46. Pahlawan Gadungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

46. Pahlawan Gadungan
"Seseorang sering kali berlindung dibalik kata 'keadilan' agar tindakannya yang salah dapat dibenarkan."

-———-

FOLLOW AKUN WATTPADKU DULU SEBELUM MULAI BACA.

-———-

"ANJING, ngantuk banget gue," keluh Jaden sembari mengusap wajahnya. Lelaki itu kemudian menjatuhkan bokongnya di atas bangku. "Mau bahas apa lagi dah?" tanya Jaden pada Nota.

Berkat Nota, Jaden akhirnya merelakan jam tidurnya untuk berangkat lebih pagi ke sekolah. Begitu pula dengan Syafa, Georgie dan Lizi. Mereka datang lebih dulu daripada biasanya, agar bisa membahas masalah teror tanpa didengar oleh teman kelas yang lainnya.

"Gue cuma mau bahas masalah teror yang kita dapetin. Sekalian gue juga mau tau pendapat dari kalian," ujar Nota.

"Bukannya si Gale udah ngaku?" Jaden memasang tampang bodo amat. Mungkin lelaki itu masih mengantuk, sehingga tidak berminat untuk membahas masalah tersebut.

Syafa mengangguk setuju, "Iya. Kemarin Gale juga udah ngaku kan? Tapi aku kaget banget lho, ternyata Gale itu dalang dari teror yang kita dapetin. Aku ga nyangka Gale bisa setega itu sama kita. Padahal aku aja ga pernah punya masalah sama dia." Wajah Syafa menampakkan ekspresi kekecewaan yang mendalam.

Jaden menghela napas malas, "Lo ngebuli kembarannya bego. Bukan lo doang, tapi kita semua. Kecuali si Georgie sama Nota. Kalo Junar gue gatau dah gimana," ujar Jaden. "Jadi menurut gue masuk akal Gale ngelakuin ini semua."

Nota terdiam sejenak. Yang diucapkan Jaden memang ada benarnya, Galileo memiliki motif yang sangat jelas untuk dijadikan tersangka. Akan tetapi entah kenapa Nota masih ragu jika semua ini adalah ulah Galileo. Kalau lelaki itu benar-benar ingin membalas semua tindakan pembulian yang didapatkan Hanina, lalu mengapa dia dengan mudahnya membongkar hal tersebut kemarin?

"Nggak, bukan Kansa," ucap Lizi dengan yakin.

"Dih, lo mah dari kemarin bilangnya bukan Kansa mulu," dengus Jaden kesal. "Lagian lo kenapa manggil Gale pake nama tengahnya sih? Deket lo sama dia?"

Lizi menatap sengit ke arah Jaden, "Bukan urusan lo, sat!"

"Bikin irisin li, sit," ledek Jaden dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. Kalau saja saat itu ada Junar di sana, sudah bisa dipastikan bokong Jaden akan menjadi sasaran empuk bagi lelaki itu.

"Diem, Den," ucap Nota.

"Menurut gue juga bukan Gale." Kali ini Georgie membuka suaranya. "Bukan gini cara mainnya Gale."

Syafa menoleh ke arah Georgie, "Tapi Ge, cara main orang kan bisa ganti-ganti, tergantung dari segi keuntungan yang mereka mau."

Georgie menggeleng, "Gale bukan lo, Syaf. Dia punya prinsip."

Syafa menatap sinis ke arah Georgie. Namun beberapa saat kemudian ia kembali menatap ke arah teman-temannya yang lain. "Kalau bukan Gale, berarti siapa dong pelakunya?" tanya Syafa.

Suasana menjadi hening sejenak.

"Masa Hanin sih? Ga mungkin kan?" pancing Syafa. Gadis itu memerhatikan satu persatu ekspresi wajah teman-temannya ketika ia menyebut nama Hanina. Dan tepat seperti dugannya, mereka semua memang mencurigai Hanina.

"Jangan asal nuduh deh lo. Ga mungkin Hanin," ucap Jaden membela. Dia yakin pelakunya bukan Hanina, karena Jaden sudah cukup kenal dengan gadis itu. Dan Hanina bukan tipe gadis yang bisa melakukan semua ini.

"Terus siapa dong? Masa iya salah satu dari kita ada yang bohong?" tanya Syafa lagi.

Perkataan Syafa lagi-lagi membuat yang lainnya saling menatap satu sama lain. Kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada jaminan bahwa mereka semua benar-benar mendapatkan pesan teror. Bisa saja ada salah satu diantara mereka yang berbohong.

"Bisa aja," ucap Nota. "Kita kan ga bisa mastiin siapa siapa aja yang beneran dapet pesan teror."

"Nggak. Gue yakin Hanin pelakunya," ujar Lizi.

"Au ah, bodo amat gue. Lama-lama gue ngikutin gaya Tamara ae dah biar cepet kelar," ujar Jaden.

Mendengar nama Tamara disebutkan membuat tubuh Nota sedikit menegang. Setelah semua hal yang terjadi kemarin, Nota merasa sangat sensitif jika mendengar nama gadis itu.

"Eh, iya, btw selamat ya Not. Aku denger dari mama, kamu bakalan tunangan deket-deket ini," ucap Syafa.

Mata Jaden seketika melotot mendengar ucapan dari Syafa. Tentu Jaden tidak tahu berita itu. Dia tidak memiliki orangtua yang bergabung ke dalam perkumpulan sekolah. Dan juga Nota sama sekali tidak memberitahu hal tersebut.

"Hah? Gila lo? Kapan anjing? Kenapa kaga bilang gue?" Jaden tidak bisa menyebunyikan keterkejutannya.

"Masih rencana. Gue juga baru tau kemarin," ujar Nota.

"Sama siapa?" tanya Jaden lagi.

"Tuh, orangnya dateng," celetuk Lizi sembari menatap ke arah gadis yang baru saja masuk ke dalam kelas.

Tanpa basa basi Tamara langsung melempar tasnya ke atas meja, kemudian berjalan ke bangku Nota. Gadis itu menatap Nota dengan tatapan yang tidak bersahabat. "Ikut gue keluar sekarang!"

-———-

TAMARA menghentikan langkahnya di ujung koridor, diikuti Nota di belakangnya. Kemudian ia langsung membalikkan badannya dan menatap tajam ke arah lelaki yang berdiri di hadapannya. "Kemarin malem gue telpon kenapa kaga diangkat?" todong gadis itu.

"Lo ada nelpon gue?" Nota merogoh ponselnya dan memeriksanya. Benar saja, ada tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. "Sori, gue udah tidur jam segitu."

Tamara memutar bola matanya kesal. Sungguh, melihat wajah Nota saja sudah bisa memancing emosinya. Entah apa yang merasuki otak Tamara kemarin hingga membiarkan dirinya menunjukkan sisi lemah di hadapan Nota. Tentu itu sangat melukai harga diri Tamara.

"Kenapa, Tam? Lo ada masalah?" tanya Nota khawatir.

"Gue langsung to the point aja," kata Tamara. "Lo pasti udah tau tentang rencana pertunangan kita. Lebih tepatnya ayah gue yang ngerencanain itu semua kan?"

"Iya, gue udah denger kemarin dari orangtua gue."

"Dan reaksi lo?" tanya Tamara.

"Gue kaget," ucap Nota.

"Udah? Gitu doang?"

"Kaget, cuma ya udah."

"Ya udah? Gila lo?" Tamara sedikit berteriak. "Kita mau ditunangin secara paksa dan lo fine fine aja sama hal itu?" Tamara mencak-mencak karena saking emosinya melihat reaksi Nota yang masih datar-datar saja. Padahal dirinya sudah benar-benar emosi akibat kejadian kemarin. Dimana dengan seenaknya Herman memutuskan untuk menawarkan pertunangan pada keluarga Manggala, hanya karena berita 'lesbian' yang tersebar di sekolah.

Herman bisa dibilang tidak menyukai keluarga Manggala. Walaupun kedua keluarga tersebut terlihat begitu dekat, karena masalah bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika kedua keluarga tersebut selalu bersaing secara tidak langsung. Persaingan antar keluarga itu sudah terjadi turun temurun hingga generasi sekarang, Nota dan Tamara.

Tetapi entah kesambet apa, Herman malah mengambil keputusan untuk melangsungkan pertunangan antara Tamara dan Nota. Mungkin bagi pria itu nama baik Adiwijaya jauh lebih penting daripada persaingan turun temurun. Herman tentu tidak mau jika isu mengenai anaknya semakin naik dan menodai nama besar keluarganya.

Nota terkekeh pelan melihat wajah Tamara yang terlihat begitu emosi di hadapannya. Akhirnya Tamara kembali seperti biasanya, penuh emosi ketika menatap wajah Nota, tidak seperti kemarin. Entah kenapa Nota merasa senang melihatnya. Ada rasa lega yang menyelimuti hatinya saat melihat kemarahan Tamara hari ini.

"Apaan dah lo? Gue lagi serius lo malah ketawa. Bisa ngehargain lawan bicara ga?" Kali ini marahnya Tamara terlihat lebih serius daripada tadi. Tentu hal itu membuat Nota jadi kembali serius, kan tidak lucu kalau emosi Tamara benar-benar meledak karen ulahnya. Ya walaupun Nota sudah terbiasa dijadikan ladang emosi oleh Tamara, akan tetapi tetap saja Nota merasa takut jika Tamara mengamuk.

"Sori, sori, lo bahas apa tadi?" tanya Nota setelah menghentikan tawanya.

"Damn it!" umpat Tamara. "Intinya gue mau rencana pertunangan ini batal, gimana pun caranya."

"Kenapa?" tanya Nota, masih dengan tampang datarnya.

Tamara menatap Nota dengan ekspresi penuh keterkejutan. "What? I'am lesbian!" teriak gadis itu frustasi.

"I'm okay with that," ucap Nota.

"Not, what's wrong with you?"

"I'm fine."

"Lo pikir gue bercanda? Lo pikir gue ga mungkin suka sama cewek? Love is not about gender."

"Berarti gue masih ada kesempatan kan?" Nota menatap Tamara lekat-lekat. Berusaha menunjukkan bahwa ia serius dengan apa yang ia ucapkan.

Tamara memicingkan matanya, "Jangan bilang lo suka sama gue?" todong gadis itu.

Ditanya secara frontal seperti itu membuat Nota menjadi sedikit grogi. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa seperti itu di hadapan Tamara, ataupun orang lain. Nota merasa dirinya terlalu sempurna untuk sekadar merasa grogi di depan orang lain.

"Seriously?" tanya Tamara tak percaya. Melihat reaksi Nota membuat Tamara tersenyum sinis. Gadis itu terlihat meremehkan lelaki di hadapannya. "Benci jadi cinta hm?" Tamara berjalan mendekati Nota yang masih diam diposisinya, tanpa bergerak sama sekali. Tangan gadis itu terulur untuk menarik dagu Nota pelan.

Sorot mata mereka akhirnya bertemu dengan jarak wajah yang cukup dekat. Tamara tersenyum penuh kemenangan ketika menyadari ekspresi Nota tidak seperti biasanya. Jika biasanya lelaki itu terlihat selalu tenang disetiap keadaan, akan tetapi kali ini berbeda. Wajah Nota terlihat grogi.

Tanpa diduga Tamara menarik dagu Nota hingga membuat bibir keduanya bertemu. Satu kecupan mendarat di bibir lelaki itu.

Mendapat serangan dadakan dari Tamara tentu membuat Nota terkejut bukan main. Mata lelaki itu terbelalak dan jantungnya berdebar tak karuan. Butuh beberapa saat agar otak Nota kembali bekerja dengan normal.

Sedangkan Tamara, gadis itu merasa senang bukan main. Melihat ekspresi angkuh Nota berubah menjadi tak berdaya seperti ini membuat Tamara merasa menang. Ini pertama kalinya Tanara melihat Nota tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik. Padahal sejak dulu Nota selalu terlihat tenang saat Tamara menghajarnya dengan kata-kata pedas.

Tamara masih tak melepas kecupannya. Ia membiarkan bibirnya menyetuh bibir Nota selama beberapa saat. Membuat lelaki di hadapannya sama sekali tak berkutik. Tepat ketika Nota mulai memejamkan matanya, Tamara langsung menjauhkan bibirnya. Ia sudah merasa cukup puas menikmati ekspresi lelaki itu.

"See? Gue sama sekali ga ngerasain apapun," ucap Tamara sengit. "Jadi lo ga usah berharap lebih, karena lo ga bakalan punya kesempatan. Dan gue akan berusaha untuk ngegagalin rencana pertunangan ini." Tamara menatap tajam ke arah Nota selama beberapa detik, sebelum akhirnya membalikkan badannya, berniat pergi.

Namun Nota tak membiarkan hal itu terjadi. Lelaki itu dengan cepat mencekram bahu Tamara pelan. Dan tanpa basa-basi Nota langsung menarik tengkuk gadis itu ke arahnya. Membuat bibir mereka kembali bertemu.

Kali ini tidak hanya kecupan biasa. Nota melumat bibir bawah Tamara dengan lembut. Sedangkan tangannya yang satu bergerak menarik pinggang gadis itu, agar semakin mendekat ke arahnya.

Tamara tentu merasa kaget dengan perlakuan tiba-tiba dari Nota. Ia tidak menyangka Nota akan senekat ini. Apalagi mereka saat ini sedang berada di sekolah. Bagaimana jika nanti ada yang melihat? Apakah Nota sudah tidak memperdulikan reputasinya lagi? Bukankah Nota selalu mencari posisi teraman, agar tidak terkena gosip apapun?

Nota hanya mendapatkan kesempatan untuk mencumbu bibir Tamara selama beberapa detik saja, karena selanjutnya gadis itu langsung mendorong bahu Nota dengan kasar. Tamara langsung mengusap bibirnya dengan tangan kanannya, sementara tatapannya tak teralih dari lelaki di hadapannya.

"Gila lo?" Tamara berucap dengan penuh emosi. Sorot matanya terlihat begitu memburu. Jantungnya kini berdegup kencang, sama seperti Nota. Tetapi bukan karena merasa grogi, atau suka, melainkan karena merasa kaget dan marah.

Nota tak membalas ucapan Tamara. Ia masih sibuk untuk berusaha menenangkan dirinya. Apalagi detak jantungnya kini semakin kencang karena ulahnya tadi.

Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya tak menyangka. Lelaki yang berdiri di depannya ini tidak seperti sosok Nota yang Tamara kenal. Semuanya terasa tidak masuk akal, kecuali jika lelaki di hadapannya ini sedang menyusun sebuah rencana untuk mengelabuhi Tamara.

"Sakit jiwa lo!" umpat gadis itu sebelum akhirnya berjalan pergi dari sana.

Sedangkan Nota, lelaki itu masih diam di tempatnya sambil menatap punggung Tamara yang mulai berjalan menuju kelas. Lelaki itu menyentuh bibirnya pelan, menyeka bibir miliknya dengan ibu jari. Lalu ia melirik ibu jarinya itu, ada noda bekas lipstik yang menempel di sana. Warnanya merah gelap, persis seperti warna lipstik yang selalu Tamara gunakan.

Tanpa sadar senyum Nota mengembang ketika mengingat kejadian yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu. Itu ciuman pertama bagi Nota, dan dia merasa cukup puas.

Ternyata seperti ini rasanya berciuman dengan gadis yang ia sukai.

Entah kenapa Nota jadi merasa tertantang dengan hal itu. Ia merasa Tamara adalah tantangan baru di hidupnya.

Bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Tak perlu menunggu lama, Nota langsunh berjalan pergi dari koridor tersebut untuk menyusul Tamara yang sudah jauh di sana. Sepertinya koridor ini akan menjadi salah satu tempat bersejarah bagi keduanya nanti.

Karena dari koridor itulah semuanya berawal.

-———-

HARI ini Hanina hampir saja terlambat datang ke sekolah karena ketinggalan bus yang dulu biasanya ia tumpangi. Untungnya waktu itu Galileo sempat mengajarinya untuk memesan ojek online, jadi Hanina bisa dengan cepat memesan ojek dan langsung menuju sekolah.

Hanina masuk ke dalam kelas tepat setelah bel berbunyi. Dengan cepat gadis itu berjalan menuju bangkunya. Namun saat sampai di sana, Hanina dikagetkan dengan berbagai macam coretan yang memenuhi mejanya. Coretan tersebut berisikan makian yang ditujukan pada gadis itu.

Goblok! Munafik! TWO FACE! Jalang! Pelacur! HOMOPHOBIA! Cepu! Bangsat! Sok polos! Penjilat!

Dan masih banyak lagi coretan dengan tinta spidol yang tertuliskan di meja Hanina. Entah apa maksud hal tersebut, Hanina sama sekali tidak mengerti. Apakah karena kejadian di depan kelas kemarin? Mereka semua jadi mengira bahwa Hanina lah pelaku yang membagikan foto Tamara di website sekolah? Akan tetapi bukankah Galileo sudah mengaku bahwa dirinya lah pelakunya? Lantas mengapa hanya meja Hanina yang dipenuhi oleh sumpah serapah?

Syafa bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Hanina. "Astaga, Han, ini siapa yang ngelakuin?" tanya Syafa dengan ekspresi wajah yang terkejut.

Jaden bergegas menghampiri Hanina. Lelaki itu baru menyadari bahwa meja Hanina telah dipenuhi oleh coretan-coretan. "Bangsat! Siapa yang ngelakuin ini?!" bentak Jaden pada seisi kelasnya.

"Iya, ih. Jahat banget," ucap Syafa. "Kamu yang sabar ya, Han." Syafa mengusap-usap punggung gadis di sampingnya, sebelum akhirnya kembali ke bangkunya.

Hanina masih terdiam di tempatnya. Entah kenapa tulisan-tulisan yang ia baca di mejanya itu membuat Hanina jadi merasa sedih. Mungkin karena mood-nya sudah tidak baik sejak pertengkarannya dengan Galileo kemarin sore. Apalagi setelahnya Galileo sama sekali tidak mau bertatap muka dengan Hanina.

Dengan cepat Hanina langsung menghampus airmata yang baru saja menetes dari sudut matanya. Gadis itu kemudian mengambil beberapa lembar tisu dari tasnya dan segera menggosok coretan-coretan spidol tersebut dari mejanya. Hanina berusaha menggosok sekuat tenaga, akan tetapi sia-sia, tinta tersebut sudah menempel di mejanya.

Melihat hal itu membuat Jaden jadi merasa muak, lelaki itu menahan tangan Hanina untuk menghentikan gadis itu. "Udah gausah," ucap Jaden.

Bersamaan dengan itu, Tamara akhirnya masuk ke dalam kelas. Gadis itu berniat untuk mengambil tasnya dan pergi meninggalkan sekolah saat ini juga dikarenakan mood-nya sedang tidak baik. Akan tetapi coretan pada meja Hanina cukup menyita perhatiannya. Dengan langkah cepat Tamara menghampiri bangku tersebut. Ia membaca sekilas coretan yang memenuhi meja Hanina.

Tamara mendengus kesal melihat hal tersebut. Ia tak peduli jika ada orang yang ingin melakukan tindakan kekanakan seperti itu. Yang Tamara tak suka hanyalah, mereka memanfaatkan masalah Tamara untuk terlihat sok jago di depan semua orang.

Mereka pikir dengan membuli seseorang yang mereka sangka sebagai pelaku, korban akan merasa senang?

Bagi Tamara tentu tidak. Tindakan ini hanya terlihat seperti tindakan seseorang yang ingin dibenarkan atas perilaku salahnya, dengan berlindung dibalik kata 'membela keadilan'. Padahal kemarin saat berita itu tersebar, mereka semua tutup mata dan menikmati gosip-gosip yang beredar. Akan tetapi mereka sekarang malah ingin terlihat seperti pahlawan dengan menghajar sang 'pelaku'.

"Kelakuan sampah kalau dikasi nyawa ya gini," ujar Tamara sembari mengedarkan pandangannya di kelas itu. Menatap satu persatu teman sekelasnya, termasuk Lizi dan Syafa.

"Gue ga butuh pembelaan dari lo semua, jadi ga usah sosoan belain gue." Tamara kemudian berjalan menuju bangkunya dan mengambil tas yang tadi ia lempar secara asal. "Kesannya lo semua maksa banget pengen keliatan baik. Najis."

Setelahnya Tamara langsung berjalan keluar dari kelas. Ia sempat berpapasan di ambang pintu dengan Nota yang hendak masuk ke dalam. Akan tetapi Tamara dengan cepat pergi dari sana, sebelum Nota sempat membuka mulutnya.

"Udah ga usah nangis," ucap Jaden sembari mengelus lembut kepala Hanina. "Lo duduk di meja Gale aja. Biar gue yang duduk di tempat lo."

Hanina menuruti permintaan Jaden tersebut. Gadis itu menggeserkan badannya ke samping, dan duduk di bangku milik Galileo. Jaden pun juga dengan segera duduk di sebelah Hanina. Selama sesaat keduanya terdiam, sebelum akhirnya Hanina menoleh ke samping. Gadis itu menatap Jaden dengan mata yang berkaca-kaca. "Salah aku apa?" lirihnya pelan.

Hanina lelah disalahkan terus menerus. Ia lelah menyangkal semua tuduhan tersebut. Orang-orang sama sekali tidak pernah percaya dengan ucapannya. Dan itu membuat Hanina merasa sedih. Ia ingin bisa seperti yang lainnya, membela diri tanpa bantuan orang lain. Akan tetapi dia tidak bisa. Hanina terlalu lemah untuk melakukan hal tersebut.

"Lo ga salah apa-apa," ucap Jaden. "Udah ah, gausah sedih lagi. Anin bakalan tetep aman kok di sekolah ini tanpa Gale. Kan ada Aa Aden," kata lelaki itu sembari tersenyum manis.

Berkat ucapan Jaden tersebut, Hanina jadi ikut tersenyum. Entahlah, Jaden memang pandai dalam menghibur orang. Seperti ada hawa positif yang langsung bertebaran saat lelaki itu tersenyum.

"Not, lempar tas gue ke sini!" seru Jaden pada Nota.

Sementara itu Syafa menoleh ke arah Lizi sembari tersenyum manis. "Enak banget ya Hanin sekarang. Punya banyak pangeran yang bisa lindungin dia," ucap gadis itu. "Ga ada Gale, Hanin masih punya Jaden. Sementara kamu, Liz. Kamu punya siapa selain Junar?"

Lizi menatap sengit ke arah Syafa. Tangannya mengepal dengan penuh emosi. "Gue masih punya Kansa," ucap Lizi.

Lihat saja, Lizi akan membongkar topeng busuk yang selama ini dipakai Hanina untuk mengelabuhi semua orang. Dan agar hal itu terwujud, Lizi membutuhkan Syafa untuk membantunya.

-———-

TAMARA

NOTA

NOTAMARA

#NOTAMARASEMAKINDIDEPAN

-———-

KARENA KEMARIN AKU UDAH NANYA BANYAK HAL, SEKARANG GANTIAN DEH KALIAN YANG NANYA KE AKU. APAPUN ASAL JANGAN MINTA SPOILER CERITA.

MAU NANYA APA? ISI DI SINI

KESAN PESAN BUAT AUTHOR🐣

-———-

Sumpah part kai ini panjang banget tau. Aku nulis sampe 2800an kata, padahal biasanya 1300-2000 kata. Gatau kenapa hari ini ngetiknya lancar banget wkwk.

Oh, iya setelah bacain komen kalian di part sebelumnya, aku mutusin untuk ngga ngeganti cast Syafa. Selain karena kalian ngerasa udah cocok, aku pun udah klop banget jadiin dia sebagai cast. Dan aku harap ga ada lagi yang bawa-bawa masalah rl dia ke sini. Inget sama yang Tamara bilang di part ini🤭

Oh, iya, sedikit penjelasan juga tentang Tamara. Di sini karakter Tamara adalah sebagai remaja yang masih belum mengerti sama yang namanya bentuk kasih sayang. Dari latar belakangnya aja udah jelas Tamara cuma dapetin perhatian dari Miss Rami. Dan mungkin itu penyebab utama Tamara melabeli dirinya sebagai lesbian. Ya karena dia cuma merasakan rasa sayang dan suka ke Miss Rami doang.

Tapi yang perlu diinget di sini, orientasi seksual Tamara masih belum jelas, karena dia sendiri masih belum bener-bener ngerti. Sebagai buktinya, Tamara tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada gadis atau laki-laki lain selain Miss Rami. Makanya kedekatan Tamara dan Nota di beberapa part belakangan ini menurutku tidak terkesan memaksa. Dan itu pun belum tentu Tamara akan membalas perasaan Nota, karena sekali lagi Tamara masih tidak paham akan makna kasih sayang. Sama seperti Nota yang juga masih awam tentang hal itu.

Jadi jangan jadikan latar belakang Tamara sebagai patokan saat kalian melihat orang LGBT lain di luar sana. Karena setiap orang punya latar belakang dan alasan yang berbeda-beda. Jadi cerita ini tidak bisa kalian jadikan tolak ukur bahwa semua orang LGBT seperti Tamara.

Dan buat pencinta cerita bxb dan gxg, tentu kalian ga bakalan nemu adegan seperti itu di sini. Karena tema utama cerita ini bukan romance, dan trigger warning LGBT yang aku pasang itu karena cerita ini memang mengangkat isu tersebut.

Inget ya sekali lagi, tema cerita ini bukan romance. Adegan romance itu aku tambahkan sebagai pelengkap dari cerita ini.

6k votes + 17k komen for next!

BUAT YANG MALES VOTE, ITU JEMPOLNYA BISULAN APA GIMANA YAH?!?!?

30-05-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro