17 - TANPA PILIHAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Melakukan hal sesederhana menggerakan jari, Nico masih membutuhkan sebagian besar tenaganya. Tubuhnya masih dipenuhi nyeri hingga dia tidak bisa banyak bergerak sekalipun luka sayatan dan memar yang sempat memenuhi kulitnya berangsur hilang. Dia masih merasa sangat lemah ... dan lelah.

Sekalipun sudah melihat Eli yang tidak mampu menahan air mata ketika Nico membuka mata, bayangan adiknya masih tampak kabur. Keinginan menjaga kelopak matanya agar tetap terbuka kalah oleh pengaruh obat dan letih yang menyerangnya. Meski masih kesulitan untuk terjaga lebih lama, Nico sudah mampu merasakan sentuhan dan telinganya telah mampu mendengar suara-suara di sekitarnya. Otaknya bahkan sudah bisa membedakan suara Alan, Valo, Cakra, Janus, Lila, dan juga Eli sekalipun untuk mengikuti percakapan mereka, dia masih belum terlalu bisa. Tenggorokannya terasa sangat gatal dan sedikit nyeri untuk menelan air ludahnya sendiri hingga diam menjadi pilihan utama Nico. Jika Nico memaksa diri untuk bersuara, yang terdengar adalah gumaman, bukan rangkaian kalimat yang ingin disampaikannya.

Nico sadar dia masih mampu bernapas dan jantungnya masih memberinya degup yang mulai teratur. Kedua manusia biadab tersebut tidak berhasil mengirimnya ke neraka seperti yang mereka inginkan. Ingin rasanya Nico mengumpat dengan leluasa dan selantang mungkin sembari mengepalkan kedua tangan, tetapi dia hanya mampu melakukannya dalam hati.

Gue nggak segampang itu lo matiin, anjing!

Jika bisa, Nico pasti menyentak sentuhan Eli karena jemari adiknya itu terasa dingin di kulitnya. Namun tanpa bertanya pun, Nico bisa merasakan kekhawatiran dalam usapan Eli karena beberapa kali, Nico merasakan tangannya digenggam erat.

"Mas Nico cepet bangun, ya? Gue kangen ngobrol sama Mas Nico. Ada banyak yang pengen gue bilang ke lo. Gue janji, Mas, siapa pun yang bikin lo jadi begini, gue bakal jeblosin mereka ke penjara, nggak peduli gue harus korbanin apa. I'd rather lose everything than losing you. I love you so much, Mas Nico, and I've always been proud to be your sister. Nggak denger suara lo bikin gue sadar bahwa selama ini, gue nggak kalah egoisnya sama lo."

Mengingat Eli adalah satu-satunya alasan dan kekuatan yang mendorongnya keluar dari rumah dan tidak menyerah pada rasa sakit, Nico ingin sekali memeluk adik semata wayangnya tersebut dan meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja.

Asal lo tahu, Eli, satu yang nggak bisa gue liat adalah air mata lo. Gue minta maaf kalau selama ini nggak bisa jadi kakak yang baik buat lo. Ngeliat senyum lo di foto saat manusia-manusia itu berniat bikin gue kebakar hidup-hidup ngasih gue kekuatan yang sebelumnya nggak ada. Karena apa? Karena gue tahu lo bakal sedih kalau gue pergi. Dan gue nggak mau itu, El. Gue mau liat lo senyum. Dan apa pun yang lo mau dari gue setelah ini, gue janji nggak akan nolak. Gue tahu lo ngelakuin semuanya karena lo sayang sama gue.

Nico berharap bisa mengeratkan genggaman tangannya pada Eli demi memberitahu adiknya bahwa dia mendengar semua kalimat yang terucap.

"Kapan pun lo butuh gue, gue di sini, Mas. Gue nggak akan pernah ke mana-mana, apalagi ninggalin lo sendirian. Lo inget itu, Mas."

Setelah sekian lama, Nico berharap dia bisa menangis saat ini di hadapan Eli.

***

"Mas Nico ngerasain apa?"

"Lemes," jawab Nico dengan suara yang masih sangat lemah dan pelan.

Dia masih belum mampu bersuara seperti biasa karena mengumpulkan tenaga perlu waktu lebih lama dari yang diduganya. Kelegaan meliputi Nico ketika dia mulai bisa membuka mata lebih lama dan pelan-pelan mampu berkomunikasi dengan Eli dan juga teman-temannya. Sekalipun masih terbatas dan tidak bisa berlama-lama, Nico sadar dia akan sembuh. Semangatnya untuk kembali beraktivitas dan menjalani hari-hari seperti sebelum peristiwa yang menghanguskan rumah dan mengancam hidupnya begitu besar. Dia tidak bisa terus ada di rumah sakit.

"Mas Nico cuma harus mikirin ngumpulin tenaga biar cepet pulih dan keluar dari sini. Makan sebanyak mungkin meski udah kenyang. Kasih tahu gue pengen makan apa. Kalau dokter kasih izin, nanti gue beliin."

"Rumah gimana?" tanya Nico setelah membasahi tenggorokan seraya meringis karena nyeri yang dirasakannya pada pinggang setiap kali dia berusaha mengganti posisi berbaring. Dia sampai harus meminta bantuan Eli untuk mengatur letak bantal agar terasa lebih nyaman.

"Lo langkahin mayat gue dulu kalau mau bangun rumah itu lagi, Mas. Lo butuh tinggal di tempat dengan pengamanan super ketat dan rumah itu nggak ngasih lo rasa aman sama sekali. Lo dilarang keras buat protes karena gue nggak mau ada yang ketiga. Dua kali cukup buat gue. Kali ini, gue minta lo nurutin apa kata gue, ya? Kecuali lo mau bikin gue kena penyakit jantung sebelum usia 30?" Eli menggeleng sambil menyuapkan separuh sendok bubur tawar ke mulut Nico. "Lo nggak tahu betapa panik dan parnonya gue begitu tahu lo masuk rumah sakit lagi. Yang ini malah bikin gue nggak bisa konsen ngerjain apa-apa karena lo pake acara nggak sadar segala. Bisa nggak sih lo nggak bikin gue jantungan, Mas?" gerutu Eli sambil terus memaksa Nico untuk menelan bubur yang memang tidak ada rasanya itu. "Pokoknya, waktu lo balik nanti, lo bakal punya kehidupan baru. Gue udah siapin beberapa tempat yang bisa lo pilih buat tinggal dengan pengamanan yang nggak akan bisa ditembus orang-orang itu."

"I'm here," balas Nico dengan suara serak. Kebahagiaannya melihat Eli lagi terlalu besar hingga dia tidak akan menyanggah setiap ucapan adiknya.

"Makanya lain kali nurut kalau dibilangin. Lo musti tanggung jawab karena bobot gue turun gara-gara mikirin lo."

Nico ingin tertawa, tetapi nyeri yang dirasakannya terlalu hebat hingga dia memilih diam. Dia bersumpah tidak akan lagi menyentuh makanan bernama bubur jika sudah mampu menelan makanan padat. Mulutnya terasa hambar tanpa garam, apalagi cabai. Namun jika ini satu-satunya cara untuk kembali mendapatkan tenaga, Nico rela menelannya.

"Raja?"

Nico tidak peduli jika pertanyaannya mengejutkan Eli.

"Terakhir kali gue ke sana, dia baik-baik—"

"Kapan?" potongnya. Nico lantas menyesal dia tidak membiarkan Eli menyelesaikan kalimat karena dia kemudian terbatuk hingga Eli harus meletakkan mangkuk berisi bubur di atas nakas dan memberinya minum.

"Seminggu lalu," jawab Eli ketika batuk Nico telah berhenti dan dia tidak lagi merasakan sakit.

"Lo ... cerita?"

Eli mengangguk. "Menurut lo? Gue nggak akan bohong ke Raja, Mas, karena dengan ngasih tahu yang sebenernya, dia seenggaknya mikir kalau lo nggak pergi dan ngelupain dia. GUe pengen banget ngerekam muka dia pas tahu apa yang terjadi sama lo. Wajahnya jauh lebih panik dibanding pas dia nemuin lo abis dikeroyokin dulu. Gue kasian liat dia nggak bisa ngapa-ngapain buat bantuin lo. Tapi gue ngeyakinin dia bahwa lo baik-baik aja, cuma perlu waktu buat sembuh. Dia masih peduli sama lo meski nggak bisa liat wajah lo, Mas, kurang apa lagi cowok kayak gitu?"

"How is he?" tanya Nico mengabaikan penjelasan Eli.

"Baik. Nggak ada yang kurang ajar sama dia kalau itu yang lo takutin. Dia masih keliatan seperti Raja yang lo kenal. Nggak kurus, nggak juga nambah berat badan. Dia hanya terlihat sayu. Mungkin karena Sandra beneran nggak ngajak Nina jenguk papanya, atau karena dia takut lo nggak akan jenguk lo lagi. Dia bilang kurang tidur, tapi gue tahu dia bohong."

"I'll see ... him," ucap Nico lirih.

Eli tidak perlu mendekatkan wajah untuk mendengar ucapan Nico. "Bagus kalau lo masih inget betapa kasarnya lo perlakuin dia dulu," ledek Eli. "Begitu lo sembuh, lo memang harus jenguk dia. Kalau perlu, gue yang seret lo ke sana."

"Karena gue janji buat nunggu dia." Perlu beberapa tarikan napas untuk Nico menyelesaikan kalimat itu. Dia memang menyimpan janji itu seorang diri, tetapi dia memutuskan Eli berhak tahu. Jika terjadi sesuatu dengannya nanti, Eli bisa memberitahu Raja tentang janjinya. Namun dia berharap bisa mengucapkannya di depan pria itu langsung.

Senyum Eli merekah mendengar kalimat singkat tersebut. "Well, gue nggak nyangka lo bisa sesentimental itu, Mas, tapi gue seneng. Coba dari dulu begitu. Nggak susah, kan?"

Nico hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Lo masih laper nggak?"

"Eneg."

"Gue harap lo nggak marah karena gue sempet ngajak Mama ke sini pas lo belum sadar."

Nico memejamkan mata sesaat sebelum kembali menatap Eli yang masih tampak kusut dan kurang tidur. Soal mamanya, Nico sudah menduga adiknya akan melakukan itu, tapi dia tidak bisa menyalahkan Eli. Nico sadar penyesalan besar dalam diri Eli jika mamanya hanya melihat jasadnya.

"It's okay."

"Mama gak histeris kalau itu yang lo takutin. Mama cuma duduk di samping lo dan ngelus rambut lo. Gue takut semuanya bakal terlambat, Mas. Seenggaknya Mama tahu sekarang lo udah baikan. Gue sampai capek ngasih alasan karena Mama sempet ngotot buat bawa lo ke Singapura. Perlu Alan sama Cakra buat ngasih tahu Mama bahwa kalau lo sadar dan tahu ada di sana karena Mama, lo pasti bakal makin ngerasa berutang budi. So she didn't say anything else since then."

"Dia?"

Eli seperti menimbang jawaban atas satu kata ganti itu. Dia tidak perlu bertanya ditujukan untuk siapa kata ganti tersebut. "Tanpa ekspresi."

Nico mengangguk pelan. Alfian Witeja mungkin berharap Nico mati dalam kebakaran itu. Andaikan punya tenaga, Nico tidak akan menyimpan dugaannya seorang diri. Tidak ada ketakutan menyuarakan isi pikiran Alfian Witeja dengan lantang. Lagipula selama delapan tahun, Alfian Witeja sudah menganggapnya tidak bernyawa. Tidak ada bedanya jika Nico memang tidak lagi bernapas.

"Pokoknya lo nggak usah mikirin macem-macem. Lo cuma harus cepet sembuh, Mas."

"Yes."

***

"Gue rasa, udah saatnya lu tahu apa yang kami bahas selama lu belum sadar."

Nico memperhatikan Alan yang sekilas melirik Eli yang duduk di bangku terdekat dengannya. Merasa tenaganya sudah terkumpul, Nico bersikeras agar diizinkan keluar dari kamar dan duduk di taman rumah sakit demi menikmati udara luar. Sudah terlalu lama dia tidak merasakan tiupan angin dan terkena sinar matahari. Jika Eli sedang tidak ada, dia akan meminta perawat untuk membantunya. Berada di luar kamar menggandakan semangat Nico untuk segera meninggalkan rumah sakit.

"Seserius apa?" tanya Nico begitu menyadari ekspresi Alan adalah campuran gelisah, terlalu serius, dan tidak sabar. Suaranya sudah kembali normal, tapi Nico masih belum bisa mengucapkan kalimat yang terlalu panjang. Napasnya pasti tersengal.

"Kami semua berpendapat, lu harus keluar dari Jakarta demi keselamatan lu sendiri." Alan segera melanjutkan kalimatnya sebelum memberi kesempatan Nico untuk protes. "Kami—termasuk Eli—nggak mau kejadian ini terulang. Kami setuju dengan Eli bahwa dua kali itu lebih dari cukup. Mereka orang-orang nekat, Nico. Mereka mungkin sekarang udah tahu lo belum mati dan sedang ngerencanain sesuatu. Kami nggak berani ambil risiko. Keselamatan lo jadi hal paling penting sekarang."

"Bali?"

Nico menyadari kegelisahan dan kekhawatiran teman-temannya—dan juga Eli—tapi dia belum memikirkan langkah yang harus diambilnya nanti. Yang memenuhi pikirannya saat ini adalah secepatnya sembuh dengan menguatkan badan dan tenaganya.

"Bali relatif aman, tapi nggak sepenuhnya aman karena selama lo masih ada di Indonesia, gue nggak bakal bisa tidur tenang. Gue udah siapin macem-macem anceman kalau lo nolak apa yang udah kami bahas selama ini. Intinya lo nggak punya pilihan, Mas, karena kalau lo dikasih pilihan, lo bakal ngotot buat tetep di Jakarta dan nganggep kejadian ini bukan masalah besar."

Nico diam. Adiknya sudah mengantisipasi penolakannya. "Ke mana?"

"Eropa. Belanda, Jerman, Spanyol, atau negara-negara Skandinavia. Negara yang nggak akan ngancem nyawa lo cuma karena lo gay. Tempat di mana mereka nggak akan susah-susah ngejar lo sampai sejauh itu. Gue coret Amerika karena hate crimes dan mass shooting di sana bakal bikin gue makin was-was."

Nico mengencangkan selimut yang dipakaikan Eli agar membuatnya terhindar dari dingin setelah lama tidak terkena angin.

"Lo bisa sekolah lagi, atau nyari kerja di sana kalau perlu. Tinggalin Indonesia buat beberapa tahun sebelum lo putusin balik lagi ke sini. That's the best thing for you right now."

"Lu tetep bisa jalanin BERANDA dari mana aja, Nico. Lu tetep bisa ngelakuin apa yang selama ini lu lakuin. Nggak bakal ada bedanya kecuali lokasi lu bakal lebih aman."

"Gue nggak akan di sini," sahut Nico tanpa menyembunyikan kekesalannya.

"Mana yang lebih penting, Mas? Nyawa lo atau perjuangan lo?"

Nico mengembuskan napas pelan sebelum menatap Eli dan Alan. "Kasih gue waktu buat mikir."

"Asalkan lu mau aja karena lu nggak punya jawaban lain," balas Alan.

Nico mengangguk lemah. Pilihan apa yang dia punya? Tidak ada.

Eli lantas memeluk kakaknya dan membenamkan wajahnya di pundak Nico. "Gue sayang banget sama lo, Mas. Thank you."

Pandangan Nico dan Alan bertemu. Sahabatnya mengangguk pelan, menyetujui sikap Nico yang tidak membantah seperti biasa. Nico tahu, ada kalanya dia hanya harus mengiyakan sebuah permintaan, terlebih jika itu dari Eli dan demi keselamatannya sendiri. Dia ingin belajar untuk mendengar Eli, sesuatu yang terlalu jarang dilakukannya sejak meninggalkan rumah. Dia juga sudah berjanji tidak akan membuat Eli khawatir lagi. Inilah saat untuk memulainya.

***

Nico mengerang pelan—terlalu pelan hingga Cakra yang menemaninya malam ini tidak terusik—ketika dia terbangun karena tenggorokannya kering. Setelah berusaha keras mengabaikan sakit untuk menyandarkan punggung agar dia bisa meraih gelas di atas nakas, Nico mengembuskan napas pelan.

Dia tidak punya banyak waktu untuk berpikir karena obat-obat yang harus diminumnya membuat kantuk begitu cepat datang. Dia sering terjaga pada tengah malam, tetapi tidak butuh waktu lama baginya untuk kembali tidur. Namun sekarang, percakapan dengan Alan dan Eli pagi tadi membuat pikirannya bekerja.

Nico meminta waktu kepada Eli dan Alan karena dia ingin memikirkan apa yang bisa dilakukannya selama jauh dari Indonesia. Dia memakan omongannya sendiri kepada Raja dulu saat pria itu memintanya keluar dari Indonesia demi keselamatannya. Dia tidak keberatan tetap tinggal di negara tempat dia dilahirkan, tetapi membayangkan Eli harus khawatir setiap saat, Nico tidak bisa.

Pikiran akan Raja pun tidak bisa dibendungnya. Dia tahu ada beberapa luka bakar di sisi wajah dan tangannya, tetapi Eli—tanpa persetujuannya—memperbaikinya hingga dia tidak melihat perbedaan yang signifikan. Sejak melihat pria itu di ruang sidang, praktis Nico belum melihat Raja lagi. Saat ini dia hanya ingin ada di hadapan Raja untuk meyakinkan pria itu dia baik-baik saja.

Dan juga untuk mengatakan kepada Raja tentang janji yang hanya diketahui Eli. Janji untuk menunggu pria itu.

***

Dear all,

Maaf sekali lagi lama banget saya nggak update cerita ini. Tapi ... saya sengaja nggak update dulu karena saya pengen nyelesain nulis ceritanya dulu dan saya memang udah selesai. Yay!

Jadi saya udah nulis sampai epilog meski masih harus dibenahi sana-sini, tapi intinya saya udah selesai nulis UNENDING. Setelah ini, saya akan lumayan rajin posting sampai bab terakhir. Pokoknya sebelum Christmas saya udah selesain cerita ini di Wattpad. Saya lega banget karena ide yang selama 4 tahun saya anggurin, akhirnya bisa saya eksekusi dan selesai alias nggak berhenti di tengah.

Saya udah nyiapin cerita baru, tapi nggak akan saya post sampai tahun depan. Idenya sendiri udah ada dari sekitar bulan April, tapi saya matengin dulu. Saya udah mulai nyicil nulis ceritanya and I am excited to share it with you next year.

Meanwhile, I hope you enjoyed this part and had a blast weekend!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro