19 - GIJS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pandangan Nico masih terpaku pada langit Amsterdam yang tampak pekat dan menjanjikan hujan akan jatuh dengan lebat. Dia sadar harus bergegas menuju Weesperplain untuk mengejar metro nomor 53 agar bisa sampai di rumah sebelum dirinya basah kuyup karena nekat menerjang hujan. Namun bahasa tubuhnya menunjukkan keinginan yang bertentangan dengan rencana.

Laptop Nico masih menyala, kursornya sejak tadi berkedip pada huruf terakhir kalimat yang belum selesai, begitu juga dengan buku The Roots of Radicalism karya Craig Calhourn serta The True Believer milik Eric Hoffer yang terbuka lebar dengan beberapa paragraf yang diberi tanda. Sesekali Nico melirik tugas yang harus dia tuntaskan, tetapi keinginan untuk melanjutkan esai yang bahkan belum mencapai setengah halaman menguap tanpa sebab. Headphone yang tadi sengaja dia pasang agar membantunya berkonsentrasi, telah dia lepasa dan sekarang tergeletak menutupi keyboard laptop.

Nico memilih De Brug ketimbang perpustakaan dengan harapan keriuhan kafe mampu meredam pikiran-pikiran yang sejak kemarin sore mengganggunya. Usaha Nico terjaga hingga lewat tengah malam pun tidak membuat keresahannya hilang. Bahkan hingga dia terlelap di atas meja makan dan terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul empat pagi, pikiran itu tetap menguntitnya.

Hampir dua tahun menjadikan Amsterdam pelarian, Nico masih berusaha menancapkan akarnya di kota ini, berharap dia bisa menganggap satu sudut Eropa ini sebagai rumah kedua. Kampus megahnya, penerimaan terhadap homoseksualitas yang sangat membuatnya nyaman, atmosfer Amsterdam yang sangat bertolak belakang dengan Indonesia—termasuk legalitas mariyuana dan pernikahan sesama jenis—serta diskusi-diskusi intelektual dengan teman-teman sekelas dari penjuru dunia, masih belum berhasil membuat Nico menemukan tempatnya di Amsterdam.

Terkadang dia mempertanyakan keputusan untuk meninggalkan Indonesia demi kekhawatiran Eli dan teman-temannya. Ada bermacam-macam 'jika' yang memenuhi pikirannya, dan setiap pemikiran itu menyerang, suasana hatinya seketika berubah menjadi murung.

Seperti saat ini.

"You look contemplative."

Untuk pertama kali sejak setengah jam lalu, Nico mengalihkan tatapan dari gelapnya langit bulan Desember. Pandangannya langsung bertubrukan dengan sepasang mata biru terang milik pria bernama Gijs yang menyodorkan satu cup berisi Americano—Nico hanya memesan minuman itu setiap kali ada di De Brug—dibarengi senyum setengah. Tanpa ragu, Nico mengulurkan tangan demi meraih kopi itu sembari memperhatikan pria berambut pirang pucat itu meletakkan tas di lantai sebelum menempati kursi kosong di seberangnya.

Sekalipun mendalami dua ilmu yang berbeda—Gijs berkutat dengan hukum—Nico tidak pernah keberatan ditemani pria jangkung itu. Selain karena mereka berbagi kampus Roeterseiland yang memang menjadi satu dari 4 open campus yang dimiliki University of Amsterdam dan ruang kelas yang berdekatan, kehadiran Gijs selalu berhasil mengalihkan fokusnya.

"Lo ada kuliah lagi?"

Gijs menggeleng. "Tapi bukan berarti aku bisa bersantai," desahnya. Dia lalu mengeluarkan satu buku tebal yang lantas diletakkannya di atas meja. Tanpa mengindahkan Nico yang masih memandangnya, Gijs langsung menekuri buku dan berkomat-kamit sementara tangannya telah memegang pensil yang sesekali digunakannya untuk menandai sesuatu.

Kebiasaan Gijs yang lebih suka mengerjakan tugas bersama Nico sekalipun mereka berbeda jurusan selalu disambutnya dengan tangan terbuka. Perbedaan—bukan hanya dalam bidang akademik, tetapi juga budaya dan latar belakang—yang ada di antara mereka justru lebih sering memicu ide-ide serta percakapan yang penuh dengan makna dan menantang pola pikir yang selama ini dipegang Nico dengan erat.

Ada yang kurang dalam keseharian Nico jika Gijs tidak duduk di hadapannya dan sibuk dengan tugasnya sendiri. Kehadiran pria itu pada awalnya sangat mengganggu Nico, tetapi dengan cara Gijs mengutarakan sesuatu—terlebih pendapat-pendapat Nico yang lebih sering Gijs debat dengan logika dan pengetahuannya—ada rasa nyaman dalam diri Nico setiap kali pria itu ada di sekelilingnya. Dia tahu Gijs tidak akan mengiyakan cara pandangnya begitu saja tanpa membuat Nico melihat dari sisi yang lain.

"Jadi lo gak akan mampir?"

"Bisa, tapi aku harus menginap," balasnya tanpa sekalipun mengalihkan fokus dari buku yang sedang dibacanya. "Aku tidak akan ke tempat kamu hanya untuk kamu usir tengah malam."

"Ya udah. Kayak lo nggak pernah nginep aja."

Gijs menanggapinya dengan sebuah cengiran lebar.

Ketika Nico mengalihkan pandangannya dari Gijs, mendung yang tadi menggelayut telah berubah menjadi hujan yang menampar dinding kaca dengan hebat. Tumpahan air dari langit di kota ini selalu memunculkan rindu dalam diri Nico akan Indonesia. Sekalipun dia bisa mencium bau tanah layaknya di Indonesia, tapi aromanya tetap tidak sama. Hal sesederhana itu tidak pernah dianggapnya luar biasa saat masih tinggal di Boston dulu.

"Are you thinking about something right now? I'm always worried every time you're quiet like this. Should I expect a storm later? Maybe I shouldn't come over after all," ungkap Gijs tanpa mengangkat wajah.

"Lo nggak usah khawatir gue bakal nendang lo keluar apartemen. Gue bakal baik-baik aja."

Gijs hanya menggumam diikuti sebuah gelengan pelan. Tangannya masih rajin menandai beberapa kalimat dari buku yang dibacanya. "Atau kamu sedang memikirkan Indonesia? Hanya ada satu hal yang bisa membuat kamu terlihat menakutkan seperti ini."

"Not really," balasnya singkat.

Namun Nico sadar jawabannya tersebut terlalu lemah untuk meyakinkan Gijs.

Pria itu meraih kopi yang sudah terlalu lama diabaikannya sebelum akhirnya menatap Nico. Dia mendesah pelan. "You haven't been back to Indonesia in almost a year. I can't blame you, Nico, that you miss your sister and your friends."

Mengabaikan kepedulian Gijs yang dianggapnya berlebihan, tangan Nico langsung menyambar dua bukunya yang masih terbuka serta laptop dan memasukkannya ke dalam tas dengan tergesa.

Begitu yakin tidak ada yang tertinggal, Nico menatap Gijs. "Lo mau balik bareng gue atau mau nyusul?"

Mereka saling bertatapan sebelum Gijs menggeleng. "Aku masih harus menyelesaikan ini. I will leave you alone for now. Text me if you still want me to come over."

Nico hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan.

***

Meski suhu di luar berada di bawah 10˚ Celcius, Nico merasa gerah akibat heater yang menyala di kamar. Perlahan dia mengangkat lengan Gijs yang menindih perutnya dan berharap pria itu tidak akan terbangun dan mulai mengajukan berbagai pertanyaan.

Nico mengambil celana piama yang tergeletak di ujung tempat tidur dan keluar kamar dengan langkah sepelan mungkin. Matanya telah terbiasa dalam gelap hingga dia berhasil tidak menabrak sesuatu yang mampu mengeluarkan bunyi nyaring.

Menyambar mantel yang disampirkannya di dekat pintu masuk, Nico segera merasakan hangat yang tadi berusaha dihindarinya. Namun saat kakinya menginjak teras depan, dia mensyukuri tubuhnya tidak menggigil karena udara musim gugur yang sangat dia benci. Memasukkan tangannya ke dalam saku mantel, Nico mengeluarkan satu bungkus rokok dan segera mengambil satu batang. Amsterdam berhasil membuat Nico mengurangi kecanduannya akan rokok, tetapi benda ini tetaplah menjadi satu-satunya yang mampu memberinya ketenangan. Dan saat ini, dia sangat membutuhkannya.

Mengamati Oliepalmstraat yang sunyi dengan asap yang mengepul dari rokoknya, Nico menemukan kesendirian yang mati-matian dia berusaha temukan hari ini. Tidak ada satu suara pun yang didengarnya kecuali desau angin yang menyelinap di antara dedaunan dan ranting serta sayup-sayup suara kendaraan yang dia yakin jauh dari tempatnya berdiri. Taman di depan apartemen yang biasanya cukup ramai pada saat musim panas, menjadi tidak bernyawa setiap musim gugur dan dingin tiba. Mengetukkan kaki dengan satu lengannya terbenam pada saku mantel, Nico berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang membuatnya sulit berkonsentrasi pada apa pun.

Jika bukan karena pria yang sekarang masih terlelap, Nico mungkin sudah ada dalam perjalanan kembali ke Indonesia saat ini. Pria itu selalu memiliki kemampuan untuk mengalihkan sebagian besar keinginan yang seharusnya tidak menghampirinya—seperti keinginan impulsifnya untuk pulang ke Indonesia—serta membantu Nico berpikir jernih. Dia paham kehadiran Gijs tidak lebih dari keperluan untuk menjaga otaknya tetap waras, tetapi Nico tidak akan terkejut jika Gijs menyadarinya. Pria itu sepertinya tahu lebih banyak dari apa yang diungkapkannya ke Nico.

Nico mengumpat pelan ketika tubuhnya mulai menggigil. Mematikan rokok dengan terburu-buru, Nico bergegas masuk dan tanpa sadar menutup pintu dengan suara cukup keras.

"Shit!"

Setelah melepaskan mantel, Nico melangkah begitu pelan untuk kembali ke tempat tidur dan berharap pendengaran Gijs tidak cukup peka untuk menangkap suara pintu tertutup. Namun saat dia membuka pintu kamar, Gijs bukan hanya telah membuka mata, tetapi pria itu menyangga tubuhnya dengan satu lengan sambil memandang Nico dan menyalakan lampu di atas nakas. Kantuk jelas masih menguasai wajah Gijs.

"Ngapain lo bangun?"

"Karena aku mendengar suara pintu dibanting dan tidak melihat kamu di tempat tidur. Aku mengira kamu sengaja melakukannya agar aku terbangun sebelum mengusirku," balasnya diikuti dengan sebuah senyum. Saat melihat Nico tidak bereaksi, dia kembali berkata, "Maaf jika kalimatku tidak terdengar lucu, tapi aku tidak bisa berpikir hal lain." Dia lantas menepuk ruang kosong di sebelahnya. "You're shivering. Want me to warm you?"

Nico menghampiri tempat tidurnya, tetapi tidak mengiyakan tawaran Gijs. Dia hanya merebahkan diri di samping pria itu dan memusatkan pandangan pada langit-langit kamar.

"Did you just smoke?"

Nico mengangguk tanpa ingin mengungkapkan alasannya.

"Berarti kamu memang sedang memikirkan sesuatu. Setiap kali kamu diam, aku selalu berpikir kamu tidak ingin bertemu denganku lagi karena aku melakukan atau berkata sesuatu yang tidak seharusnya. I know it's silly of me to say that, but I'd love to think, that maybe this can last for a while."

"Gue nggak bisa berurusan sama ekspektasi yang macem-macem kalau harus ngulangin semua dari awal. Justru gue yang kadang mikir lo nggak cukup dengan apa yang kita jalani dan minta lebih. Gue cukup tahu harapan cowok-cowok yang pernah punya hubungan sama gue. They always wanted more."

Ada tawa yang membuat Nico menoleh. Leher jenjang pria itu selalu menjadi kelemahannya. Dia terlalu lihai untuk menjaga bagian tubuh pria itu bebas dari bekas ciuman, terlebih kulit pucat Gijs sangat sensitif terhadap kecupan. Maka dari itu, Nico selalu mengalihkan perhatiannya ke daerah di sekitar perut Gijs sebagai tempatnya meninggalkan jejak. Dia dengan jelas menangkap sisa permainan cinta mereka tadi di atas pusar pria itu.

Gijs memberi Nico senyum yang masih dikuasai kantuk. "Aku tidak akan melanggar apa yang kita setujui, Nico. I will not ask for more because there won't be more between us. Aku tidak perlu diingatkan setiap saat."

"Good."

"When all of this comes to an end, I wonder if we can still be friends."

Nico memandang Gijs heran. "Gue nggak liat alasan kenapa kita nggak bisa jadi temen misalkan kita udah nggak menikmati ini lagi. Kita bisa misahin antara seks dan personal feeling selama ini, dan nggak akan ada yang beda kalau seks itu udah nggak ada. We're not two silly teenagers who will make a drama out of this."

"In a few years, we'll have forgotten each other, don't you think?"

"I don't know about you, but I don't forget people easily. One thing for sure, you won't forget the way we fuck each other. Admit it."

"True," sahut Gijs diikuti sebuah gelak kecil.

"Gue selalu mimpi buat punya arrangement begini. Nggak perlu ngelibatin perasaan karena kedua pihak sama-sama tahu yang ada di antara mereka hanyalah seks."

"Aku pikir kamu selalu seperti ini bahkan saat masih di Indonesia."

Nico mengangguk. "Tapi selalu ada pihak yang ngelanggar. Sulit mertahanin hubungan semacam ini lama karena banyak cowok di Indonesia yang selalu berharap lebih dari gue." Dia menatap mata Gijs yang masih terlihat biru meski cahaya di sekitar mereka temaram. "I really hope you won't."

"I won't. You don't need to worry."

Meski singkat, Nico bisa merasakan kesungguhan dalam kalimat Gijs. Nico tidak berminat untuk terikat secara emosional dengan pria mana pun selama di Belanda. Ada yang lebih penting daripada sekadar melibatkan perasannya dengan orang lain.

"Lo lagi deket sama siapa sekarang?"

Gijs mengedikkan bahu. "I'm hibernating now. I'm extremely tired with dates and all the things that come with it. I have no room for sentimentality at the moment." Dia kemudian memiringkan badan dan menyelipkan tangannya di balik bantal. "And I guess that's why it works between us because you want the same thing as I do."

Nico tidak punya sanggahan atas kebenaran yang terucap dari mulut Gijs.

"Kamu akan di Eropa cukup lama, kan?"

"Rencananya gitu. Ngapain nanya?"

"Just wondering," ucap Gijs sambil memainkan jemarinya pada lengan Nico yang masih terasa sedikit dingin. "I think we'll still be connected in a way, in the future. At least that's what I want to believe in."

Keterdiaman Nico lebih karena dia menunggu Gijs menjelaskan maksudnya.

"Aku tidak ragu bahwa setelah lulus, kamu akan berkecimpung di bidang yang berhubungan dengan isu-isu LGBTQ mengingat kamu sudah punya pengalaman saat masih di Indonesia. Aku sudah memutuskan untuk mengambil International Law untuk Master dan International Human Rights Law termasuk di dalamnya. That means we will still be around each other, even when we don't meet in person like we do right now."

Nico sebenarnya tidak pernah peduli dengan keputusan yang diambil Gijs. Baginya, hubungan dengan Gijs terbatas pada fisik hingga tidak perlu baginya tahu tentang bagian lain dari pria itu. Karena kemungkinan mereka berbagi rumah dan menjadi pasangan sesungguhnya begitu kecil, Nico menekan rasa ingin tahunya tentang semua yang belum dibag Gijs dengannya, termasuk mimpi-mimpi serta rencana pria itu. Yang baru didengarnya adalah kemungkinan yang bisa terjadi sekalipun Nico tidak akan menghabiskan waktu untuk memikirkannya.

"Lo pengen ngelanjutin ke mana?"

"Antara Sorbonne atau Cambridge. Those two are on my list to pursue the post-graduate."

"Lo nggak pengen ke Yale atau Stanford?"

Gijs mendesah pelan sebelum menggeleng. "Aku tidak pernah tertarik bersekolah di Amerika sejak dulu. Tidak peduli sebagus apa pun sekolahnya atau bagaimana kebanyakan orang memandang Amerika sebagai pusat dari banyak hal. I don't value their views on gun and racism to people of colors. Even Netherlands is way more liberal than the United States in many things. Going there will feel like going backward instead of forward."

"Lo pikir di Eropa rasisme gak ada?"

"Did I even say that racism is not exist here? No, Nico, I've never said that. Racism is alive and well in many parts of Europe, and many people realize that it is a huge problem. What differentiate us and American is they never really see racism as a problem. It is part of their history and it's still a huge homework for them. The violence against black people is very sickening. And the gun ... I don't even know where to start." Gijs lantas mendengus kesal. "Jadi aku tidak pernah mau bersekolah di sana karena pandanganku tentang banyak hal berlawanan dengan cara hidup mereka."

Nico membuang napas. Obrolan dengan Gijs memang tidak bisa ditebak. Orang waras mana yang menyinggung soal rasisme pukul tiga pagi?

"Do you feel safe here?"

Pertanyaan itu membuat alis Nico berkerut. "Aman dalam artian apa maksud lo?"

"Kamu tidak merasa terancam atau takut seperti saat masih di Indonesia?"

Nico memang terbuka mengenai persitiwa yang menimpanya dan juga komunitas LGBTQ di Indonesia. "Sampai sekarang belum pernah ada yang berusaha masuk apartemen dengan paksa dan ngancem mau bunuh gue. I guess I'm safe here."

"Can we go back to bed? I haven't had enough sleep in the past couple of days."

Nico membiarkan Gijs meletakkan lengan di atas perutnya sementara hidung mancung pria itu mengusap pundaknya.

Dia tentu saja tidak bisa langsung terlelap.

***

"Apa kabar lu?"

"Gue baik. Gimana Jakarta dan BERANDA?" tanya Nico sambil memandang Alan yang sepertinya sedang berada di sebuah kafe. Dia memang hampir seminggu sekali ber-video call dengan teman-temannya di Jakarta, terutama Alan yang memang mengawasi BERANDA secara langsung.

"Udah mulai ujan, tapi gue harap nggak akan banjir. BERANDA masih baik-baik aja. Semua yang kita omongin minggu lalu udah mulai dikerjain anak-anak. Lu nyante aja. Selama ada gue, BERANDA nggak akan vakum lagi. Nggak usah lu pikiran bakal terjadi apa-apa."

Meski peredaran BERANDA sekarang lebih terbatas, Nico merasakan kelegaan yang luar biasa saat bisa kembali mengurus buletin bulanan itu dari Amsterdam. Selain membaca tentang Indonesia melalui portal-portal berita, teman-temannya pun kerap mengabarinya tentang kondisi di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan LGBTQ yang tidak diterbitkan di media mana pun. Persekusi—terutama terhadap transgender—sudah mulai mereda, dan penganiayaan yang dulu seperti menjadi makanan sehari-hari, sudah jarang terdengar. Nico berharap Indonesia akan terus seperti itu hingga dia bisa kembali lebih cepat.

"Lo dan yang lain tetep ati-ati. Gue nggak mau denger kabar macem-macem selama di sini."

Alan mengacungkan jari telunjuknya. "Apa kabar Si Muka Pucet?"

Nico tidak mampu menahan tawa mendengar sebutan yang diberikan Alan untuk Gijs.

Dia tidak pernah berniat mengenalkan Gijs ke teman-teman Indonesianya karena tidak adanya status di antara mereka, tetapi Alan menangkap bayangan Gijs saat mereka sedang ber-video call pada Sabtu pagi dan rasa penasaran temannya tersebut lebih mengganggu Nico. Dengan berat hati, dia akhirnya memperkenalkan mereka. Meskipun akhirnya hanya saling bertukar sapa dan berbasa-basi sebentar, Alan memastikan nama Gijs selalu terselip jika mereka sedang berbincang sekalipun pria itu tidak pernah sekali pun menanyakan Alan atau teman-temannya di Indonesia. Eli pun seperti tidak peduli dengan Gijs saat Nico menceritakan arrangement yang ada di antara mereka.

"Masih sering nginep di sini. And we still fuck each other, if that's what you want to know."

"Betah juga lu sama dia. Udah ada setahun?"

Nico mengangguk. "Gue males kalau harus jelasin dari awal ke orang baru, Lan. Dengan Gijs, kami udah sama-sama tahu keinginan masing-masing dan yang penting, dia masih nggak minta lebih dari gue. And our sex is still amazing. Why do I have to gamble with some other guy who might not up to my standard in bed? I can send you the video if you want, to prove you how great he is in bed. Gue jamin lebih panas dari video-video di Pornhub."

"Okaaay, gue nggak mau denger detailnya."

Nico tergelak melihat Alan menutup matanya. Dia tahu Alan tidak akan menanggapi candaannya. "Gue kangen anak-anak, Lan. Kangen masakan Lila."

"Salah siapa lu liburan kemarin gak balik. Liburan ini lu balik, kan?"

"Kalau semua tugas gue udah kelar. Lagian gue belum sempet keliling Eropa."

"Ck! Gaya bener lu!" Alan meyeruput es teh manisnya sebelum bertanya, "Eli masih rajin ngasih lu update, kan?"

Nico tidak perlu bertanya update apa yang dimaksud Alan. Dia mengangguk.

"Lu jaga diri di sana, Nico. Gue musti cabut."

"Jadi lo minta gue stand by di depan laptop cuma buat begini doang?" Nico berdecak keras. "Mau ke mana lo?"

"Mau ketemuan sama Valo. Ntar kapan-kapan kita video call rame-rame deh."

Setelah saling berpesan untuk menjaga diri dan pamit, Nico memandang layar laptopnya. Rasa rindu akan Indonesia bertambah kuat setiap kali dia selesai berbicara dengan teman-temannya. Namun nafsu untuk segera memesan tiket pesawat dan pulang sekaligus mengorbankan studinya hilang setiap kali dia ingat perkataan Eli.

Menutup laptop, Nico segera meraih dompet serta mantel yang dia sampirkan dan berniat menuju satu-satunya tempat yang bisa mengurangi rasa rindunya akan tanah air: restoran Indonesia.

***

Dear all,

Another update on this Friday night :)

I hope you enjoyed this part. Ada yang penasaran sama Gijs? Apakah dia akan punya peran besar dalam kisah Nico?

Just two chapters left and I'll be finished with this story. Lega banget sumpah!

Anyway, have a great Friday, people!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro