16. Cutie Nina

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena kemarin partnya sadis, dan aku yakin ada beberapa readers yang skip baca, jadi aku bakalan spoilerin part kemarin biar kalian yang ga baca tau.

SPOILER PART 15

Jadi di part kemarin itu nyeritain Lizi yang diculik sama seseorang. Dia dikurung di sebuah ruangan. Dan ternyata orang yang nyulik dia itu Galileo. Ga cuma Lizi, Tamara sama Syafa juga diculik.

Di sana Lizi disiksa habis-habisan sama Galileo. Pokoknya sadis banget deh sampe berdarah-darah. Tapi sayangnya semua itu cuma mimpinya Galileo.

Oke sekian spoileranya. Btw aku liat banyak akun baru yang berdatangan. Coba absen dulu sini readers baru. Kita kenalan dulu biar akrab.

Welcome back budah barbar! And selamat membaca!

-———-

16. Cutie Nina
"Ketika kita sedih, sebenarnya kita hanya membutuhkan satu orang yang peduli."

-———-

GALILEO langsung mendapati pelototan tajam dari kedua orangtuanya. Bahkan lelaki itu tidak diperbolehkan untuk masuk ke kamar. Ia ditahan di ruang keluarga bersama Hanina yang duduk di sebelahnya.

"Ini kenapa Hanina bisa jadi kayak gini? Kamu apain?" tanya Graha dengan tatapan penuh selidik.

Galileo menyadarkan punggungnya sembari mengangkat satu kakinya santai. Tentu saja amarah kedua orangtuanya tidak akan bisa membuat lelaki itu takut. Galileo sudah terbiasa hidup sesuka hatinya, jadi lelaki itu tidak pernah menanggapi masalah sepele dengan serius. Kalian tentu bisa tahu setelah memperhatikan tingkah lelaki satu ini yang selalu santai di setiap kondisi. Ah, masalah kemarin adalah pengecualian. Itu pertama kalinya Galileo mengamuk separah itu. Padahal setelah Galileo pikir-pikir, tidak ada masalah yang parah sampai membuat lelaki itu harus emosi sehebat itu.

"Hanin kamu kenapa? Dijailin ya sama Gale?" tanya Mathia sambil menghampiri Hanina dengan cemas. Bagaimana tidak cemas jika pulang-pulang malah melihat penampilan Hanina berubah total.

"Kamu dandanin adek kamu jadi dora?" tanya Graha yang baru menyadarinya.

"Santai napa, orang dia yang minta," ucap Galileo membela diri.

Hanina tersenyum, "iya, aku yang minta. Aku jadi dora, kakak jadi monyetnya," ucap Hanina dengan wajah polos tanpa dosa.

Seketika itu tawa Graha dan Mathia pecah. Mereka berdua sama-sama menggelengkan kepalanya keheranan. Tak habis pikir kalau Hanina dan Galileo punya ide out of the box di otaknya.

"Anjing kan lo, fitnah bat. Lo doang lah yang jadi dora, gue mah ogah. Sejak kapan lo liat monyet seganteng gue?" cerocos Galileo tak terima.

"Heh, kamu jangan kasar-kasar dong ke Hanina," tegur Mathia.

"Padahal kakak tadi ngeiyain," ucap Hanina.

"Tuh ma, dia mah ngeselin. Tapi gue mulu yang kena omel," protes Galileo tak terima.

Tanpa sadar Graha tersenyum melihat kedua anaknya bisa akur dalam waktu yang cukup dekat. Padahal Graha pikir Galileo akan tidak memperdulikan kehadiran Hanina, mengingat sifat putranya itu yang tak terlalu peduli hal lain selain dirinya sendiri.

"Papa seneng kalian akur," ucap Graha.

"Akur darimananya? Aku cuma manfaatin dia doang. Lumayan bisa jadi guru gratisan," ujar Galileo. Lelaki itu terlihat masih gengsi untuk mengatakan bahwa dia mulai peduli pada Hanina.

"Oh, iya, gimana sekolah kalian? Ada masalah?" tanya Mathia.

Seketika itu Hanina langsung terdiam. Mata gadis itu terlihat bergetar ketika ditanya seperti itu.

Dengan santai Galileo membuka suaranya, "tadi ada masalah dikit," ucap lelaki itu.

Hanina melotot ke arah Galileo. Sedangkan Mathia dan Graha juga sama-sama menatap ke arah anaknya. Bersiap untuk mendengar penjelasan dari lelaki itu.

"Lo ngapain natap gue kayak gitu?" protes Galileo.

Hanina menggeleng, mengisyaratkan agar Galileo tidak menceritakan masalah tadi.

"Apaan?" tanya Galileo bingung.

"Kamu buat masalah apa lagi di sana?" tanya Graha.

"Bukan aku pa, tapi Nina—"

Tiba-tiba Hanina membekap mulut Galileo sembari menggeleng ke arah lelaki itu. Hal tersebut membuat Galileo kaget, kemudian mendorong gadis di depannya itu. "Apaan?"

"Jangan," bisik Hanina.

"Kalian kenapa? Ada apa sebenarnya? Kalau kalian tidak cerita papa akan menanyakan semu ini ke Pak Lukman," ucap Graha dengan nada suara terdengar serius.

"Coba ceritain, ada apa? Jangan buat kita semua cemas." Mathia ikut menimpali.

"Eee ... itu ..." Hanina memutar otak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Graha agar pria itu tidak curiga.

"Hanina ngerusakin pintu kelas," celetuk Galileo.

Perkataan Galileo tadi mampu membuat kedua orangtuanya termasuk Hanina terkejut. "Kenapa bisa?" tanya Graha khawatir.

"Tau tuh, Nina tenaganya kayak angin muson. Dia nyadar dikit di pintu, pintunya langsung rubuh," ucap Galileo. Lelaki itu melirik ke arah Hanina dan terkekeh ketika melihat adiknya memasang wajah pasrah karena telah difitnah.

"Tapi kamu gapapa kan Nin?" tanya Mathia.

Galileo mengangguk, "iya ma, dia ga kenapa. Tadi udah aku tenangin juga. Nina kalo ngamuk serem ma, sumpah genderuwo pasti kalah," ledek Galileo. Lelaki itu masih belum puas memfitnah kembarannya itu.

"Ngaco kamu ah!" Graha tak percaya. Mana mungkin Hanina yang kalem-kalem begitu bisa merusak pintu kelas.

"Bener pa, tanya Pak Lukman aja kalau ga percaya. Dia tadi aku suruh ganti rugi buat pintu. Ini aja besok kita pasti bakalan kena marah. Soalnya Nina minta dibawa pergi pas guru-guru pada nyariin kita," ujar Galileo. Lelaki itu seperti menikmati mengatakan kebohongan seperti itu.

Wajah Hanina semakin pias. Gadis itu takut kalau sampai-sampai dimarah oleh Graha dan juga Mathia.

"Bener begitu Han?" tanya Graha sambil menatap Hanina.

Seketika itu Hanina langsung tertunduk, "maaf pak. Aku salah karena udah rusakin pintu kelas."

Seketika itu tawa Galileo langsung pecah. Astaga adiknya itu polos sekali, bahkan saat difitnah bukannya membela diri, dia justru menunduk sambil mengucapkan kata maaf. Benar-benar tipikal gadis naif nan lugu seperti di film-film. Galileo pikir tipikal gadis bodoh seperti itu hanya ada di layar kaca, tetapi ternyata juga ada di dalam kehidupan nyata.

"Udah lah pa, jangan dimarahin anaknya, kasian," ucap Galileo. "Nin, sini ikut abang. Gue bakalan belain lo di sini," ujar Galileo sembari menarik Hanina pergi dari sana.

"Tapi kak—"

"Udah ikut aja. Emang lo mau dimarahin sama nyokap bokap gue? Liat tu muka mereka udah serem gitu," ujar Galileo menakut-nakuti.

Hanina menengok sejenak ke arah Graha dan Mathia dan buru-buru mengalihkan pandangannya. "Bener kak, mereka kayaknya marah banget," ujar Hanina.

"Nah makanya, mending kabur." Galileo kemudian membawa Hanina masuk ke dalam lift.

"Tapi kalau aku diusir gimana?"

Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Galileo tertawa kencang. Sungguh tingkah Hanina tak ada habisnya membuat Galileo tertawa.

"Kok kakak ketawa sih?" tanya Hanina.

"Ya abis lo kocak," ucap Galileo.

"Lagian kakak kenapa bilang aku yang rusakin pintunya?" tanya Hanina.

"Lo gamau mereka tau masalah sebenernya kan?"

Hanina mengangguk.

"Ya udah makanya gue bilang kayak gitu," ujar Galileo. "Sekalian nyelamatin diri biar ga dimarahin kalau mereka tau gue yang ngerusakin."

"Tapi jadinya aku yang dimarah," ucap Hanina sedih.

"Nah loh Nin, bentar lagi lo disuruh keluar dari rumah ini," ucap Galileo menakut-nakuti adiknya itu.

Hanina terlihat hampir menangis karena ulah Galileo. "Kalau nanti aku ga dikasi ketemu kakak lagi gimana?" tanya gadis itu takut. Tanpa sadar matanya sudah berkaca-kaca.

Ditatap seperti itu membuat Galileo tak tahan untuk tidak memeluk Hanina. Lelaki itu menepuk-nepuk kepala adiknya dengan lembut. "Aduh ... cup cup cup sayang, jangan nangis. Kalau kita beneran dipisahin, gue bakalan diem-diem keluar buat nemuin lo," ucap Galileo. Lelaki itu bahkan masih saja menggoda adiknya yang sudah hampir menangis.

Hanina mengulurkan pelukan Galileo. "Bener kak?"

"Bener Nina, janji deh," ucap Galileo. Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Lelaki itu pun bergegas keluar dari sana. Kemudian ia menoleh ke arah Hanina, "heh sini, ngapain diem di sana? Emang mau gue tinggal?"

Hanina buru-buru ikut keluar dari lift tersebut. Gadis itu berdiri di dekat Galileo. Ia menggeleng cepat, "nggak, kakak jangan tinggalin aku," ucap gadis itu dengan nada mellow.

Galileo terkekeh, "astaga Nin, besok-besok kalau dikasi permen sama orang di jalan jangan mau ya," ucap lelaki itu.

"Kenapa emangnya kak? Kan lumayan gratis," ujar gadis itu.

Mendengar jawaban dari Hanina membuat Galileo keheranan. Bagaimana gadis itu bisa hidup sendiri selama ini? Apakah tidak ada penjahat yang berhasil menangkap Hanina? Atau mungkin penjahat saja malas menjadikan Hanina sebagai target karena terlalu mudah didapat.

Lagian mana seru kan kalau mau nyulik orang dikasi permen langsung ngikut. Kayak ga ada feel nyuliknya gitu.

-———-

JUNAR membersihkan luka di telapak tangan Lizi perlahan. Lelaki itu beberapa kali melirik ke arah gadis itu, memastikan apakah Lizi kesakitan atau tidak. Namun Junar hanya mendapati Lizi tengah termenung menatapi dinding depan kamarnya.

Saat ini mereka sedang berada di kamar Junar, tepatnya Lizi mendatangi rumah Junar jam dua belas malam. Tentunya Lizi melewati pintu belakang agar tidak ketahuan oleh orang-orang di rumah Junar. Gadis itu memang biasa mendatangi kamar Junar di malam hari. Bahkan tak jarang Lizi menginap di sana. Entahlah berada di dekat Junar membuat Lizi cukup tenang. Setidaknya Lizi yakin bahwa lelaki itu tidak akan pernah menyakitinya.

"Sakit?" tanya Junar saat melihat Lizi meringis pelan.

Lizi menggeleng, "dikit."

"Kenapa tadi diem aja digituin Gale?" tanya Junar sembari menempelkan plester luka pada telapak tangan Lizi. "Kayak bukan Lizi yang biasanya," lanjut lelaki itu.

Junar memang melihat kejadian tadi pagi di sekolah. Bahkan Junar hampir saja ikut campur kalau tidak ditahan oleh Georgie dan Nota. Bukannya takut dengan Galileo, hanya saja Junar mengetahui bagaimana sifat Lizi. Gadis itu tidak suka dibela, dia lebih suka membela dirinya sendiri. Karena Lizi kuat, Lizi bisa membuat semua orang bertekuk lutut di hadapannya.

"Gapapa," jawab gadis itu.

"Gapapa apanya? Tangan lo sampe berdarah gara-gara ulah anjing satu itu," ucap Junar dengan nada sedikit emosi.

"Jangan sebut dia kayak gitu, Jun. Gue ga suka," ucap Lizi memperingati.

Junar menatap Lizi bingung. "Lo sebenarnya ada apa sama Gale? Kalian pasti saling kenal kan?"

Lizi menghela napas, "bisa ga jangan kayak gini buat hari ini? Kepala gue udah serasa mau pecah. Makanya gue sampe keluar rumah dan ke kamar lo. Gue mau istirahat," ujar Lizi. "Gue butuh ketenangan. Please jadi Junar yang biasanya. Yang selalu ngertiin gue." Lizi menatap dalam ke mata Junar.

Junar menghela napasnya. Lelaki itu mengulurkan tangannya kemudian menyampiri rambut Lizi di balik telinga gadis itu. "Maaf gue banyak nanya tadi. Sekarang lo bisa tidur, gue tidur di sofa aja," ucap Junar.

"Nggak, hari ini lo temenin gue tidur," ucap Lizi.

"Di kasur? Bareng?" tanya Junar sedikit kaget. Ini pertama kalinya Lizi meminta hal seperti ini. Karena biasanya mereka tidak pernah tidur seranjang, walaupun Lizi sangat sering tidur di kamar Junar.

Lizi mengangguk, "gue ga pengen lo cuma jadi sekedar temen, gue pengen malem ini lo jadi cowok buat gue." Tangan Lizi mulai menyentuh perut Junar, lalu bergerak naik sampai atas dada lelaki itu.

"Liz ..." Junar berkata dengan nada beratnya.

"Karena dengan gitu, gue bisa ngerasa lo adalah Kansa," ucap Lizi sembari menghamburkan pelukannya di tubuh Junar. "Gue tau lo pengen bisa nyentuh gue. Untuk malam ini, you can do what you want, asal jangan dimasukin aja," ucap gadis itu. (Li bisa lakuin apapun yang lo mau).

Junar masih berusaha untuk mencerna ucapan Lizi barusan. Ini tidak seperti Lizi yang biasanya. Ada apa dengan gadis itu? Junar benar-benar kaget. Lizi yang sangat trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan sex, malam ini mengajaknya untuk making love. Ini sangat tidak masuk akal.

Junar tersenyum lembut ke arah Lizi ketiga gadis itu mengendurkan pelukan mereka. Lelaki itu mengelus pelan pipi Lizi. "Sejak kapan sih gue pengen ngelakuin itu sama lo?" tanya Junar.

Lizi mengerutkan keningnya, "bukannya itu alasan lo selalu ada buat gue? Lo pengen badan gue kan?l

Junar terkekeh pelan, "ngaco dah lo," ucap lelaki itu. "Gue selalu ada buat lo karena gue sayang sama lo," ujar Junar.

"Sayangnya cowok bukannya selalu tentang fisik?" Lizi masih tak percaya.

"Sayangnya gue beda Liz," ujar Junar. "Kalau lo mau tidur bareng gue, ya udah ayo aja. Gue janji ga bakalan nyentuh lo sama sekali."

"Kenapa?" tanya Lizi.

"Karena gue sayang sama lo. Napsu gue bakalan kalah sama rasa sayang gue," ucap Junar sembari menatap tulus ke arah mata Lizi.

Lizi tersenyum tipis. Ia memang selalu tak mempercayai ucapan Junar, namun hari ini ia memutuskan untuk percaya terhadap perkataan lelaki itu. Untuk hari ini saja, Lizi ingin menjadi bodoh dan mempercayai seseorang, seperti yang dulu ia lakukan.

"Gue tau itu boong, but thanks Jun," ucap Lizi. "Buat hari ini aja gue mau percaya sama sama seseorang. Dan gue milih lo buat ngelakuin itu," ucap Lizi.

"Yes, you can use me as you like, Liz," ucap Junar. (Iya, lo bisa memanfaatkan gue sesuka lo).

"Gue ngantuk," ucap Lizi. "Mau tidur sekarang."

"Sama gue?" tanya Junar memastikan.

Lizi mengangguk. Gadis itu kemudian naik ke ranjang milik Junar, kemudian merebahkan diri di sana. Gadis itu kini menatap ke arah Junar yang masih berdiri di dekat ranjang. Beberapa saat kemudian lelaki itu membaringkan diri di sebelah Lizi.

"Are you sure, Jun? Lo gamau make gue?" tanya Lizi lagi. (Kamu yakin, Jun?).

Junar menoleh ke arah Lizi kemudian menyentil pelan kening gadis itu. "Jangan ngomong sembarangan lagi, atau gue bakalan marah," ucap lelaki itu.

Lizi terkekeh pelan. "Gue becanda Junar, lo kenapa serius banget sih? Apa jangan-jangan lo udah turn on ya?" ledek gadis itu.

"Lo pikir gue segampang itu?" tanya Junar.

"Nggak sih. Lo aja bisa biasa-biasa aja pas liat gue ga pake bra," ujar Lizi.

"Jangan bahas itu. Lo mau gue marah lagi?" tanya Junar.

Lizi jadi mengingat saat itu Junar benar-benar marah karena gadis itu pergi ke rumah Junar di tengah malam dengan baju tipisnya tanpa mengenakan bra. Saat itu Junar marah besar karena khawatir dengan keadaan Lizi. Tentu marahnya Junar tidak mengamuk atau apapun. Lelaki itu bersikap dingin kepada Lizi.

Dinginnya Junar berbeda. Lelaki itu tetap akan menjawab semua pertanyaan gadis itu. ataupun memberikan sesuatu yang Lizi butuhkan. Hanya saja Junar tidak akan mengelus lembut rambut Lizi atau mengecup puncak kepala gadis itu.

"Iya, iya," ucap Lizi.

Sejenak keduanya sama-sama terdiam pada posisi itu. Junar menatap ke arah Lizi yang tidur di sebelahnya.

Lizi kemudian memiringkan badannya ke arah Junar. "Mau peluk boleh ga?" tanya gadis itu.

Junar mengangguk, "kapan sih gue pernah nolak lo Liz?" Junar kemudian menarik pinggang gadis itu. Memeluk Lizi tepat seperti permintaan gadis itu.

Lo nya aja yang selalu nolak gue, batin Junar.

"Gimana? Nyaman?" tanya Junar.

Lizi mengangguk sembari balas memeluk Junar.

"Ya udah sekarang tidur," ucap Junar. "Nanti jam lima gue bangunin," lanjut lelaki itu.

"Thanks Jun."

-———-

BONUS PICT LIZI AND JUNAR

-———-

Aku teriak sumpah. OMG JUNAR SAMA LIZI CUTE BANGET MO NANGIS.

Ah tidak kenapa aku jadi jatuh cinta sama relationshipnya mereka. Astagaaaaaaa ...

Junar Lizi semakin di depan? Yes or no?

Part kali ini lumayan panjang karena kemarin aku ga update. Sebenarnya sekarang harusnya aku ga update, karena deadline naskah hari ini dan aku belum revisi tiga part lagi. But, karena aku gamau kalian nunggu lama, dan ide di otakku udah maksa minta dituangin, ya udah deh aku ngetik di sini.

Jadi aku minta kalian buat vote sama komen ya. Aku bakalan next kalau comment nya udah seribu kayak kemarin. Inget ya kalian bareng-bareng spam komennya, jangan satu dua orang aja yang berusaha menuhin target. Yang lain juga dong.

12-03-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro