53. Between Us

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

53. Between Us
"Sejak awal hubungan kita ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Dan selamanya akan begitu."

-———-

SEBELUM BACA PART INI LEBIH BAIK BACA EXTRA SCENE LIZI JUNAR DULU DI INSTAGRAM (KDK_PINGETANIA DAN ABOUTPINGE)

DAN BAGI YANG UDAH BACA COBA KASI TAHU PENDAPAT KALIAN TENTANG JUNAR.

OH IYA UDAH TAU KAN SIAPA PENERORNYA DARI CLUE YANG AKU KASI DI INSTAGRAM?

40K KOMEN + 13K VOTE FOR NEXT!

-———-

LIZI meremas ujung roknya hingga kusut. Gadis itu terlihat gugup, takut dan cemas di saat yang bersamaan. Saat ini dia berada di depan kantor polisi, tempat Junar ditahan secara sementara untuk diinterogasi dan dimintai keterangan. Bahkan sudah beberapa kali gadis itu terlihat hendak membalikkan badannya, dan pergi dari sana. Namun kekhawatirannya yang sangat besar membuat gadis itu memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya ke dalam.

"Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas tersebut.

Lizi terlihat kebingungan. Sebenarnya ia sendiri tak tahu apakah dirinya bisa bertemu dengan Junar atau tidak. Entahlah, Lizi hanya melakukan sesuatu yang terpikirkan olehnya. Dan hal bodoh inilah yang terpikirkan olehnya. Datang langsung ke kantor polisi, sendirian, tanpa orang lain yang menemani. Untung saja tadi dia masih bisa masuk ke dalam setelah berdesak-desakkan melewati para wartawan di depan. Lagian kalau pun ia harus meminta bantuan orang lain untuk menemaninya, ia harus meminta bantuan siapa? Selama ini Lizi hanya bergantung pada satu orang ketika dia dalam masalah. Siapa lagi kalau bukan lelaki yang saat ini sedang ditahan karena keegoisannya sendiri?

"Mbak?" panggil pria berseragam itu.

"Eh? Iya?" Lizi tersadar dari lamunannya. "Itu ... saya ingin bertemu dengan Junar."

"Kalau boleh tau mbak memiliki hubungan apa dengan tersangka?"

"Saya temannya pak," jawab Lizi.

"Oh mohon maaf sekali mbak. Untuk saat ini hanya  pihak keluarga dan pengacara saja yang boleh bertemu dengan tersangka," jelas pria itu.

Raut wajah Lizi terlihat kecewa mendengar hal tersebut. Akan tetapi ia tak bisa melakukan apapun lagi. Alhasil Lizi beranjak dari tempatnya, hendak pergi. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara seorang pria memanggilnya.

"Lizi?" panggil Montana —ayah Junar. Pria dengan jas hitam rapi lengkap dengan dasi yang warnanya senada tersebut kemudian berjalan menghampiri gadis itu. "Kamu temannya Junar kan?" tanya pria itu.

Lizi mengangguk kikuk. Memang benar ia pernah beberapa kali bertemu dengan orangtua Junar, hanya saja gadis itu tidak pernah punya kesempatan untuk berbicara dengan mereka, mungkin efek dari tatapan sinis ibu Junar yang membuat gadis itu jadi sangat enggan untuk melakukan percakapan fengan keluarga Arnawama.

"Iya, om," jawab Lizi.

"Ke sini mau liat Junar?" tanya Montana.

Lizi mengangguk, "Niatnya gitu. Cuma ga dibolehin," ucap Lizi.

"Oh, ya udah ikut sama Om."

"Tapi katanya—"

"Gapapa biar Om urus. Disaat seperti ini, Junar butuh teman terdekatnya," kata pria itu. Selama beberapa menit Montana tampak serius berbicara kepada petugas, sebelum akhirnya pria itu berhasil mendapatkan izin dan membawa Lizi bersamanya untuk menemui Junar.

-———-

MONTANA menyuruh Lizi untuk duduk di sebuah kursi tunggu yang ada di sebelah sebuah ruangan. Sementara pria itu terlihat santai masuk ke dalam ruangan tersebut, tentunya dengan ditemani oleh seorang petugas.

Saat pintu terbuka, samar-samar Lizi bisa mendengar suara tangis dari ibu Junar —Kanista. Rasa bersalah langsung mengenyelimuti perasaan gadis itu. Itu semua salahnya.

Baru saja Lizi hendak beranjak dari duduknya, untuk pergi dari sana, tiba-tiba seorang wanita berjalan menuju ke ruangan yang tadi dimasuki Montana. Wanita itu terlihat terburu-buru dengan raut wajah yang penuh emosi.

"Bu, ibu tidak bis—"

"Biarkan saya masuk!" teriak wanita itu. Tak peduli dengan larangan dari sang petugas, wanita itu tetap saja menerobos masuk ke dalam.

"Brengsek kamu!" teriak wanita itu.

Hal tersebut tentu membuat Lizi yang sejak tadi sudah berdiri dari tempatnya pun berjalan mendekati ruangan tersebut. Dari pintu yang dibuka, Lizi bisa melihat wanita itu menghampiri Junar dan menampar keras pipinya.

"Pembunuh kamu! Pembunuh!" teriak wanita itu.

"Bu, tenang, bu," ucap sang petugas. Pria itu kemudian berusaha menjauhkan waniat tersebut dari Junar.

"Anak saya ... anak saya ... kenapa anak saya?" Tangis wanita itu tak bisa dibendung lagi. "Kenapa kamu bunuh anak saya? Kenapa?" Suara wanita itu berubah menjadi lirih.

Dari tempatnya, Lizi bisa melihat ekspresi wajah Junar yang biasanya tak pernah ia lihat. Ekspresi wajah yang mengutarakan rasa bersalah yang sangat mendalam. Bahkan Lizi bisa melihat mata Junar sudah memerah, menahan tangis.

"Apa salah anak saya sama kamu? Kenapa anak saya? Kenapa darah daging saya yang kamu bunuh?"

"Cuma dia yang saya punya ..."

Suara wanita itu perlahan-lahan semakin mengecil, hingga akhirnya tubuhnya ambruk. Untung saja sudah ada beberapa petugas yang dengan sigap langsung menahan tubuh wanita itu. Mereka pun cepat-cepat membawa wanita itu pergi dari sana.

Sementara itu, sorot mata Junar kini beralih ke arah gadis yang sedang menatapnya dari luar ruangan. Tatapan mereka bertemu selama beberapa saat.

Kanista baru saja hendak membuka suaranya, akan tetapi Montana sudah terlebih dahulu memotongnya.

"Itu Lizi datang untuk menemui kamu," ujar Montana untuk mengalihkan pembicaraannya. "Kamu ikut aku dulu, kita tenangin diri dan pikirin masalah ini baik-baik," jelas Montana sembari merangkul istrinya dan membawa Kanista keluar dari sana.

"Lizi, om minta tolong jaga Junar sebentar ya," pinta Montana.

Lizi hanya bisa mengangguk kikuk. Ditambah lagi ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Kanista. Tatapan yang biasanya penuh kesinisan, kini terlihat begitu tulus.

"Tolong hibur dia ya, Liz. Tante mohon," ucap Kanista.

Lagi-lagi Lizi hanya bisa mengangguk. Perasaannya semakin tak karuan. Rasa bersalah semakin mengguncang dirinya saat ini. Setelah semua kekacauan yang disebabkan olehnya, bisa-bisanya Lizi dengan tidak tahu diri duduk di hadapan lelaki itu.

Lizi menundukkan kepalanya. Tak berani mengangkat kepala barang sedetik pun.

"Liz, lo gapapa?"

Pertanyaan itu ... pertanyaan itu seharusnya ditanyakan oleh Lizi, bukan Junar. Di sini lelaki itulah yang memiliki kondisi paling kacau. Menjadi tersangka kasus pembunuhan di usia yang baru saja menginjak dewasa. Bagaimana masa depan Junar nantinya?

"Liz." Tangan Junar terulur untuk menyentuh tangan Lizi yang berada di atas meja, namun dengan sigap gadis itu menghindar.

"Lo ada masalah?" tanya Junar sambil menatap ke arah gadis di hadapannya khawatir.

Detik itu juga Lizi mendorong kursinya menimbulkan suara decitan yang cukup keras sembari bangkit dari duduknya. Gadis itu menatap Junar dengan matanya yang memerah, "Ngapain sih lo masih khawatir sama gue?" tanya Lizi membentak.

Junar sedikit terkejut dengan reaksi Lizi. "Gue cuka khawatir sama lo, Liz."

"Goblok! Yang seharusnya lo khawatirin sekarang diri lo sendiri, Jun! Bukan gue! Yang lagi bermasalah sekarang lo, Jun!" teriak Lizi. "Lo bisa buka mata ga sih? Dunia lo bukan hanya tentang gue aja!"

"Lo kenapa, Liz? Lo bisa cerita sama gue," ujar Junar.

Lizi menatap Junar tak percaya. Airmatanya seketika jatuh membasahi pipi gadis itu. "Lo kenapa sih, Jun? Kenapa lo ngebuat rasa bersalah gue semakin besar? Sengaja lo?!"

Lelaki itu bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah gadis itu, hendak berusaha untuk menenangkan emosi Lizi yang mulai memuncak. Namun ucapan Lizi selanjutnya mampu membuat Junar terdiam.

"Gue yang buat lo ada di sini! Gue, Jun!" teriak Lizi. "Gue dapet pesan dari si peneror. Dia nyuruh gue milih untuk ngungkap rahasia gue sendiri atau rahasia teman terdekat gue," jelas Lizi. Suara terdengar samar karena isak tangisnya. "Dan gue ... lo tau gue milih apa? Gue milih lo, Jun."

"Orang yang paling peduli sama gue. Orang yang selalu ada setiap gue butuh. Gue milih buat ngebongkar rahasia lo demi ngelindungin diri gue sendiri!" Tangis Lizi semakin kencang gadis itu bahkan sampai meremas kemejanya, karena merasa sesat di bagian dadanya.

Setetes airmata jatuh dari mata Junar. Tidak, lelaki itu tidak merasa kecewa, apalagi marah terhadap apa yang gadis itu lakukan. Dia hanya merasa sakitnya bertambah ketika melihat Lizi terisak kencang di hadapannya.

Tanpa permisi, Junar langsung menarik Lizi ke dalam dekapannya. Mengelus lembut rambut gadis itu, berharap agar tangisnya berhenti. "Gue egois, Jun. Gue ngorbanin lo, demi keselamatan diri gue sendiri," lirih Lizi.

"No, lo udah milih pilihan yang bener, Liz."

"Gue ga nyangka semuanya bakalan kayak gini. Gue cuma ngebales chat dia doang. Tapi kenapa bisa sampai segininya sih?" tanya Lizi. "Gara-gara gue lo jadi berakhir di sini, Jun."

Junar menangkup kedua pipi Lizi. Menatap gadis itu dengan lekat-lekat. "It's not your fault, Liz," ucap Junar. "It's only my fault."

Lizi menggeleng kuat. "Junar ... please stop ... jangan buat gue ngerasa semakin bersalah."

"No ... lo ga boleh ngerasa bersalah, Liz. Bukan lo yang ngebuat gue ada di sini. Bukan karena lo. Tapi karena pilihan gue," ucap Junar. "Gue juga dapet. Pesan itu dari peneror. Dan gue sendiri yang milih buat ngebongkar rahasia gue."

"No ... no ..." Lizi menggelengkan kepalanya. "Jangan bilang lo ngelakuin itu buat gue?"

Junar tersenyum tulus. Ibu jarinya bergerak untuk mengusap arimata Lizi yang jatuh. "Gue emang salah, Liz. Udah seharusnya gue bertanggungjawab atas semua kesalahan gue. Dan lo adalah alasan gue buat berani ngelakuin itu semua."

"Junar ..."

"Untuk kesekian kalinya, lo ngasi gue kesempatan buat kembali jadi baik, Liz," ucap Junar. "Jadi jangan ngerasa bersalah. Semua ini bukan salah lo."

Lizi kembali memeluk Junar, "Maaf, maaf, maaf, gue ga seberani lo, Jun. Gue bahkan milih buat bongkar rahasia lo, ketimbang rahasia gue sendiri. Gue ga bisa seberani itu ..."

Junar menggeleng, "Rahasia lo dan rahasia gue beda, Liz. Lo sama sekali ga ngelakuin kesalahan apa-apa. Lo korban, bukan pelaku."

Lizi terisak dipelukan lelaki itu. Hanya Junar yang mengerti dirinya. Hanya Junar yang berada dipihaknya. Tapi kenapa? Tapi kenapa Lizi harus kehilangan orang seberharga ini? Apakah memang dirinya tidak pantas untuk memiliki seseorang di sisinya? Apakah ini semua salahnya?

Selama beberapa saat mereka sama-sama terdiam. Junar tanpa henti mengelus rambut Lizi hingga membuat gadis itu tenang. Perlahan lelaki itu mengulurkan pelukannya, ditatapnya wajah gadis yang selama ini menjadi alasan kenapa dia bisa terlihat kuat.

Secara tiba-tiba satu kecupan mendarat di bibir Lizi. Gadis itu memejamkan matanya. Lizi menarik tengkuk Junar untuk kembali menyatukan bibirnya. Kecupan singkat itu, berubah menjadi pangutan bibir. Saling membalas satu sama lain.

"Aw," ringis Junar.

Lizi tetawa pelan. Diusapnya setitik darah yang mengalir dari bibir Junar karena ulahnya. "Siapa suruh nyosor-nyosor," ucap gadis itu. "Mana tadi pagi gue ditinggal sendiri lagi."

Junar terkekeh, "Maaf. Tidur lo kemarin lelap banget sih, gue ga tega buat banguninnya."

"Dih, nggak."

"Mana ileran di baju gue lagi," ledek Junar.

"Anjing!" Lizi memukul bahu Junar kesal.

Junar tertawa. Lelaki itu kemudian menahan pergelangan tangan Lizi. "Liz," panggil Junar. Ia menatap serius ke arah Lizi. "Gue ga bakalan ingkarin janji gue tentang masalah lo itu. Gue bakalan tetep bantu lo," ucap Junar.

"Nggak. Gausah pikirin masalah gue. Pikirin diri lo sendiri aja, Jun."

"I can't. Gue ga bakalan bisa tenang, apalagi mikirin diri gue sendiri, kalau gue tau lo masih belum aman."

"No, i'm fine."

"You're not."

"Jun ..."

"Dengerin gue Liz," kata Junar serius. "If you can't beat them, just left them."

Perkataan Junar tersebut membuat Lizi teringat akan perkataan Galileo, Kansa-nya waktu itu. If you can't beat them, join them. Perkataan yang menjadi pegangannya, yang membuatnya bisa melangkah sampai sejauh ini. Yang membuatnya bisa bertahan selama ini.

Dia bergabung dengan orang-orang terkuat di sekolahnya. Membuat dirinya sendiri terlihat sangat sulit untuk dijangkau agar tak ada satu orang pun yang berani menyentuhnya. Dia bertahan dengan keluarganya yang setiap hari memberikan luka. Semua itu hanya karena perkataan seorang anak yang ia temui disaat itu. Kansa.

Dan kini perkataan Junar bagaikan titik terang dari semua masalahnya. If you can't beat them, just left them.

Relakan semuanya. Hapus kebencian yang ada. Dan mulailah hidup baru dengan tenang.

"Ada laci di lemari baju kemeja gue. Di sana ada kunci apart gue, mobil gue dan black card gue. Lo bisa pake itu buat menuhin kebutuhan lo. Keluar dari rumah itu. Tinggal di apart gue," ujar Junar.

"Nggak, gue ga bisa, mama lo pasti—"

"Gue yang bakalan ngomong sama mama. Keluarga gue bakalan ngelindungin lo. Bahkan Alexandrean sekalipun ga bakalan bisa nyakitin lo lagi."

"Why Jun? Why?"

"Lo udah banyak ngebantu gue, Liz. Biarin gue sekarang yang bantuin lo," ucap Junar. "Di brankas apart gue. Ada buku tabungan gue. Lo bisa pake itu buat sekolah di luar negeri, tinggalin Indonesia, tinggalin semua kenangan buruk lo di sini."

"Nggak, gue gamau. Gue ga bakalan ninggalin lo lagi, Jun."

"Gue tau lo dari lama pengen pergi dari Indonesia. Jangan tinggal di sini cuma buat gue, Liz. Gue gapapa," kata Junar.

"Gamau, gue ga bisa tanpa lo," lirih gadis itu.

"Lo bisa. Cuma sebentar. Nanti gue bakalan nyamperin lo, setelah semuanya selesai."

Mata Lizi kembali berkaca-kaca.

Hal itu membuat Junar terkekeh pelan. "Gausah nangis lagi heh. Mata lo ntar jadi tambah bengkak. Mau emang keliatan jelek?" kata Junar yang terlihat berusaha mencairkan suasana.

"Ga bakalan. Gue selalu cantik."

Junar tersenyum mendengar hal itu. Memang benar, Lizi selalu terlihat cantik dalam keadaan apapun.

"Ulang tahun lo," ucap Junar. "Pin apart, atm dan brangkas gue," sambung lelaki itu.

"Bucin banget dah!"

"Baru sadar?"

"Udah dari dulu sih, cuma gue abaiin aja."

"Tapi sekarang nyesel kan?"

"Najis lo!"

-———-

MAU AKU BUAT BONUS SCENE SIAPA LAGI DI INSTAGRAM?

-———-

COBA SEBUTIN NAMA-NAMA YANG COCOK UNTUK NGEGAMBARIN TOKOH DI SINI, SELAIN DARI NAMA ASLI MEREKA.

GALILEO

HANINA

JUNAR

LIZI

GEORGIE (NAYAKA)

SYAFA

JADEN

TAMARA

NOTA

-———-

ORIGINAL CHARACTER
(JUST FOR FUN)

GALILEO

HANINA

JUNAR

LIZI

GEORGIE (NAYAKA)

SYAFA

JADEN

TAMARA

NOTA

-———-

SPAM NAMA GALILEO

SPAM NAMA HANINA

SPAM NAMA JUNAR

SPAM NAMA LIZI

SPAM NAMA GEORGIE

SPAM NAMA SYAFA

SPAM NAMA JADEN

SPAM NAMA TAMARA

SPAM NAMA NOTA

SPAM NEXT

-———-

Satu persatu masalah mulai selesai. Semakin dekat menuju ending nih. Siapkah kalian untuk mengetahui rahasia terbesar di dalam cerita ini?

08-07-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro