Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ranu menyesal telah menganggap bahwa pernikahan yang akan segera berlangsung itu hanyalah sebuah permainan peran. Kata-kata itu ternyata sangat membekas di hati Jelita. Sekarang, ia malah kepikiran dan seakan berdosa telah melakukan hal tersebut pada gadis yang tidak bersalah tersebut. Namun, Ranu gengsi untuk mencabut kata-katanya.

"Ck, kenapa aku mikir gini? Bagus kan, dia mikir aku jahat." Ranu berbicara sendiri di depan cermin seraya merapikan rambutnya yang mulai terlihat panjang.

"Udah waktunya potong rambut itu. Masa akad nikah nanti rambut berantakan gitu." Bu Murni tiba-tiba muncul di pintu kamar Ranu yang terbuka.

"Tapi, masih tetap ganteng, Bu."

"Kapan emangnya anakku nggak ganteng?" tanya Bu Murni seraya tersenyum jail. "Oh, iya, kalau lagi bikin ibunya sedih, itu nggak ada ganteng-gantengnya sama sekali."

Ranu terkekeh mendengar ejekan ibunya. Ia lalu menyambar kunci motor yag ada di atas meja kamar.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Bu Murni.

"Mau berubah jadi makin ganteng," ucap Ranu seraya mengedipkan sebelah mata ke arah sang ibu.

Bu Murni tertawa melihat aksi Ranu. Beliau lalu memukul lembut punggung putranya tersebut. Perempuan yang mengenakan daster panjang lengan pendek itu menatap punggung Ranu yang berjalan menuju pintu depan. Bu Murni tersenyum penuh kelegaan melihat wajah ceria Ranu saat ini. Sudah lama beliau tidak melihat raut tersebut, tepatnya sejak Ranu putus dari Friska.

"Apa dia sekarang benar-benar siap menikahi Jelita?"

Lamunan Bu Murni berakhir saat mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Senyuman lalu terbit dari bibir beliau begitu sosok tersebut mengucapkan salam saat mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Murni seraya membuka pintu. Jelita langsung menyalami calon mertuanya.

"Bawa apa itu?" Bu Murni memperhatikan kantong besar yang terbuat dari kertas tebal di tangan kiri Jelita.

"Baju, Tan. Alhamdulillah, udah selesai semua."

Bu Murni mengerjap senang. Beliau segera mengajak Jelita masuk ke ruang tamu.

"Aruna lagi bimbingan ya, Tan?"

"Iya, berangkat pagi banget tadi. Katanya dosen Aruna mau ke luar kota."

Jelita manggut-manggut. Ia lalu menoleh ke ruangan di sebelah. Pintu kamar terbuka, tetapi tirai di pintu tertutup.

"Tante coba ya, Lit."

Tidak ada jawaban dari Jelita. Gadis itu masih menatap kamar Ranu.

Bu Murni tersenyum seraya manggut-manggut. "Ranu barusan keluar tadi."

"Oh, iya, Tan."

Jelita terkejut dengan ucapan Bu Murni. Ia mulai salah tingkah. Dirinya tadi bukan mencari Ranu. Namun, memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarnya seminggu lagi. Jelita tidak bisa membayangkan suasana nanti. Berdua bersama laki-laki yang tidak menginginkannya. Satu ruangan tanpa canda tawa, bertukar cerita, dan berbagi cinta, sepertinya.

"Bagus banget, Lit." Bu Murni muncul dengan gamis berwarna tosca perpaduan batik dan satin hasil jahitan Jelita.

"Alhamdulillah. Ada yang nggak nyaman, Tan?"

"Enggak, kok. Udah pas semua. Terima kasih banyak ya, Lit."

Jelita menganggukkan kepalanya. Ia pun turut merasa senang. Dirinya tinggal menunggu Ranu dan Aruna untu mencoba baju hasil jahitannya. Untuk sahabatnya itu, dirinya santai saja. Jika ada yang tidak nyaman pada bajunya, tentu Aruna akan pergi ke rumahnya.

Sembari menanti kedatangan calon suaminya itu, ia berbincang ringan dengan Bu Murni.

"Tante sebenarnya senang banget kalau tempat kerja Lita pindah ke rumah. Beneran nggak mau dipindah ke sini? Tapi, nggak ada ruangan khusus juga, ya. Duh, gimana sih, nawarin tapi nggak bisa nyanggupin."

"Nggak pa-pa, Tan. Tetap di sana saja. Takutnya juga, pelanggan banyak yang bingung nanti kalau pindah tempat."

Bu Murni manggut-manggut. Memang, terkadang tempat dapat membawa hoki tersendiri untuk usaha. Ada yang bisnisnya ramai di tempat sederhana, saat pindah ke lokasi dengan gedung yang lebih baik, malah sepi. Namun, rezeki memang sepenuhnya kuasa Allah.

Obrolan calon menantu dan mertua itu terus berlanjut hingga suara motor masuk ke halaman rumah. Ranu rupanya sudah datang.

"Assalammualaikum." Ranu membuka pintu ruang tamu. Matanya langsung menangkap sosok Jelita yang tengah duduk di kursi. "Eh, ada Jeli."

"Wah ... beneran jadi potong rambut." Mata Bu Murni berbinar melihat penampilan baru putranya. "Makin ganteng ya, Lit." Bu Murni menyenggol lengan Jelita dengan sikunya.

Jelita tersentak. Ia tengah terpana melihat penampilan rapi dari calon suaminya. Dirinya seperti melihat aura yang berbeda dari raut wajah Ranu. Bukan masam lagi seperti awal-awal menjelang lamaran dulu.

Jelita hanya bisa tersenyum canggung. Ia sebenarnya ingin jujur dan mengatakan jika penampilan Ranu saat ini teramat tampan. Bahasa kekiniannya, nggak ada obat!

Ranu tersenyum melihat sikap Jelita. Ia lalu berjalan ke kursi di sebelah Jelita.

"Itu baju punyaku, Jel?" tanya Ranu seraya menunjuk satu kantong plastik berisi satu set beskap.

"Iya, Mas. Dicoba dulu, ya. Siapa tahu ada yang nggak pas." Jelita membuka plastik pembungkus. Ia segera menyerahkan baju tersebut kepada Ranu.

"Oke. Aku ganti dulu." Ranu berjalan menuju kamarnya.

Bu Murni mengerutkan kening saat melihat warna dari baju pengantin. Beliau merasa ada yang tidak biasa dengan putranya.

"Omong-omong yang milih warna baju pengantin siapa, Lit?"

"Saya, Tan. Kenapa?"

"Ranu mau? Kan, kalian berdua yang nyari kainnya dulu, ya?"

Jelita manggut-manggut. "Mas Ranu bilangnya terserah. Ya, udah. Gas pol saja saya milih dusty pink."

Bu Murni mengacungkan kedua ibu jari ke arah Jelita. Mereka lalu tertawa bersama.

"Jeli, ini kenapa, ya?"

Panggilan Ranu dari kamarnya, menghentikan tawa dua perempuan berbeda generasi tersebut. Bu Murni lalu mempersilakan Jelita menemui putranya.

Jelita melangkah menuju kamar yang tirainya terbuka. Ia menarik napas panjang seblum memasuki ruangan dengan cat biru muda tersebut.

"Kenapa, Mas?"

"Kancing paling atas nggak bisa masuk." Tangan kanan Ranu yang memegang kancing, masih berusaha menembus tempat untuk mengaitkannya.

Jelita memeriksa bawah kerah sanghai tersebut. Ia paham dengan permasalahan yang ada.

"Sebentar, Mas." Jelita kembali ke ruang tamu.

"Aku ke dapur ya, Lit." Bu Murni beranjak dari kursi saat Jelita baru kembali.

"Iya, Tan." Jelita segera mengambil pendedel benang di tasnya. Kemudian, ia kembali ke kamar Ranu.

Ranu masih berdiri di depan kaca. Ia mengamati penampilan yang dirasa semakin memesona dengan baju pengantin itu.

"Permisi, Mas. Aku bukain dulu tempat kancingnya."

"Oh, oke."

Ranu berdiri menghadap Jelita. Gadis itu mulai menyentuh baju yang sedang dipakainya. Pucuk kepala calon istrinya tepat di bawah dagu. Ranu melirik ke bawah. Aroma parfum calon istrinya itu seketika membuat detak jantungnya bekerja lebih cepat.

"Udah." Jelita menjauh dari Ranu.

Ranu tergemap. Ia segera mengalihkan pandangan.

"Makasih, Jel." Ranu berhasil memasukkan kancing paling atas.

"Ada yang nggak nyaman lagi?" tanya Jelita memastikan sebelum dirinya pamit pulang.

Ranu menggelengkan kepala dengan cepat. Ia masih bingung dengan respon tubuhnya tadi.

***

"Udah hapal belum ijab kabulnya?" tanya Aruna mengingatkan. Ia harus memastikan jika kakaknya itu siap melaksanankan acara terpenting tersebut.

"Udahlah, Dek."

"Kirain, entar nggak hapal nama lengkap Jelita sama bapaknya. Awas saja, ya." Aruna mengepalkan tangan ke arah sang kakak.

"Lebay. Emang sinetron?" Ranu menyapu wajah Aruna. "Eh, Dek. Kamarku dibiarin kayak gitu doang?"

Aruna yang tengah memainkan ponsel, mengangkat wajah. "Maksudnya?"

"Yaa ... diubah gitu suasananya. Masa bujang sama udah beristri sama saja kamarnya?"

Aruna menyipitkan mata curiga. "Kamar pengantin maksudnya?"

"Nggg, salah satunya kayak gitu kali." Ranu mengangkat bahu, lalu menggaruk belakang kepala. Ia pura-pura tidak paham dengan maksudnya sendiri.

Aruna sontak memikirkan satu hal yang mengagetkan dirinya sendiri. Bibirnya mengulas senyum menggoda.

"Mas udah ada rasa ke Jeli, ya?" Aruna menyeringai jail.

Terima kasih untuk semua yang sudah mendukung cerita ini

Untuk kelanjutannya bisa dibaca di  Ebook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro