33. Rahasia; Fakta Yang Tersembunyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

33. Rahasia; Fakta Yang Tersembunyi
"Rahasia adalah sebuah fakta yang disembunyikan. Entah kapan hal itu akan terbongkar. Mungkin hari ini, esok, lusa atau mungkin selamanya akan tetap tersembunyi." —Harshita Tamara Adiwijaya.

-———-

OFFICIAL TRAILER - UNFAMILIAR TWINS (2021)

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

AYO DITONTON DULU TRAILER DI ATAS. AKU BUATNYA SEHARIAN :(

JANGAN LUPA LIKE + KOMEN JUGA

THANK U BUDAK BARBAR💖

-———-

TUBUH Nota mematung. Lelaki itu masih kaget dengan perkataan yang dibisikan oleh Tamara tepat di telinganya itu.

"Gausah gitu juga kali ekspresi lo," ucap Tamara dengan nada yang terdengar santai.

"Beneran?" tanya Nota.

Tamara terkekeh kemudian mengangguk, "yes, i got it too. Pesan teror kan?"

"Lo tau darimana gue juga dapet teror?" tanya Nota.

"Akting lo ketara banget. Wajarlah gue tau. Apalagi lo ngelakuin kesalahan fatal ini," ucap Tamara sembari memainkan lipstik yang ia pegang tersebut.

Nota menatap tak yakin ke arah Tamara.

"You don't believe me hm?" tebak Tamara.

Lelaki itu tak menjawab. Hanya diam sembari terus menerus meneliti wajah gadis di depannya.

"Jangan bilang lo ngira gue yang neror?" Tamara menatap ke arah Nota, memastikan apakah prasangkanya benar atau tidak. Lalu kemudian tawa gadis itu pecah saat menyadari raut wajah Nota yang seperti mengiyakan pertanyaannya tadi. "Seriously? Lo beneran mikir gue bakalan pake cara cupu gitu buat neror lo?"

"Mungkin," jawab Nota.

"Haha ... that's not at all. Gue lebih suka di depan gini. Tatap muka. Satu lawan satu," kata Tamara. "Udah ah, gue masih ada les." Tamara mendorong kasar bahu Nota agar lelaki itu menyikir dari hadapannya. Lalu tanpa basa-basi lagi Tamara pergi dari sana. Meninggalkan Nota yang masih berdiri di posisinya sambil menatap ke arahnya.

-———-

TAMARA keluar dari taksi yang ia tumpangi itu. Semenjak perselisihannya dengan Lizi beberapa minggu lalu, Tamara jadi tidak bisa memanfaatkan gadis itu sebagai penjemputnya. Alhasil Tamara harus menggunakan taksi online untuk pergi ke sekolah, mengingat dirinya tidak punya sopir pribadi seperti teman-temannya yang lain. Jangankan sopir pribadi, mobil pribadi saja Tamara tidak punya.

Memang bukan rahasia lagi, kalau keluarga Tamara adalah keluarga yang paling miskin di antara circle-nya. Akan tetapi Tamara bukanlah gadis yang melarat seperti Hanina. Bahkan keluarga Adiwijaya bisa digolongkan sebagai keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Tamara adalah orang berada. Hanya saja dia salah masuk pergaulan, sehingga membuatnya jadi terlihat miskin.

Sebenarnya ini bukan kesalahan dari Tamara. Herman Adiwijaya lah yang harus bertanggung jawab penuh akan hal ini. Beliau yang paling bersikeras agar Tamara masuk ke Diratama International School. Mungkin Herman memiliki gengsi yang cukup tinggi sehingga membuat Tamara harus menjalani gaya hidup yang di luar batas kemampuannya.

Bukannya tanpa sebab, mengingat Herman merupakan salah satu profesor terkenal dan terkemuka di Indonesia. Tentu pria itu enggan jika dianggap tak mampu membiayai anaknya untuk masuk ke sekolah paling bergengsi di ibukota.

Tamara berjalan masuk ke dalam rumah bertingkat dua lantai itu. Baru saja gadis itu masuk ke dalam, dirinya sudah disambut oleh keberadaan Herman yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Pria itu sedang membaca sebuah buku. Tamara tebak buku itu pasti berhubungan dengan penelitian barunya.

"Kamu telat sepuluh menit," ucap Herman sembari menutup bukunya.

"Macet, Yah," kata Tamara.

Herman menatap anak gadisnya itu. Tatapan Herman seperti biasanya, selalu mengintimidasi sang lawan bicara. "Bagaimana hasil olimpiade sains kamu di UI waktu itu?" tanya Herman. "Kalah lagi?"

Kepala Tamara tertunduk, "juara dua, Yah."

Herman mendengus, "mau sampai kapan dikalahkan oleh putra dari keluarga Manggala? Mempermalukan nama Adiwijaya saja."

Tamara meremas ujung roknya. Berusaha menahan diri atas penghinaan yang selalu diterima oleh ayahnya itu. Ingin rasanya Tamara memberontak. Sayangnya dia masih memerlukan tempat tinggal dan makanan. Kalau saja Tamara memiliki penghasilan sendiri, sudah dipastikan ia akan meninggalkan rumahnya tanpa ragu. Lagian siapa yang betah tinggal dengan keluarga rusak seperti ini?

Bersamaan dengan itu Ainur —ibu Tamara datang membawakan secangkir teh hijau dengan beberapa potong bolu yang sepertinya baru matang. Wanita itu menyuguhkan makanan tersebut kepada suaminya. "Ini mas, makan dulu," ucapnya.

"Saya tidak mengerti kenapa kamu bisa menjadi bagian dari Adiwijaya, sementara kemampuan otakmu sangat rendah." Herman masih melanjutkan perkataannya. "Sepertinya gen ibumu terlalu mendominasi sehingga kamu menjadi sama bodohnya dengan dia." Dengan terang-terangan pria itu merendahkan istri dan putrinya secara bersamaan.

Seperti biasa Ainur hanya terdiam saat mendapatkan penghinaan itu. Dan diamnya Ainur benar-benar membuat Tamara semakin muak. Ia ingin memprotes, hanya saja dia tidak jauh beda dengan ibunya, dia juga tidak membela diri ketika dirinya direndahkan.

Prak.

Tiba-tiba Herman membanting piring kecil yang berisi bolu tersebut ke atas lantai dengan keras. Hal tersebut menyebabkan piring itu pecah dan pecahannya mengenai kaki Tamara yang berdiri tak jauh dari sana.

"Memang istri tidak berguna. Sudah kerjaannya diam seharian di rumah, bikin bolu saja tidak becus." Herman bangkit dari duduknya. "Saya heran kenapa ibu bisa memilih kamu sebagai menantunya," ucap Herman pada Ainur tepat di depan wanita itu sebelum akhirnya pergi dari sana.

Tamara menghela napas. Ia sudah tidak kaget lagi dengan kejadian seperti itu. Sudah ia bilang bukan? Keluarganya itu toxic, sangat. Jadi jangan heran jika suatu saat nanti, ketika Tamara sudah memiliki uang yang cukup, ia akan benar-benar meninggalkan orangtuanya itu. Tidak hanya meninggalkan mereka, Tamara pastikan ia juga akan meninggalkan semua kenangan buruk yang pernah ia alami. Tentunya beserta menghapus nama Adiwijaya dari nama lengkapnya.

Tamara melirik malas ke arah Ainur yang kini sedang membersihkan serpihan piring yang berceceran di atas lantai. Tidak, Tamara sama sekali tidak merasa kasihan dengan ibunya itu. Untuk apa? Toh, beliau juga tidak mengasihani dirinya sendiri.

Lagi pula Tamara juga tidak merasa punya ikatan batin pada siapapun di keluarga ini. Dia tidak memiliki perasaan kasih sayang yang seperti kebanyakan orang miliki. Tidak untuk ayahnya, ataupun ibunya.

Herman selalu menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Seolah mengatakan bahwa dia adalah penguasa di dalam rumah ini. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan Herman, sang kepala keluarga.

Ainur selalu menatapnya dengan tatapan kosong, bahkan beberapa kali terlihat enggan menatap ke arah Tamara. Entah apa maksud dari perilaku wanita itu. Tamara menebaknya, mungkin saja Ainur merasa menyesal melahirkan seorang anak seperti Tamara. Atau mungkin dia menyesal telah masuk ke dalam silsilah keluarga Adiwijaya. Untuk yang satu itu, Tamara bisa memahaminya. Dia sendiri juga menyesal memiliki nama belakang itu.

Dan ... oh iya jangan lupa kalau Tamara juga memiliki sosok kakak laki-laki, Abyaz Kaliandra Adiwijaya. Sosok yang dipuja-puja oleh ayahnya karena kepintarannya yang sangat luar biasa. Tapi tentunya tidak ada yang bisa Tamara harapkan dari sosok itu. Kan sudah Tamara katakan, keluarganya itu rusak.

"Buat ayah marah lagi?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Abyaz saat Tamara berpapasan dengan lelaki itu.

Tamara tak menjawab. Tujuannya hanya satu, masuk ke dalam kamar dan mengurung diri dengan tumpukan buku di dalam ruang belajar sempit yang menyerupai lemari itu.

"Otak bodoh lo emang selalu bikin malu keluarga."

Setelah berucap seperti itu, Abyaz dengan santai melenggang pergi, meninggalakan Tamara begitu saja seolah dia tidak melakukan sesuatu yang salah. Sedangkan Tamara? Gadis itu dengan cepat berjalan masuk ke dalam kamarnya yang tinggal beberapa jengkal dari tempatnya berdiri.

Sesampainya di dalam kamar. Tamara langsung membanting tasnya ke atas kasur. Gadis itu juga melepas sepatu dan kaos kakinya, lalu menaruhnya secara asal. Tanpa mengganti bajunya, Tamara langsung masuk ke study cube-nya. Sebuah ruang yang menyerupai lemari yang luasnya hanya 1 x 2 meter.

Tamara duduk di sebuah kursi kayu yang ada di dalamnya. Gadis itu kemudian mengambil sebuah buku yang tersusun rapi di meja yang ada di hadapannya. Tamara membuka buku tersebut. Membalik satu persatu halamannya dengan kasar sehingga membuat salah satu kertasnya menjadi robek.

"Bangsat!!!" umpat gadis sambil meremas kertas buku di hadapannya. Sungguh, Tamara muak dengan rutinitasnya ini.

Kehidupannya hanya dipenuhi dengan semua buku-buku yang selalu berdatangan tanpa habis. Tidak di sekolah, di rumah, di tempat les, semuanya hanya membicarakan mengenai materi pelajaran. Tamara bahkan tidak punya sedikit pun waktu luang untuk menghibur diri. Bahkan saat mengisi perut pun, pasti ada sebuah buku yang menemaninya.

Sungguh ia ingin hidup bebas di luar. Ia muak disekap di ruang kecil ini dengan buku-buku yang tiap lembarnya tidak pernah habis.

Tamara meremas kuat-kuat kertas buku yang kini sudah terkoyak itu. Setetes airmata jatuh membasahi pipinya. Tamara menatap dinding di hadapannya dengan penuh emosi. Napas gadis itu menjadi tidak beraturan. Dadanya naik turun, menandakan emosinya sudah diujung batas.

Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar, diikuti oleh decitan pintu yang dibuka. Tamara menoleh, menatap ke arah pintu kamarnya melalui kaca yang ada di pintu study cube tersebut.

Sesosok perempuan berdiri di sana, tersenyum manis ke arahnya.

Seketika itu emosi yang tadi Tamara rasakan menjadi luruh, menghilang begitu saja.

Tamara balas tersenyum, membuat perempuan tersebut akhirnya berjalan mendekatinya. Pintu study cube-nya dibuka. Kini perempuan tersebut terlihat jelas di hadapan Tamara.

"Sorry ya, Miss telat," ucapnya.

Tamara menggeleng, "it's okay miss," ucap gadis itu.

Perempuan itu melirik ke arah meja di hadapan Tamara. Ia kemudian tersadar kalau Tamara baru saja merusak sebuah buku.

"Mau istirahat dulu? Miss bisa di sini sampai jam tujuh malem."

Tamara mengangguk. Gadis itu kemudian mengulurkan tangannya, memeluk perempuan di hadapannya itu.

Perempuan itu dengan senang hati membalas pelukan Tamara. Ia mengusap dengan lembut rambut gadis itu. "It's okay, kamu udah kuat banget bisa bertahan sampai di titik ini," ujarnya.

Dia adalah Miss Rami. Sosok wanita berumur 24 tahun yang sudah menjadi guru les Tamara sejak SMP. Bisa dibilang hubungan mereka berdua sudah sangat dekat. Melebihi hubungan murid dan guru pada umumnya.

Bagi Tamara Miss Rami adalah segalanya. Kehadiran Miss Rami sungguh berarti di hidup Tamara. Hanya Miss Rami lah satu-satunya alasan Tamara masih bertahan hingga detik ini. Tamara tidak tahu apa jadinya jika tak ada Miss Rami di hidupnya.

-———-

rUuZtuoZ : i know your biggest secret

rUuZtuoZ : lesbian, it's that you?

-———-

Four secrets is finally revealed to you!

And who is next?

-———-

[ ZEPETO VISUALISASI ]
HANINA CAVA LA LUBIS

GALILEO KANSA LA LUBIS

LIZINA ALEXANDRA

JUNARTHA BALADITYA ARNAWAMA

PRIYATNA SYAFA DIATMIKA

NAYAKA BAGASPATI DIRATAMA

HARSHITA TAMARA ADIWIJAYA

ZADENDRICK GOTTAHRD

NOTA RADHIKA MANGGALA

-———-

Akhirnya bisa update juga. Ayo dong penuhin targetnya jangan lama-lama, aku kan jadi gregetan harus nahan diri biar ga update.

600 votes + 1,3k komen for next!

15-04-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro