Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aruna melajukan motor Scoopy kesayangannya keluar dari parkiran rumah sakit. Ia kini menuju ke rumah Jelita yang terletak di kelurahan sebelah tempat tinggalnya. Mereka adalah sepasang sahabat baik sejak sekolah dasar. Tepatnya saat duduk di kelas lima SD, mereka mulai dekat. Persahabatan itu tetap terjalin dengan erat meskipun mereka berbeda sekolah setelah lulus.

"Assalammualaikum. Jeli, Jeli, where are you?"

Aruna langsung masuk ke rumah begitu membuka pintu. Ia tidak mengucapkan nama Jelita seperti semestinya. Dirinya menyebut Jelita dengan pelafalan seperti olahan dari rumput laut yang kenyal.

"Waalaikumsalam, Run," jawab Jelita yang baru muncul dari ruang tengah. Gadis dengan meteran kain menggantung di lehernya itu, menyambut sang sahabat. "Tante udah membaik, 'kan? Aku baru nanti sore mau jenguk sama Mama."

Aruna menganggukkan kepala. Ia lalu merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu.

"Kamu lagi dikejar deadline?" tanya Aruna. Ia menoleh ke ruang sebelah di mana pekerjaan Jelita sebagai modiste atau penjahit wanita berada. Tampak di sana menumpuk beraneka warna dan jenis kain yang masih terlipat rapi.

"Enggak. Lagi nyicil pesanan buat bulan depan," jawab Jelita seraya duduk menyusul Aruna. "Sakit apa ternyata?"

"Sakit karena mikirin anak sulungnya."

"Mas Ranu?" Jelita mengernyit. "Kenapa lagi?"

Sebagai teman baik Aruna, Jelita tahu apa yang menjadi permasalahan dalam keluarga sahabatnya tersebut. Aruna selalu mendatanginya di saat kondisi di rumah sedang tidak nyaman. Seringnya memang disebabkan oleh masalah Ranu dan Friska. Jelita pun sampai paham kisah cinta Ranu dari curhatan Aruna.

"Bikin aku stres. Sekarang tiba-tiba minta dicarikan calon istri. Masuk akal nggak kayak gitu, Jel?"

"Mas Ranu mau nikah?" tanya Jelita dengan ekspresi terkejut. "Sama siapa, Run?"

Aruna mengernyitkan dahi melihat ekspresi sahabatnya. "Mengagetkan bukan? Bayangin aku yang adiknya. Mana tiba-tiba disuruh nyarikan calon istri. Stres nggak, tuh?"

Jelita terdiam mendengar cerita Aruna. Ekspresi rasa terkejutnya tadi berubah menjadi kegelisahan.

"Kok, kamu jadi bengong gini, Jel?"

"Eh, apa? Kamu disuruh nyarikan calon istri buat Mas Ranu?" Jelita tersadar dari lamunannya. "Dia minta nikah tapi nggak punya calon?"

Aruna manggut-manggut. "Aneh banget sikap abangku itu. Haus, nih, Jel. Minta air, dong."

"Biasanya juga ambil sendiri di belakang." Jelita beranjak dari duduknya.

"Aku lagi pingin jadi tamu yang dimanjain pemilik rumah."

"Dasar males," ucap Jelita sembari tertawa. Ia lalu berjalan menuju dapur, lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air yang ada di dispenser. Gadis bertubuh kurus itu kembali termenung.

"Duh!" Jelita tersentak saat mendapati air membasahi tangannya yang sedang memegang gelas. Rupanya, ia melamun hingga tidak sadar jika air sudah tumpah. Berita tentang rencana Ranu yang ingin menikah mulai mengusik pikirannya.

"Jel! Lama amat ambil airnya." Ucapan Aruna terdengar sampai ke dapur. Rumah Jelita memang tidak terlalu luas. Hanya berjarak dua kamar saja antara dapur dan ruang tamu.

"Iya, sabar, Jeng."

Jelita kemudian kembali ke ruang tamu dengan membawa satu gelas air putih dan sepiring brownis Amanda varian pandan.

"Terus, rencanamu apa, Run? Kasihan Tante, ya, mikirin Mas Ranu terus-terusan." Air muka Jelita berubah sendu. Dirinya bisa merasakan kesedihan Bu Murni yang baru saja kehilangan suami. Bertambah kondisi tubuh yang melemah karena memikirkan putranya.

Aruna mengangguk seraya menyesap minumannya. Satu gelas air putih pun tandas tidak tersisa.

"Itu dia masalahnya. Aku cuma mikirin Ibu. Sekalipun nanti, aku bisa dapetin cewek yang mau nikah sama Mas Ranu, tapi kok, rasanya sama aja dengan aku nyiksa cewek itu. Kamu paham, 'kan? Itu yang buat aku dilema, Jel."

Jelita manggut-manggut. Dirinya juga paham tentang masalah tersebut. Semua yang terjadi dengan Ranu, diceritakan semua oleh Aruna kepadanya.

"Mas Ranu masih belum bisa lupain cewek itu sampai detik ini?"

Aruna menggerakkan kepalanya naik turun. Ia kembali menyandarkan punggungnya di sofa.

"Tapi, kalau nggak cepat nikah, bisa jadi Friska bakal muncul lagi. Ish, aku ogah banget punya kakak ipar macam dia. Udah nggak bisa masak, nggak mau nyuci baju sendiri, males ke dapur, auratnya diumbar pula. Haduh, nggak ada nilai positifnya si Friska itu di mataku."

Jelita tersenyum tipis. Ia masih mengingat jelas sosok Friska yang tidak dikenalnya secara langsung. Diam-diam, Jelita menemukan akun instagram Friska. Ia tidak pernah menceritakannya pada Aruna. Menyebut namanya saja, bisa membuat sahabatnya itu mengomel.

"Friska cantik, Run. Makannya Mas Ranu cinta mati sama dia."

"Cantik sih, tapi ngebosenin lihatnya. Cantiknya juga nggak alami. Masa leher sama wajah warnanya njomplang gitu." Aruna teringat wajah putih Friska, tetapi lehernya lebih gelap.

"Itu kan dulu, sekarang beda," cetus Jelita.

"Sekarang? Maksudnya?" Aruna menautkan kedua alis mata.

Jelita sontak menyadari ucapannya. "Eh, siapa tahu sekarang udah semakin cantik alami."

"Aku nggak yakin, tuh. Dia kan ketagihan krim racikan dokter. Mana bisa tiba-tiba lepas." Aruna terlihat yakin dengan ucapannya. "Masih cantikan kamu, Jel. Sayang malas ngurus wajah."

Jelita memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Ia sudah kebal dibilang malas mengurus wajah oleh Aruna.

"Enaknya aku carikan nggak, sih?" Aruna memejamkan mata seraya memijit pelipisnya. Namun, pertanyaannya tidak segera mendapat tanggapan dari Jelita. "Jeli! Kamu nggak dengerin aku, ya?"

Jelita yang kembali termenung menjadi tersentak. "Apa? Kamu mau nyariin?"

Aruna mencebik kesal. "Aku nanya kamu. Enaknya aku carikan calon istri apa enggak? Aku nggak yakin ada cewek yang mau nerima kakakku yang kayak kena pelet itu."

Jelita duduk dengan gelisah. Ia belum bisa memberi pendapat untuk hal tersebut.

"Apa aku carikan di aplikasi dating aja, Jel? Yang Geser Kanan Jodoh itu," imbuh Aruna. Ia lalu menoleh ke arah Jelita. "Kamu kenapa jadi diam gini?"

"Enggak, kok. Em, coba aja aplikasi itu, Run," ujar Jelita tidak sepenuh hati.

"Oke, aku install dulu aplikasinya." Aruna meraih ponsel yang ada di atas meja. "Semoga aja ada cewek baik hati, kalem, plus cantik di sini."

Jelita menatap Aruna dengan pikiran yang berkecamuk. Ada satu hal yang sudah dipendamnya cukup lama dan disembunyikannya dari Aruna. Namun, Jelita bimbang untuk mengatakannya saat ini.

***

Jelita mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia cemas memikirkan usaha Aruna yang ingin mencari calon istri untuk Ranu di aplikasi dating. Rasanya, Jelita ingin melarang Aruna melakukannya. Namun, ada rasa takut jika rahasianya terbongkar.

Jelita menarik napas panjang. Ia lalu mengepalkan tangan dengan kuat.

"Aku yakin ini adalah keputusan terbaik."

Jelita meraih ponsel yang ada di atas kasur. Ia kemudian menelepon Aruna. Hanya satu kali nada sambung terdeengar. Telepon pun tersambung.

"Assalammualaikum, Jel. Kenapa?"

"Waalaikumsalam. Kamu di mana, Run?"

"Di rumah. Baru pulang dari RS. Gantian sama Mas Ranu."

Jelita paham di rumah Aruna sedang sepi saat ini. "Aku mau ngomong penting, Run. Aku ke rumahmu sekarang. Jangan ngapa-ngapain. Assalammualaikum."

Jelita segera mematikan sambungan telepon. Ia segera memakai kerudung dan jaket, lalu menyambar kunci motornya.

Di seberang sana, Aruna masih heran dengan telepon Jelita. "Jangan ngapa-ngapain apa maksudnya anak itu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro