EPILOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mengabaikan terik matahari Jakarta pukul sebelas siang, Nico menyandarkan tubuh pada mobil yang diparkirnya sembari menikmati rokok. Sesekali, dia membetulkan topi kep biru yang dia pakai demi melindungi kepala dari sinar matahari ibukota yang terlalu cerah. Pandangannya terus terpaku pada jalanan beraspal yang tidak pernah sepi dari lalu lintas. Isapan demi isapan rokok melunturkan sedikit demi sedikit gugup yang menyertainya sejak meninggalkan apartemen meski tangannya tetap saja gemetar. Dia pun seperti tidak acuh pada keringat yang dengan deras mengaliri punggungnya, membuat bagian belakang kaus abu-abunya lekat dengan kulit. Matanya terkadang mengecek arloji di tangan, berharap dia punya kemampuan mempercepat menit serta detik agar bisa segera beranjak dari tempat ini.

Merasa resah, dia mematikan rokoknya karena benda itu tidak lagi mampu meredakan kegugupannya. Nico bukan orang yang menyukai kejutan, tetapi yang akan diberikannya kali ini adalah sesuatu yang sudah ditunggunya bertahun-tahun hingga dia tidak peduli ucapan teman-temannya.

Setelah menuntaskan perjalan mengelilingi Amerika Latin dan menjenguk teman-teman kuliahnya di Amerika Serikat, Nico kembali ke Jakarta dan mulai menyusun rencana lima tahun ke depan, melibatkan Eli dan orang-orang terdekatnya. Salah satu poin yang ada dalam daftarnya adalah kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana serta merintis karir profesional yang tidak lagi bisa dia tunda. Keinginannya untuk menetap di Indonesia sesungguhnya telah siap menumpulkan semua logikanya, tetapi Nico sadar, namanya belum terlalu besar untuk membuat perubahan yang dia inginkan. Nico berjanji akan kembali ke tanah air, tetapi nanti ketika suaranya didengar dengan baik, bukan sekadar kicauan.

Dia pun mulai memikirkan kehidupan pribadinya dengan laki-laki yang sedang ditungguinya sekarang.

Nico memainkan ujung sepatu ketsnya tanpa menyadari bahwa dia melewatkan sesuatu yang membuatnya bertahan di bawah terik matahari bulan Agustus. Saat dia mengangkat wajah, pandangannya terkunci pada Raja yang sama-sama terpaku pada tempatnya.

Nico menelan ludah, mengingat terakhir kali dia menatap langsung wajah pria itu. Ada keraguan dalam bahasa tubuh Raja saat dia mulai melangkah menghampirinya, tetapi Nico tidak sedikit pun mengalihkan tatapannya.

Ditariknya napas dalam saat Raja semakin mendekat. Nico tidak melihat perubahan yang signifikan pada pria itu. Tubuhnya sedikit mengurus dan kulitnya menjadi lebih gelap, tetapi tidak ada yang membuat Nico ragu bahwa pria yang berdiri di depannya ini adalah seorang Adhiraja Wisnu. Wajahnya sudah bersih dari rambut-rambut tipis, rambutnya tampak sedikit lebih panjang dari biasanya, dan ada satu tas kresek yang ditenteng Raja di tangan kanan. Meski jauh dari kesan mewah dan berkelas yang tertempel pada Raja bertahun-tahun lalu, penjara tidak mampu menghapus kesan berwibawa dan tenang dalam diri Raja. Jeruji besi dan kehidupan keras tetap gagal menurunkan derajat Raja menjadi orang biasa.

"Aku nggak nyangka lihat kamu di sini."

"Gue udah janji bakal nungguin lo, kan? Gue bukan orang yang bisa ingkar janji. Asal lo tahu, gue udah nunggu ini selama tiga tahun."

Nico masih ingat ketika Raja akhirnya mengiyakan keinginan Nico untuk menunggunya. Nico menjenguk Raja setiap kali dia pulang ke Indonesia meski setiap kali melakukannya, Nico berharap dia tidak perlu menempuh penerbangan 14 jam untuk menemui pria yang dicintainya. Bahkan keputusan Nico untuk menjalin hubungan dengan Gijs—sekalipun yang ada di antara mereka hanya terbatas pada seks—mendapat persetujuan dari Raja. Nico bersikap jujur kepada Raja bahwa dia bukan malaikat yang mampu menahan nafsu. Respon pria itu begitu positif hingga tidak ada alasan bagi Nico untuk menyimpan Raja dari Gijs, begitu juga sebaliknya. Tidak ada perasaan bersalah dalam diri Nico setiap kali dia bercinta dengan Gijs karena Nico tahu, dia mendapat restu dari Raja untuk melakukannya.

"Thank you, Nico. Aku harap kamu nggak nunggu lama."

"Nungguin lo setengah jam di sini nggak ada apa-apanya dibandingin nungguin lo tiga tahun di Amsterdam," balas Nico sambil mengurangi jarak di antara mereka. "Gue harap lo nggak terbebani perasaan bersalah lagi."

Raja menggeleng. "Aku sudah membayarnya."

"Good! Let's go. Lo pasti laper. Lo mau makan apa?"

"It's up to you. It won't matter to me."

Sebelum Raja sempat melangkah, Nico dengan cekatan menyambar tas kresek yang masih dipegang Raja dan tanpa menunggu reaksi pria itu, dia mencari tempat sampah terdekat. Membuangnya dengan lemparan sekencang mungkin, Nico dengan tegas berkata di hadapan Raja yang tampak terkejut dengan sikap Nico. "Apa pun yang ada di dalem tas itu, adalah masa lalu lo di penjara. Gue nggak akan ngebiarin lo ngebawa masa lalu itu keluar dari sini, apalagi sama gue. It ended here."

Raja diam, tetapi kemudian dia menyunggingkan senyum. "Masih tetep Nico yang sama."

Usaha Nico untuk menahan tawa, gagal. Tanpa dia sadari, ada setitik air mata yang mengalir saat dia tergelak. Dia tidak mampu melukiskan kelegaan yang mendesak untuk dikeluarkan selama tiga tahun.

"Let's have something to eat."

Nico segera masuk ke mobil dan segera menghidupkan AC. Tidak lama kemudian, Raja menyusul. Begitu pintu mobil tertutup, Nico dengan cepat meraih kerah kemeja Raja. Dia tidak peduli jika Raja terkejut, Nico tidak bisa menunggu lebih lama untuk mencium pria itu. Dia terlalu merindukan pria itu hingga saat ini adalah yang ditunggunya sejak tahu tanggal kebebasan Raja.

"Awas kalau lo protes," bisik Nico dengan napas terengah. "I've waited too long for this."

"I miss it, too, Nico," balas Raja sama pelannya. "Terima kasih udah nunggu—"

"Kiss me," potong Nico. "Kiss me like the way you used to."

Raja mengangguk sembari berbisik, "I'd love to. I miss it, too."


***FIN***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro