13. Hancur Lebur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

13. Hancur Lebur
"Gue bukannya gamau turun tangan. Tapi sekalinya gue turun tangan, gue pastiin semuanya bakalan hancur. Gue ga suka ngelakuin apapun setengah-setengah." —Galileo Kansa La Lubis.

-———-

"ANJING gue ngapain dah peduli sama dia?" Sejak tadi Galileo sibuk bermonolog sendiri sembari mondar-mandir di kamarnya. Lelaki itu berkali-kali mengulang pertanyaan yang sama.

Abim yang merasa terganggu pun akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan menatap ke arah Galileo. "Lo ngapa dah daritadi?" tanya lelaki itu heran.

Galileo menggeleng, "lo lanjut aja sama kegiatan lo, jangan ganggu gue. Gue lagi berpikir," ucapnya.

Abim mendengus, "berpikir tapi mulut lo koar-koar, ganggu anjing!"

"Kamar kamar gue, kalo kaga suka keluar lah!" usir Galileo.

"Bangsat yang nyuruh gue ke sini kan lo!" umpat Abim kesal. "Lagian lo ngebahas siapa daritadi? Kembaran lo?"

"Iya. Gue bingung kenapa seharian kepikiran sama tu anak setelah insiden di sekolah tadi," ujar Galileo.

"Wajar lah, lo kan abangnya."

Galileo mendengus, "ngapain juga gue peduli?"

"Upin aja peduli sama Ipin, masa lo kaga peduli sama Nina?" ucap Abim.

"Perumpamaan macam apa tu? Anjing gue disamain sama Upin Ipin."

Abim terkekeh, "kan sama, kembara-kembar nakal!" seru lelaki itu.

"Tetep aja Bim." Galileo duduk di sebelah lelaki itu, "gue kan posisinya nganggep tu cewek orang asing."

"Ya mana saya tau, saya kan orang lokal," ucap Abim.

"Jan sampe gue kelepasan buat nonjok lo, Bim," ujar Galileo kesal.

"Udah lah Gal, kaga usah ribet begitu. Kalo emang lo peduli, ya udah peduliin aja, kenapa harus ditahana-tahan? Lo kan biasanya gitu. Simple kaga mau ribet."

Bersamaan dengan itu pintu kamar Galileo diketuk pelan, kemudian perlahan terbuka menunjukkan sosok Hanina di sana.

"Tu orangnya panjang umur," ujar Abim. "Gue pulang dulu lah, masih ada urusan." Abim bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju pintu keluar. Lelaki itu menepuk-nepuk pundak Hanina ketika berpapasan dengan gadis itu, "baek baek lo berdua," ucapnya.

Hanina hanya mengangguk kikuk sambil menatap ke arah Abim.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Galileo.

Hanina berjalan masuk ke dalam kamar lelaki itu. Tak lupa ia menutup pintu kamar Galileo yang tadi ia buka. "Eee ... itu ... kamu kan kemarin minta aku buat ngajarin kamu," ucap Hanina.

"Lah iya, gue lupa kalo harus belajar, gara-gara lo sih," ucap Galileo sambil beranjak dari duduknya untuk mengambil tas yang berada di atas meja.

Hanina menatap bingung ke arah Galileo. "Salah aku apa kak?" tanya gadis itu takut.

Galileo membalikkan badan dengan tas sekolah yang berada di tangannya. Lelaki itu menatap malas ke arah Hanina, "ya gara-gara lo lah intinya," ucap Galileo seenaknya. "Udah cepetan ke sini!" Galileo berjalan ke arah kasurnya. Ia melempar asal tasnya tersebut, sembari kembali naik ke atas kasur.

Hanina menatap Galileo. "Kita belajar di atas kasur?" tanya gadis itu bingung.

Galileo mengangguk. "Di lantai keras, kaga enak."

"Tapi kan ada sofa," ujar Hanina sambil menunjuk sofa yang ada di kamar itu.

Galileo berdecak, "bawel ah lo!"

Mendengar nada suara Galileo yang kesal membuat Hanina akhirnya buru-buru duduk di atas kasur. Kini Galileo dan Hanina saling duduk berhadapan dengan buku-buku yang menjadi pembatas mereka. Hanina terlihat fokus membuka halaman demi halamannya, mencari materi pada bab pertama. Sedangkan Galileo, lelaki itu malah menatap ke arah Hanina dengan intens.

"Oh, ini dia materi awal kita," ucap Hanina sembari mendongakkan kepalanya. Seketika itu matanya bertemu dengan mata Galileo yang sejak tadi menatapnya secara intens. "Kak?" panggil Hanina.

"Lo ga marah, Nin?" tanya Galileo tiba-tiba.

"Marah kenapa? Emang kamu ada buat salah ke aku?" tanya Hanina.

"Ya kaga, cuma pas kejadian tadi di sekolah, gue sama sekali ga peduli sama lo."

Hanina tersenyum tipis, "gapapa kok kak, aku udah biasa digituin. Lagian kamu tadi nyamperin aku kan? Ya walaupun kamu cuma ngomelin aku, cuma kata-kata itu aja udah cukup buat aku seneng. Setidaknya kamu peduli sama aku," ujar Hanina.

Mendengar perkataan dari Hanina membuat Galileo benar-benar terdiam. Kenapa kembarannya bisa setabah itu dengan penghinaan yang berulang kali dilakukan oleh teman-teman sekolahnya.

"Aku ajarin matematika dulu ya kak," ucap Hanina.

Galileo menarik buku yang ada di tangan Hanina dan memindahkan buku tersebut ke sampingnya. "Lupain soal belajar. Let's talk about your problem now!"

"Masalah aku?" tanya Hanina bingung.

Galileo tak tahan untuk tidak menoyor pelan kepala gadis di hadapannya. "Iye, masalah lo pea."

"Emang aku punya masalah apa? Kok aku gatau?"

Galileo menghela napas kesal. "Nin, gue sebenernya mau ngatain lo bego, tapi masalahnya lo lebih pinter dari gue," ujar lelaki itu sadar diri.

"Gapapa kok kak, kalo kamu belajar pasti kamu bisa!"

"Dih, ngeselin lu ya, malah nyemangatin gue," dengus Galileo. "Yang ada lo tuh yang butuh semangat. Tiap hari kerjaannya dibuli mulu."

Hanina tertawa pelan, "iya juga ya. Hidup kamu kan jauh lebih beruntung dari aku. Seharusnya kamu yang nyemangatin aku!"

"Nah itu tau."

"Ya udah, coba kasi aku semangat," pinta Hanina.

"Lah, kenapa malah jadi gitu?" tanya Galileo bingung. Sebenarnya arah pembicaraan mereka mau kemana sih. Kok daritadi Galileo merasa seperti sedang dibodoh-bodohi oleh Hanina.

"Aku salah?" tanya Hanina sambil menunduk sedih. "Maaf ya kak."

"Kaga anjing, kaga! Gue yang salah, gue!" seru Galileo dengan lantang.

"Kamu emang salah apa?" tanya Hanina.

Galileo menghela napas. "Jangan ngebuat gue jadi pengen ngebuli lo, Nin. Kalo gue turun tangan, jatuh mental lo."

"Maaf."

"Coba cerita sama gue, sebenernya lo ada masalah idup apa sih?" tanya Galileo gemas.

"Nggak ada kak. Beneran!" Hanina menatap Galileo dengan sungguh-sungguh.

"Aih gemes gue." Galileo mengacak-acak pelan rambut Hanina.

Senyum Hanina seketika mengembang. "Aku suka digituin rambutnya sama kamu," ucap Hanina dengan pipi yang bersemu merah.

Galileo ikutan tersenyum. "Sama, gue juga suka," ujarnya.

"Kamu aneh ya, kadang baik, kadang jahat. Aku jadi bingung, sebenernya kamu suka ga sih sama kehadiran aku di hidup kamu?" tanya Hanina tiba-tiba.

"Gue juga ngerasa aneh sama diri gue akhir-akhir ini," ucap Galileo. "Ini pertama kalinya gue ngerasa pengen jagain orang lain selain diri gue sendiri."

"Emang siapa yang bakalan kamu jagain?" tanya Hanina.

"Lo, Nin. Mulai besok."

-———-

KELAS masih terlihat sepi dikarenakan sebagian siswa kelas 11A masih berada di lapangan sekolah untuk bermain basket. Kebanyakan siswa itu adalah cowok-cowok. Mungkin mereka merasa tanggung kalau harus ganti baju setelah pelajaran olahraga, tanpa bermain basket. Mumpung guru-guru tengah rapat sehingga lapangan tidak ada yang mengawasi.

Sedangkan Hanina, gadis itu lebih memilih untuk mengganti bajunya dan kembali ke dalam kelas. Ada banyak hal yang gadis itu harus lakukan, termasuk harus mengerjakan tugas-tugas dari Lizi. Walaupun saat ini Hanina sudah tidak memerlukan uang dari gadis itu, akan tetapi Hanina tetap saja tidak berani membantah perintah Lizi.

Saat Hanina tengah sibuk mengeluarkan buku-bukunya dari tas. Tiba-tiba saja Lizi, Syafa dan Tamara datang dari luar kelas. Lizi seketika itu langsung berjalan ke arah Hanina, sedangkan Tamara dan Syafa menutup korden dan pintu kelas.

Hanina menatap takut ke arah Lizi yang kini berdiri tepat di hadapannya. Gadis itu menatap Hanina dengan mata berapi-api. "Lo pikir gue bakalan diem aja setelah kejadian kemarin?" Lizi berjalan perlahan ke belakang Hanina, membuat jantung gadis itu berdetak tak beraturan.

Keringat dingin kini telah membanjiri seragam sekolahnya. Sungguh Hanina merasa takut dengan aura yang diberikan oleh Syafa. Gadis itu terlihat benar-benar marah.

"Udah ditutup semua?" tanya Lizi.

Tamara dan Syafa mengangguk sambil berjalan ke arah Lizi. Mereka berdua duduk di atas kursi yang ada di depan bangku Hanina.

"CCTV aman?" tanya Lizi.

Tamara mengangguk, "gue udah nyuruh Jaden tadi," ucapnya.

"Ka ... kalian mau ngapain?" Hanina memberanikan diri untuk bertanya. Tangannya yang ada di atas meja mengepal sangat kuat untuk meredam rasa takutnya. Akan tetapi bukannya semakin tenang, Hanina malah menjadi semakin panik.

Syafa tertawa pelan. "Kamu lucu banget sih, Han. Kita kan gamau ngapa-ngapain kamu," ujarnya.

Sungguh, tawa Syafa begitu menyeramkan di telinga Hanina. Kepala Hanina semakin tertunduk. Namun beberapa detik kemudian kepala mendongak ke atas, karena Lizi menjambak rambutnya dengan kuat. Matanya menatap ke arah Hanina marah. "Lo nanya kita mau ngapain? Lupa lo kejadian kemarin hah?!" bentak gadis itu.

Hanina meringis karena kulit kepalanya terasa sakit akibat jambakan dari Lizi yang semakin menguat. "Ma ... maaf Liz, aku ga—"

"Alah bacot lo!"

Lizi menghempaskan rambut Hanina begitu saja sehingga membuat kepala gadis itu terhuyun ke samping. Tanpa pikir panjang Lizi mengambil sebuah gunting yang ia lihat di atas meja dan mengarahkan gunting tersebut ke wajah Hanina. Refleks Hanina langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Lizi tertawa sinis melihat reaksi Hanina yang begitu ketakutan. Melihat hal itu membuat Lizi merasa senang, benar-benar senang. Tetapi hal itu saja tak cukup untuk meredakan emosinya. Gadis itu kemudian tersenyum licik sembari menarik hampir setengah rambut Hanina.

"Ini akibatnya karena lo udah berani ngusik gue!"Lizi mengarahkan gunting di tangannya pada rambut Hanina.

Melihat hal itu membuat Hanina menggeleng kuat, gadis itu berusaha melepaskan diri dari Lizi. Namun dengan sigap Syafa menahan tubuh Hanina agar diam di tempat. "Tenang aja, nggak sakit kok Han," bisik gadis itu.

Tanpa pikir panjang Lizi langsung memotong setengah dari rambut Hanina itu. "Mampus lo!" Lizi melemparkan rambut Hanina ke arah gadis itu.

Hanina hanya bisa pasrah. Badannya bergetar kuat seiring dengan isak tangisnya yang semakin mengencang.

Sementara itu siswa lainnya sudah sedari tadi berusaha masuk ke dalam kelas, namun sayangnya pintu kelas telah dikunci oleh Tamara.

Galileo yang baru saja datang bersama dengan Georgie pun menatap teman-teman kelasnya bingung. "Kenapa pada diem di luar?" tanya lelaki itu.

"Pintu kelas dikunci," jawab Nota yang sudah terlebih dahulu berada di sana.

"Lah kenapa bisa?" Galileo mencoba membuka pintu tersebut, namun benar saja, pintu kelas mereka dikunci.

"Biasalah. Paling Lizi lagi bales dendam ke Hanina. Kejadian di kantin kan parah banget," celetuk seorang gadis di dekat Galileo.

Mendengar ucapan gadis itu membuat emosi Galileo seketika memuncak. Jantung lelaki itu berdetak lebih cepat dikarenakan emosinya. Tanpa diduga, Galileo tiba-tiba menendang pintu kelas berulang kali.

"Lo ngapain?" tanya Jaden bingung.

Junar yang bediri di sebelah Jaden pun ikutan kaget dengan sikap Galileo yang begitu tiba-tiba.

Galileo tak menjawab. Lelaki itu masih berusaha membuka pintu kelas tersebut. "Buka anjing!" teriak Galileo.

"Woi, woi, buka!" Jaden ikutan berteriak karena merasa takut kalau sampai Galileo merusak pintu kelas mereka.

"Siapa dah tu?" tanya Lizi kesal. "Tam, coba cek!"

Tamara baru saja hendak bangkit dari duduknya, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara hantaman yang keras. Suara itu berasal dari pintu kelas yang berhasil terjatuh ke lantai karena ulah Galileo tadi.

Kini di ambang pintu terlihat sosok Galileo dengan keringat yang bercucuran pada seragam olahraganya. Mata lelaki itu menatap tajam ke arah bangku Hanina. Tangannya terkepal kuat ketika melihat wajah Hanina yang nampak mengenaskan dengan airmata yang membasahi pipi gadis itu.

Detik itu juga Galileo langsung berjalan ke arah Lizi. Secara tiba-tiba Galileo langsung menarik gunting yang dipegang oleh gadis itu dengan kencang, sehingga membuat gunting tersebut menggores telapak tangan Lizi. Galileo tak peduli, lelaki itu melepar asal gunting tersebut. Matanya yang sejak tadi menatap tajam ke arah Lizi, kini teralih menatap Hanina.

Galileo menggertakkan giginya saat melihat kondisi Hanina yang sudah kacau. Rambut gadis itu dipotong secara tak beraturan. Seragam gadis itu terlihat begitu kacau, ditambah isak tangisnya yang sejak tadi tidak berhenti.

Tangan Galileo bergerak mengambil salah satu botol air yang berada di dekatnya. Lelaki itu mengangkat botol tersebut, membuat Lizi menghindar karena takut.

Melihat hal itu membuat Galileo mendengus. Lelaki itu membuka tutup botol tersebut kemudian meneguk air di dalam botol itu hingga habis. Setelahnya lelaki itu melempar asal botol itu, membuat suara yang cukup keras terdengar ketika botol itu terbentur dengan tembok kelas.

Lizi dengan takut takut memberanikan diri menatap ke arah Galileo.

"Takut lo?" Akhirnya Galileo membuka suaranya, setelah sejak tadi hanya menatap tajam ke arah Lizi.

Lizi bungkam, namun tubuhnya tak bisa berbohong. Lizi bergetar ketakutan sejak tadi hanya karena tatapan tajam yang diluncurkan oleh Galileo.

"Jangan diulang lagi," ujar Galileo dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian menatap ke arah Tamara dan Syafa. "Lo berdua juga."

Galileo kemudian menarik tangan Hanina. Membawa gadis itu kedekapannya sembari mengelus lembut rambut Hanina yang sudah tak beraturan. Lelaki itu kemudian kembali menatap ke arah Lizi, "ini peringatan buat lo," ucapnnya sebelum akhirnya pergi membawa Hanina keluar dari kelas itu.

-———-

-———-

Nah loh adalah yang mengamuk rupanya. Hayo gimana sama part kali ini? Apakah sudah puas melihat pergerakan awal dari Tuan Muda Galileo?

Mana nih yang kemarin pada lebih kesel sama Syafa, hari ini Lizi lebih parah kan? Apakah predikat pertama manusia dajjal akan bisa dihibahkan ke Lizi? Atau tetap Syafa?

Aku mau 400 komen for next karena part ini tuh panjang banget lho. Ayo jangan pada jadi siders!

Part selanjutnya kita bahas apa lagi ya ...

08-03-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro