Belum sempat dia meredakan kebingungan untuk membalas Nina, seorang wanita yang mengenakan terusan warna kuning gading dan rambut sebahu mendekati mereka. Nico tidak perlu bertanya siapa wanita itu karena namanya terlalu sering terucap darinya dan Raja.

Meski belum pernah bertemu Sandra, tidak mungkin pandangan Nico menipunya saat ini. Ketakutan yang selama ini berhasil diredam, menjeratnya lagi tanpa ampun. Kali ini, Nico tidak akan bisa lepas.

"Nina, kamu ngapain ke sini? Makan siang kamu belum abis."

Nina menunjuk Nico. "Nina mau nyapa Om Nico. Dia temen Papa, Ma. Nina pernah ke rumah sakit buat liat Om Nico yang tiduran terus. Nina pernah bobok siang di apartemen Om Nico juga, tapi Papa tiba-tiba nyuruh Nina bangun."

Cerocos Nina membuat Nico tidak berkutik. Pandangannya dan Sandra bertemu tanpa bisa dia hindari. Dia mengamati wanita yang bayangannya telah begitu lama menjadi bagian dari hubungannya dengan Raja. Baginya, Sandra terlihat seperti wanita kelas atas pada umumnya. Tampilannya tidak mencolok, tetapi keanggunannya jelas mustahil dibantah. Keinginan Nico untuk bisa membaca pikiran Sandra tidak pernah sebesar ini. Dia ingin bisa bersikap normal, terlepas dari ucapan Nina yang telah membuat pertemuan pertama mereka menjadi canggung.

"Nina kembali ke meja kita. Mama susul kamu sebentar lagi."

Nico terlambat bereaksi hingga belum sempat menanggapi ucapan Nina, bocah kecil dengan gontai meninggalkan meja Nico setelah melambaikan tangan—yang sama sekali tidak dibalas Nico. Sekarang Nico benar-benar tidak menyukai tempat ini.

"Ada beberapa kesempatan di mana Raja nyebut nama kamu. Perlu waktu buat saya tahu siapa kamu sebenarnya setelah mengecek ponsel Raja." Senyum yang diberikan Sandra seperti ingin menunjukkan bahwa tidak ada penyesalan karena telah melanggar privasi suaminya. "Kamu ingin tahu alasan saya meninggalkan Raja dan Nina selama beberapa bulan? Saya perlu menyucikan diri dari pria yang ternyata punya kehidupan ganda seperti Raja. Dengan hukuman yang dijalaninya sekarang, saya jadi punya alasan lebih kuat untuk menceraikannya. Nina berhak untuk mendapatkan ayah yang jauh lebih normal daripada Raja. Kasihan jika Nina tahu bahwa ayahnya jauh dari kata normal. Saya nggak akan membiarkan Raja mengacaukan hidup Nina."

Nico menahan kegeramannya mendengar hinaan yang dilontarkan Sandra. Jika mereka berada di tempat yang lebih privat, Nico tidak akan segan membalasnya dengan kata-kata yang jauh lebih kasar. Namun dengan semua kejadian yang seperti menumpuk dan mencapai puncaknya hari ini, dia yakin kemarahannya akan melibatkan bentakan dan tangannya akan merusak benda-benda yang bisa dicapai tangannya. Dia tidak akan mempermalukan dirinya dan Eli demi ego yang tersentil oleh ucapan Sandra. Alih-alih, dia menantang wanita itu dengan tidak menurunkan pandangan.

"Anda pikir saya akan lebih percaya kata-kata Anda daripada Raja?" Nico menggeleng. "Saya cukup bisa menilai karakter seseorang dengan objektif. Raja jauh lebih terhormat daripada Anda." Nico membasahi tenggorokan sebelum melancarkan senjata utamanya. "Asal Anda tahu, seksualitas Raja bukanlah sebuah keabnormalan hingga butuh penyucian seperti yang Anda katakan. Setidaknya, dia lebih punya moral dan tanggung jawab daripada Anda yang tidak punya sedikit pun malu karena menyembunyikan tangan di belakang atas perbuatan Anda sendiri. Wanita mana yang bisa terang-terangan berselingkuh lantas mengultimatum suaminya saat dia meminta cerai? Ibu mana yang bisa meninggalkan anaknya berbulan-bulan dan membiarkan suami yang dia ultimatum mengurusi semuanya? Maling teriak mal—"

Kalimat Nico terpotong oleh tamparan Sandra.

Tidak ada suara keras yang muncul karena Sandra membuatnya seperti sedang membelai pipi Nico. Tapi justru tamparan dari jarak dekat itu membut Nico sempat meringis.

"Kalian berdua sama-sama menjijikkan!"

Dengan kalimat itu, Sandra meninggalkan meja Nico dengan kaki yang dientakkan.

Nico mengelus pipinya yang terasa sedikit perih, tetapi ada kelegaan yang membuatnya tersenyum. Sesaat kemudian, Eli muncul dan langsung duduk kembali di kursinya.

"Lo nggak papa, Mas?"

Nico menggeleng. "Gue baik-baik aja."

Memasang tampang yang tidak diragukan lagi sebagai bentuk rasa bersalahnya, Eli menghela napas. "Maafin gue, Mas. Gue sengaja nahan diri buat nggak nyamperin lo karena gue tahu, lo berdua punya sesuatu yang harus diluruskan. Apa pun definisi itu bagi kalian."

"Thanks, El. I needed that."

"Kita balik sekarang?"

Nico mengangguk. "Gue ngerasa aneh, El," ucapnya tanpa bisa menyembunyikan senyum. "Gue ngerasa ini sebuah closure bagi Raja dan Sandra. Gue tahu mereka masih akan ketemuan demi Nina, tapi gue lega Raja akhirnya lepas dari wanita seperti itu. Gue bahagia Raja nggak harus berurusan lagi sama Sandra, kecuali jika berhubungan dengan Nina. She doesn't deserve him at all."

Eli yang sudah meraih clutch dan bersiap bangkit, menyilangkan lengannya di atas taplak putih untuk mengamati kakaknya. Dia menelengkan kepala sementara wajahnya terlihat penuh pertimbangan. "Lo beneran sayang sama Raja ya, Mas?"

Senyum yang sebelumnya tampak lebar, berangsur pudar. Nico mendesah pelan sebelum memusatkan pandangannya pada Eli. "I care for him deeply, that I don't know if I can call it anything but that, at least for now."

"That's enough for now, isn't it?"

Balasan yang diberikan Nico hanyalah sebuah anggukan. "It is enough, Eli."

***


Dear all,

Maafkan saya yang 'nelantarin' cerita ini cukup lama. Saya harus pindah ke tempat baru akhir bulan lalu dan adaptasi di tempat baru nggak pernah gampang, apalagi buat nulis. But, saya nggak lupa kok sama cerita ini atau males ngelanjutin. Buktinya saya update sekarang kan? Hehehe.

I hope you enjoyed this part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro