Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Btw ada yang tahu lagunya Muse berjudul Unintended nggak?

Liriknya Ranu banget, loh.

Jangan didengerin dulu, entar spoiler jadinya wkwkwk

Suasana duka tengah meliputi keluarga Bu Murni. Sepuluh hari yang lalu, tepatnya dua jam setelah masuk ICU, Pak Joko mengembuskan napas yang terakhir. Hal tersebut sontak membuat istri dan anak-anaknya syok. Bu Murni tak hentinya meraung memanggil nama suami yang sudah 28 tahun menemani hidupnya. Begitu juga dengan Aruna yang harus kehilangan cinta pertamanya di usianya yang terhitung muda. Hal itu membuat gadis yang sedang menyelesaikan skripsi tersebut beberapa kali tidak sadarkan diri hingga jenazah sang ayah dikebumikan.

Ranu sebagai putra tertua juga mengalami kesedihan mendalam. Untuk pertama kalinya, wajah pemuda itu bersimbah air mata karena sang ayah. Terutama saat dirinya mengumandangkan azan begitu jenazah Pak Joko sudah dimasukkan liang lahat. Hubungan mereka memang tidak dekat. Ranu kerap berselisih pendapat dengan almarhum ayahnya. Terutama saat masih berpacaran dengan Friska. Ia sering membantah sang ayah yang memintanya untuk putus dengan mantan kekasihnya itu.

"Mas baru nyesel pas Bapak udah nggak ada, 'kan?" tanya Aruna dengan tatapan sinis. Ia masih marah kepada Ranu. Baginya, penyebab ayahnya mengalami gagal jantung adalah saudara satu-satunya itu.

Ranu yang sedang mencuci motor di halaman depan menoleh sekilas. "Nggak perlu ngomong kayak gitu."

Aruna berdecak kesal. Ia masih belum puas melampiaskan amarahnya kepada Ranu.

"Mas, orang tuaku sekarang itu tinggal satu. Ibu aja," ujar Aruna dengan nada bergetar. Ia terus berbicara meskipun Ranu tidak memedulikannya. Gadis bertubuh tinggi itu yakin kakaknya juga mendengarkan ucapannya. "Bapak udah nggak bisa jadi wali nikahku."

Ranu menarik napas panjang. Ia tidak ingin berdebat dengan sang adik. Dirinya harus memosisikan diri sebagai kakak yang berpikiran bijak dan dewasa.

"Kalau sampai Mas masih nyakitin dan buat nangis Ibu, liat aja—" Suara Aruna mendadak tercekat. Ia tidak kuasa menahan air mata untuk luruh membasahi pipinya. "Aku nggak akan anggap Mas sebagai saudara lagi!"

Aruna langsung berlari masuk ke rumah sembari terisak. Hatinya masih sangat rapuh. Ia sedang berada di titik terendah dalam hidupnya.

Ranu yang sedang memegang kanebo, membantingnya dengan kasar. Ia lalu mengacak rambutnya dengan kesal. Kata-kata Aruna sontak mengusik pikirannya. Tentu saja dirinya juga menyayangi sang ibu. Ranu juga ingin ibunya merasakan kebahagiaan yang dialami dalam hidupnya.

"Bu, aku nggak akan nyakitin Ibu lagi," ucap Ranu pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal kuat. "Aku janji!"

***

Ranu sudah yakin dengan keputusan yang akan disampaikan pada Bu Murni. Beberapa hari terakhir, dirinya memikirkan rencana masa depan yang akan menjadi tujuannya dengan penuh pertimbangan. Ia hanya perlu menunggu saat yang tepat untuk memberitahukannya kepada sang ibu. Kebetulan, malam ini Bu Murni sedang duduk di ruang tengah seraya menonton televisi.

"Bu," sapa Ranu sembari duduk di samping Bu Murni.

"Iya, Mas? Udah makan?" Bu Murni melepas kacamata baca dari wajahnya. "Udah ibu hangatin kare ayamnya."

"Udah, tadi dapat nasi kotak di kantor." Ranu tersenyum hangat. Wajahnya terlihat berseri-seri. "Bu, aku mau resign."

Bu Murni terkejut mendengar pengakuan Ranu. "Kenapa resign? Dapat kerjaan baru?"

Ranu manggut-manggut. "Sebulan lagi kalau beres prosedurnya, aku pindah kerja ke Balikpapan, Ma."

Bu Murni kembali tercengang mendengar lokasi yang akan dituju putranya. "Jauh sekali, Mas. Udah nggak mau coba daftar CPNS lagi?"

Ranu tertegun mendengar kata tentang tes untuk mendapatkan profesi sebagai pegawai negeri sipil tersebut. Sejak lulus kuliah, dirinya sudah tiga kali dalam tiap tahunnya mengikuti seleksi tersebut. Bukan karena Ranu mengincar profesi yang memiliki prestise tinggi di masyarakat itu. Gajinya di rumah sakit sudah mencukupi. Ranu mengejar PNS hanya demi seorang Friska. Orang tua mantan kekasihnya itu memiliki syarat unik untuk calon menantunya, siapapun itu. Laki-laki tersebut haruslah seorang PNS.

Syarat tersebut, ditambah tidak adanya restu dari orang tuanya yang membuat Ranu semakin frustrasi. Kisah cintanya tidak berjalan mulus. Ranu hingga saat ini tidak bisa menghubungi Friska. Akses menuju ke sana diblokir. Ia hanya tahu jika perempuan bertubuh tinggi semampai itu sedang menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas bergengsi di Singapura.

"Harus di luar pulau, Mas?"

"Emm, di sana gajinya dua kali lipat dari di rumah sakit. Aku kan, sekarang jadi kepala keluarga. Harus lebih giat kerja, Bu." Ranu memberikan alasan meskipun aslinya hanya pemanis bibir saja. Alasan sesungguhnya pindah ke Pulau Kalimantan bukanlah itu semua.

"Tapi, Mas. Tinggal ibu sama Adek aja di rumah. Mas nggak kasihan?" Mata Bu Murni mulai berkaca-kaca. "Mas nggak usah mikirin biaya hidup kami. Bapak udah ninggalin rumah kos buat pendapatan kita. Itu udah lebih dari cukup, Mas. Aruna juga tinggal ngerjain skripsi saja."

Ranu mendesah pelan. Ia paham jika ibunya akan melarang dirinya pindah ke luar pulau.

"Gaji Mas di rumah sakit juga udah banyak. Di Malang saja, ya, Mas." Bu Murni memohon dengan wajah memelas.

"Aku ini anak laki-lai, Bu. Kalau ada jalan untuk lebih sukses kenapa nggak diambil? Iya, kan, Bu?" Ranu mulai memaksakan kehendaknya.

Bu Murni manggut-manggut. Beliau paham siapa Ranu Madharsa. Sang putra yang pintar dalam merangkai kata-kata untuk meyakinkan lawan bicaranya.

"Pikirkan lagi, ya, Mas. Lihat ibu sama Aruna yang di rumah cuma berdua nanti."

"Bu." Intonasi bicara Ranu mulai memberikan penekanan. "Hidupku, aku yang jalani. Aku yang tahu ke mana langkahku akan sukses. Ibu nggak setuju pun, aku bakal tetap berangkat."

Ranu beranjak dari duduknya. Ia berlalu menuju kamarnya meninggalkan Bu Murni yang tersentak dengan sikapnya tersebut.

"Ya Allah, lembutkan hati Ranu putraku," pinta Bu Murni seraya terisak.

***

Tiga hari sejak Ranu mengutarakan niatnya pindah kerja ke Balikpapan, Bu Murni menjadi sering melamun. Beliau juga mulai tidak nafsu makan. Hal tersebut membuat Aruna heran.

"Ibu sakit?"

Bu Murni menggelengkan kepala pelan. Piring berisi nasi goreng di hadapan, hanya ditatap tanpa dinikmati.

"Tapi, bibir Ibu pucat. Makan juga dari kemarin nggak habis terus aku lihatnya." Aruna mulai mengkhawatirkan sang ibu.

"Ibu nggak pa-pa." Nada bicara Bu Murni terdengar lemas.

"Bohong. Aku suapin, ya." Aruna mulai mengambil piring Bu Murni. Namun, baru akan menyuapi ibunya, ia dibuat terkejut. Bu Murni muntah-muntah di lantai. "Ya Allah, Ibu kenapa? Mas! Ibu kenapa ini?"

Ranu yang sedang berbaring di kamar, segera ke ruang makan begitu mendengar teriakan Aruna. Ia terkejut mendapati sang ibu yang sedang muntah-muntah.

"Ibu habis makan apa, Dek?" tanya Ranu khawatir.

"Nggak tau!" Aruna pun ikut panik.

Tubuh Bu Murni sangat lemas setelah isi perutnya terkuras. Ranu segera membopong ibunya ke kamar.

"Ambilkan minum, Dek!"

"Iya." Aruna kembali berlari ke dapur untuk mengambil segelas air.

"Mas ...," panggil Bu Murni dengan mata hampir terpejam.

Ranu mendekatkan tubuhnya. "Iya, Bu. Apanya yang sakit?"

Bu Murni menggeleng pelan. Tarikan napas beliau mulai terdengar berat. "Ibu ... pingin lihat ...."

Ranu bingung melihat Bu Murni tiba-tiba seperti kesulitan bernapas. "Kita ke rumah sakit saja, ya, Bu."

Bu Murni melanjutkan ucapannya yang belum tuntas meskipun tarikan napasnya bertambah berat. Air mata pun sudah mengalir deras. "Mas nikah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro