40. Makan Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

40. Makan Malam
"Semua hal bisa terjadi, karena setiap kemungkinan pasti akan selalu ada. Jadi jangan sampai lengah atau kamu akan kalah."

-———-

"JADI lo anak dari keluarga La Lubis?" Pertanyaan itu langsung menyapa Hanina ketika gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi.

Di sana, tepat di dinding depan toilet perempuan, Junar menyandarkan punggungnya sembari menatap ke arah gadis itu.

"Junar?" Hanina terperanjat kaget ketika melihat keberadaan Junar di sana.

Lelaki itu berjalan mendekati Hanina, menatap gadis itu dengan mata tajam miliknya. Ditatap seperti itu membuat Hanina menjadi menundukkan kepalanya ketakutan.

Tangan Junar tiba-tiba terulur mengangkat dagu gadis itu. "Gue lagi ngomong sama lo. Liat sini."

Perkataan Junar terdengar seperti perintah bagi Hanina. Dengan takut-takut gadis itu pun mengangkat kepalanya. Seketika itu wajah Junar langsung terpampang nyata di hadapan Hanina. Ini pertama kalinya Hanina menatap wajah Junar dari jarak yang sedekat ini.

"Gausah takut, gue ga gigit," kata Junar.

"Ka ... kamu mau apa?" tanya Hanina terbata-bata.

"Mmm ... nope. I just wanna see the new face of the La Lubis family." Junar benar-benar meneliti tiap jengkal dari wajah Hanina. Membuat gadis itu jadi semakin ketakutan.

"Junar?" Hanina memberanikan diri untuk kembali membuka suara. Ia merasa tak nyaman jika Junar terus-terusan menatapnya seperti itu.

Tangan Junar berjalan naik dari dagu Hanina. "Interesting," ucap Junar sembari mengusap lembut pipi Hanina sebelum akhirnya meninggalkan gadis itu.

Untuk pertama kalinya Hanina berhasil menarik perhatian Junar.

-———-

"PARAH sih parah!"

Suara Jaden memecah keheningan di atas meja makan tersebut. Setelah selesai dengan pembukaan dari orang-orang penting tadi, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Tentunya mereka semua dibagi ke dalam ruangan yang berbeda. Mungkin itu karena para orangtua dan staf sekolah ingin dengan leluasa membicarakan bisnis mereka tanpa gangguan dari para siswa.

"Anjing gue masih speechless!" seru Jaden.

"Kalau dipikir-pikir lagi panggilan 'kak' yang disebutin Hanin tiap kali manggil Gale seharusnya udah cukup buat kita sadar tentang hubungan mereka berdua," ujar Nota sembari mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada meja makan.

Tamara memandang remeh ke arah Nota. "Gue nggak nyangka otak lo bisa sebodoh itu, Not," celetuk Tamara.

"Dih, kayak lo sadar ae," balas Jaden. Namun beberapa detik kemudian ia kembali menatap ke arah Tamara. "Jangan bilang lo ..."

Tamara menganggukkan kepalanya dengan bangga.

"Jadi lo udah tau Gale sama Hanin kembaran?" tanya Jaden.

"Nope. Gue cuma yakin kalo Hanin bukan sembarangan mainannya Gale kayak yang lo pada pikirin," ucap Tamara.

Tamara menyadari hal tersebut ketika ia merasakan amarah Galileo saat itu. Tatapan yang diberikan Galileo kepada Lizi membuat Tamara yakin bahwa Hanina bukanlah orang yang bisa dia anggap remeh. Maka dari itu Tamara memutuskan untuk memberanikan diri melepas ikatannya dari Lizi dan Syafa. Perlahan namun pasti ia berdiri di pihak yang lebih kuat, yaitu La Lubis.

Bisa dibilang Tamara ingin memanfaatkan tiap potensi yang ada di lingkungan sekitarnya. Karena ia tahu bahwa mustahil bagi Tamara untuk berdiri sendiri ditengah kekuasaan teman sekelasnya. Tamara harus bergantung pada yang lebih berkuasa agar tidak jatuh seperti Hanina. Ia harus pintar memanfaatkan kekuasaan orang-orang sekitarnya supaya dirinya selamat.

Tamara tidak punya kekuasaan, tapi dia memiliki otak yang bisa diandalkan. Maka dari itu, selemah apapun Tamara, dia akan tetap bisa bertahan.

Pada akhirnya semua orang bergerak atas kepentingannya sendiri.

Tiba-tiba pintu ruangan tersebut terbuka, menampakkan Lizi, Syafa, Junar dan Georgie yang masuk secara bersamaan.

"Mampus lo Liz! Hanin kembarannya Gale, apa kaga mati lo?!" seru Jaden ketika melihat kedatangan Lizi.

Lizi tak menggubris ucapan Jaden. Gadis itu memilih langsung duduk di meja makan. Mungkin ia masih terlalu kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun dilain sisi Lizi merasa senang. Setidaknya Hanina bukan sosok perempuan yang Galileo cintai. Itu artinya Lizi masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Galileo. Walaupun hal tersebut terasa sangat mustahil.

"Sadar diri, Den. Lo juga ngebuli Hanin," ujar Nota.

"Dih, mana pernah! Gue mah ga bisa nindas cewek cakep," elak Jaden.

"Seinget aku, kamu selalu maksa Hanin ngerjain tugas sekolah kamu. Oh, iya, Lizi juga sama," kata Syafa.

"Kaga anjing, gue kaga—" Seketika Jaden teringat masa-masa dimana ia menistakan Hanina. Membuat gadis itu seolah berada di dalam neraka dengan rayuan-rayuannya. Oh, tidak, Jaden pernah berkata sangat kasar saat di UKS dulu. "Mampus gue!" umpat Jaden sembari mengacak rambutnya frustasi.

Melihat hal itu membuat Lizi menjadi muak. Gadis itu bangkit dari duduknya, hendak pergi dari ruangan tersebut.

"Mau kemana lo?" tanya Junar sambil mencekal tangan Lizi.

"Pulang. Gue ga ada mood buat lanjutin acara ini," jawab Lizi. Gadis itu hendak berbalik pergi, namun pintu ruangan tersebut tiba-tiba terbuka. Menampakkan Hanina dan Galileo yang berjalan masuk secara berdampingan. Melihat keduanya berdampingan seperti ini, membuat mereka semua tersadar bahwa wajah Hanina dan Galileo memiliki banyak kemiripan. Dan bodohnya mereka semua tidak menyadari hal tersebut sejak awal.

"Bentar lagi selesai, Liz. Gue gamau lo kena marah bokap lo," ujar Junar sembari membawa kembali Lizi ke tempat duduknya. Lelaki itu juga melepaskan jas hitam yang ia kenakan dan menaruhnya di atas paha Lizi untuk menutupi kulit gadis itu yang terekspos akibat gaun yang ia kenakan.

Suasana menjadi kembali hening saat Hanina dan Galileo duduk di kursi yang tersisa. Mungkin semuanya merasa sungkan untuk memulai percakapan. Atau mereka terlalu takut untuk berbicara mengingat apa yang telah mereka lakukan selama ini kepada putri satu-satunya dari keluarga La Lubis.

Di tengah keheningan, tiba-tiba Syafa yang duduk di sebelah Hanina menoleh ke arah gadis itu. Ia menaruh tangannya di atas bahu Hanina semberi menatap Hanina dengan senyumannya. "Hanin, aku bener-bener kaget loh pas denger pengumuman tadi," ucap Syafa. "Awalnya sih aku udah ngira kamu itu bukan sembarang orang. Eh, tapi Lizi malah bilang kayak gitu."

"Mungkin dia bercanda ngatain kamu pembantu. Jangan dimasukin hati ya." Seperti biasa, suara Syafa begitu lembut dan halus, membuat siapa saja yang mendengar akan terlena oleh sensasi kebaikan yang gadis itu ciptakan. "Bener kan, Liz?" Syafa menatap ke arah Lizi.

Mendengar hal itu membuat Lizi membuang wajahnya. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat, untuk menahan emosinya. Apalagi saat melihat Hanina yang memasang wajah tanpa dosa setelah menipu semua orang. Apa dia sengaja membuat nama Lizi jelek di depan Galileo?

"Lepas," ucap Galileo sembari menepis tangan Syafa dari pundak Hanina. Terlihat jelas lelaki itu masih sangat marah kepada Syafa.

"Mampus, abangnya marah," ledek Jaden. "Btw Han, lo kenapa ga pernah cerita sama gue kalau Gale kembaran lo?"

Hanina balas menatap ke arah Jaden, "Aku kira kamu udah tau."

"Kaga tau gue. Gue kira lo itu semacam abang adek-annya si Gale doang," ujar Jaden.

"Gue ga se-manerless itu," ucap Galileo. "Lagian Nina kaga punya keharusan nyeritain semua itu ke lo."

Jaden mendengus, "Posesif banget dah jadi kembaran."

"Wajar, Den. Lo salah satu spesies berbahaya buat cewek kayak Hanina," ucap Nota.

"Bangsat!" umpat Jaden kesal.

Sementara itu Hanina mengedarkan pandangannya dan tanpa sengaja matanya bertemu dengan sorot mata tajam milik Junar. Lelaki itu ternyata sejak tadi sudah menatap ke arahnya. Tentu hal tersebut membuat Hanina jadi makin cemas. Ia takut jika ia telah tanpa sengaja membuat kesalahan besar kepada Junar.

Tapi kapan?

Karena tak ingin terlalu lama bertukar pandang, Hanina pun mengalihkan pandangannya. Namun tanpa sengaja gadis itu menangkap sudut bibir kanan Junar terangkat, membentuk sebuah senyuman.

"Berarti mulai sekarang lo semua harus hati-hati sama dia. Jangan macem-macem kalau gamau bermasalah sama keluarga La Lubis." Junar membuka suaranya sembari meminum air dari gelas yang ada di sana.

"Tapi kamu ga benci sama aku kan, Han?" Syafa menatap ke arah Hanina.

"Eh?" Hanina mengernyitkan dahinya bingung.

"Kaga lah. Hanin mah baik, sabar, terus pemaaf lagi. Ya kaga, Han?" Jaden mengedipkan sebelah matanya kepada Hanina.

"Peres lo, Den." Nota geleng-geleng kepala.

"Iya sih, Hanin ga mungkin benci sama kita. Ga mungkin kan kalo Hanin tiba-tiba neror kita buat bales dendam."

Dan perkataan Syafa membuat ruangan tersebut seketika menjadi hening.

Tidak mungkin kan?

-———-

Kangen ga? Kangen ga?

Seriusan aku tu stuck banget buat lanjutin cerita ini. Awalnya aku males ngetik karena masih belum ada ide, makanya aku mutusin buat nonton Naruto. Eh, tapi malah jadi ketagihan. Ya udah deh aku lupain ngetik cerita dan fokus buat nonton aja, sekalian refreshing biar otak lebih santai.

Dan setelah selesai hibernasi, bukannya jadi fresh, aku malah jadi stress karena lupa sama alur ceritanya wkwk.

Sumpah ya kesel banget. Aku lupa sama karakter dari tokoh cerita aku, makanya buat ngetik satu part ini, aku butuh waktu yang lama banget :(

Tapi kalian jangan bosen ya buat nungguin cerita ini. Aku bakalan usaha biar fast update lagi. Jangan capek-capek buat spam komen juga!

2k vote + 2k komen for next!

15-05-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro