19: Ekor Tupai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sarah menunduk sembari memegang atap mulut gua dengan tangan kirinya, melongok ke dalam. Ia celingak-celinguk melihat seisi gua. Kosong. Tidak ada apa pun.

Sarah menarik kepalanya keluar dari gua dan berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah, menoleh ke kiri, ke arah pepohonan tinggi. Ia menarik tangannya yang bertengger di atap mulut gua ke atas lutut sembari membentuk setengah corong di mulutnya dengan salah satu tangan.

"Syifa!" Sarah berseru dengan tatapan cemas. Tak mendapatkan sahutan, ia pun menunduk, kemudian menghela napas dan menoleh menatap keempat orang yang memperhatikannya. Lalu, kembali menunduk dan menggeleng pelan. Mengisyaratkan tidak ada sosok yang mereka cari di sekitar situ.

Leo berdecak sembari berkacak pinggang, lalu mengembuskan napas berat. Apa Syifa tersesat? Bagaimana bisa? Apa ada bagian hutan yang belum kita jelajahi?

Baim mengalihkan pandangannya dari sekeliling area gua tebing, menatap Sarah yang masih berjongkok. "Apa kita mau coba kembali ke rumah panggung? Siapa tahu Syifa ternyata telah kembali ke sana?"

Sarah membalas tatapan Baim, kemudian menggeser tatapannya ke arah Leo yang berdiri di sebelah laki-laki itu, secara tidak langsung meminta pendapat.

Leo menunduk dan menggenggam erat tombak di tangannya, mengernyitkan kening. Ia menipiskan bibir, kemudian mendongak. "Ya, kurasa bisa kita coba."

Arthur mengangguk, menyetujui keputusan Leo. Sarah pun bangkit, ikut mengangguk. "Baiklah, ayo!"

Ia beranjak melangkah, sementara keempat orang lainnya membalikkan badan untuk kemudian menyusul berjalan di sisi Sarah. Mereka pun mulai berlari ketika telah berdiri sejajar, kembali menuju perumahan hutan.

Setelah ratusan meter, mereka sampai dan langsung menuju salah satu rumah di antara empat rumah di sisi kiri, tepatnya di sebelah rumah Sebastian. Sarah bergegas menaiki tangga menuju teras, sementara Leo berlari ke belakang rumah.

Gadis berambut hitam panjang itu beranjak mendekati pintu, kemudian menunduk dan mengintip melalui celah antara kayu yang menutupi daun pintu. Matanya terus menjelajahi area dalam rumah, ingin benar-benar memastikan bahwa tidak ada siapa pun di dalam sana. Kosong.

Sarah melengos dan beranjak menegakkan tubuh, berkacak pinggang memunggungi pintu dengan wajah menunduk. Ia merapatkan bibir, lalu mendongak dan berdecak kesal. Gadis itu mengusap wajah, tak lama kembali menghampiri teman-temannya yang ada di bawah rumah panggung.

Bertepatan dengan Sarah yang sampai di antara Baim, Dee, dan Arthur, Leo pun datang menghampiri. Laki-laki itu bersitatap dengan Sarah, lalu menggeleng. Sarah tersenyum masam, sudah mengetahui hal itu.

Baim mengembuskan napas berat. "Kita cari lagi?"

Arthur mengangguk. "Kita coba cari di daerah kita latihan sebelumnya."

Sarah mengangguk, kemudian mereka kembali berlari, kali ini menuju arah berlawanan dengan sebelumnya, tempat mereka masuk saat dikejar dua mutan beberapa hari lalu.

Mereka berbelok ke kiri sebelum tempat di mana Sebastian terbunuh, terus berlari hingga berada di padang rumput luas. Mereka berhenti dan memperhatikan sekitar.

"Syifa!" Sarah berseru.

"Kak Syifa!" Suara Dee menyahuti.

Panik mulai menyergap Sarah. Ia menatap Leo dengan pupil melebar.

"Syifa!" Arthur pun ikut memanggil.

Tak ada sahutan. Mereka terdiam, mendengar napas masing-masing.

"Dia di mana?" Leo bersuara, menatap teman-temannya. Sarah menggeleng.

"Bagaimana kalau kita cari di tempat-tempat yang pernah kita datangi?" Dee menimpali.

Sarah menoleh, menatap adiknya, lalu tertegun. "Pohon mangga."

Leo pun tertegun, pikiran positifnya kembali bangkit. Jantungnya berdegup kencang, merasakan adrenalinnya memacu. "Ayo, kita cari ke sana!"

Mereka bergegas menuju pohon mangga. Langit tampak lebih gelap dari sebelumnya. Tidak jauh dari belokan, pohon mangga yang mereka cari sudah terlihat. Mereka memperhatikan sekitar seraya mendekati pohon itu.

Leo berdecak ketika tak mendapati sosok berhijab di sana. Mereka berhenti di bawah pohon, Sarah berkacak pinggang dan mengembuskan napas berat. Tak lama, ia mendongak, menatap Arthur yang tampak menoleh ke arah satu titik.

Namun, atensi gadis itu teralihkan ketika melihat Leo melangkah pelan mendekati sesuatu di jalan setapak di sebelahnya dan berjongkok. Sarah mengernyitkan kening, lalu beranjak ikut berjongkok di sebelah Leo, mendapati jejak sepatu di sana. Ia menoleh, menatap Leo yang masih memperhatikan jejak alas kaki itu.

"Kita cari ke mana lagi?" Baim bertanya, membuat Sarah menoleh.

Leo beranjak berdiri, menatap Baim. "Aku yakin ini jejak sepatu Syifa."

Lalu, ia menunjuk ke arah barat laut. "Dia sepertinya ke sana."

Sarah pun ikut berdiri, menatap ke arah yang ditunjuk Leo, tidak ada jalan setapak. Seperti daerah hutan yang cukup lebat.

"Kita tetap mencari dia?" Baim mendongak, menatap langit yang tak lagi cerah, lalu kembali menatap Leo dan Sarah. "Sebentar lagi sore dan kita belum mempersiapkan makan, apakah aman?"

Alis Sarah menukik. Namun, belum sempat melontarkan apa pun, Arthur yang menoleh dan menatap Baim dingin telah menarik atensinya.

"Apa maksudmu?" Suara mengintimidasi itu terdengar. Baim menoleh, mendapati Arthur menatap tepat ke arahnya.

"Untuk apa kau bertanya seperti itu?" Arthur berujar, sedikit memiringkan kepalanya. "Kau tidak berpikir bahwa dia mungkin saja dalam bahaya?"

Alis Sarah kembali ke posisi normal, melirik Dee yang berdiri di dekat Arthur. Atmosfer di sekitar mereka kini terasa mencekam.

"Hei, aku hanya bertanya, kau tahu sendiri sekarang sore hari pun mulai riskan. Aku memikirkan bagaimana risikonya jika kita terus berkeliaran." Baim membalas, masih terlihat tenang.

"Dan kau berpikir kita bisa tenang sebelum menemukan Syifa?" Arthur mendengkus sinis, memalingkan wajah sejenak sebelum kembali menatap Baim dengan tatapan tajam. "Tidak, sialan. Jangan memakai kita sebagai alasan kau ingin selamat. Sejak awal, kau hanya memikirkan dirimu, 'kan?"

Baim mendelik, kini alisnya mulai bertaut. Dia benar-benar hanya bertanya karena keselamatan mereka semua jugalah penting.

"Sejak kapan kau jadi emosian begini?" Baim menukas, gantian mendengkus. "Pasti karena yang hilang sekarang adalah Syifa, kalau bukan kau pasti juga akan memilih menyelematkan diri sendiri. Jangan bohong, dasar bucin. Tidak ada yang bisa memperkirakan siapa yang menjadi korban jika kita semua diserang nantinya."

Tiba-tiba, angin menggesek kulit pipi Baim dan membuatnya sontak menarik salah satu kaki ke belakang kaki yang lain. Leo pun refleks menarik bahu Sarah hingga perempuan itu berseru kaget, lalu menatap tombak kayu yang kemudian menusuk batang pohon beberapa meter di belakang mereka.

Baim menatap Arthur dengan pupil melebar, dadanya naik-turun dengan cepat, begitu pun dengan Leo. Ia tak percaya akan apa yang telah diperbuat oleh laki-laki jangkung itu.

"Yang pasti ... bukan Syifa korbannya." Arthur berujar dingin, membuat Dee mundur beberapa langkah.

"Kau ingin membunuhku?" Intonasi yang dilontarkan Baim mulai naik. "Ah, gila! Kau memang munafik, kau tidak memikirkan dirimu sendiri, tapi kau hanya memikirkan dirimu dan Syifa. Iya, 'kan?"

Tangan Baim terkepal. "Kalau kau ingin membunuhku, coba dengan tangan kosong, Bangs*t!

Sarah melotot melihat Baim berlari maju dan lompat seraya meninju wajah Arthur, membuat laki-laki itu terhuyung ke belakang.

"Hei, apa yang kalian lakukan!" Leo berseru, tetapi Baim tak mengindahkan. Ia justru mendorong tubuh Arthur dan menendang perutnya hingga Arthur mundur beberapa langkah sembari mendesah kesakitan.

Namun, Arthur tidak membiarkan dirinya berlama-lama diserang. Tak menghiraukan gejolak rasa sakit di perutnya, ia berseru dan maju menerjang Baim hingga keduanya jatuh di tanah. Dee menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Hei, kalian!" tegur Leo sembari berlari menghampiri mereka. "Sadarlah!"

Leo menarik bahu Arthur yang memukuli wajah Baim di bawahnya, tampak seperti punya dendam. Sarah yang telah sadar pun bergegas menyusul Leo.

"Istigfar dasar kalian gila!" Sarah segera meraih lengan atas Arthur yang terangkat ingin meninju Baim dan menariknya bersamaan dengan Leo yang menarik bahu Arthur. Laki-laki jangkung itu pun tertarik ke belakang hingga hampir kehilangan keseimbangan.

Leo menarik tubuh Arthur berdiri menjauh dari Baim yang mengerang pelan di atas tanah. Sarah melepas pegangannya pada lengan Arthur dan berjongkok di sisi Baim, membantunya berdiri.

"Apa yang sebenarnya kalian pikirkan?" Sarah bertanya tegas, menatap Arthur tajam dengan tangan memegangi lengan atas Baim yang beranjak berdiri. "Kau ingin membunuh Baim? Aku tahu kau kesal, aku pun juga, tapi berpikirlah dengan jernih! Kita sudah mati-matian bertahan hidup dari mutan, jangan sampai justru kita saling membunuh!"

"Berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Sampai saat ini Syifa belum bisa ditemukan." Leo menambahkan, menatap Baim yang pipinya membiru dengan darah di sudut bibir. "Pekalah dengan situasi, ini bukan saat yang tepat untuk saling mencerca."

"Dan selama langit belum berubah jingga, kita akan terus mencari Syifa." Sarah menambahkan. Namun, sontak tertegun saat samar-samar mendengar jeritan seorang perempuan.

Mereka semua terdiam dengan telinga fokus mendengarkan, lantas saling menatap satu sama lain dengan pupil yang melebar. Mengetahui dengan pasti bahwa jeritan itu berasal dari orang yang mereka cari. 

"Syifa." Sarah berujar. Mereka pun segera berlari menuju ke mana jejak sepatu itu mengarah, menyibak rerumputan yang menghalangi jalan. Hingga seratus meter ke depan, mereka pun berhenti dan celingak-celinguk memperhatikan sekitar. Tak berani berteriak.

Sarah menegak ketika mendengar raungan datang dari arah kanan, lantas menoleh. Degup jantungnya meningkat. Ia melirik Arthur yang lebih dulu berlari ke arah suara itu berasal, lantas menyusulnya sembari berdoa dalam hati.

Mereka memperlambat langkah ketika melihat sebuah benda berwarna abu-abu puluhan meter di depan, melintang dari kiri hingga ke kanan. Pagar listrik. Sarah bersembunyi di belakang pohon dan mengintip, tak melihat seekor mutan pun di sana.

Ia menoleh ke arah Arthur yang bersembunyi di pohon seberang. Laki-laki itu pun membalas tatapannya, lalu mengangguk. Mereka keluar dari persembunyian dan lanjut melangkah menyusuri pagar listrik dengan jarak lima puluh meter dari benda itu.

Dee yang berjalan di samping Sarah terus memperhatikan sekitar, hingga ia hampir menabrak Leo yang tiba-tiba berhenti, lalu melongokkan kepala di samping laki-laki itu, melihat Arthur yang berdiri paling depan menahan langkah mereka dengan meluruskan tangan ke samping bawah.

Jantung Arthur seakan sempat berhenti berdetak, sekelilingnya tiba-tiba seperti membeku, dan hanya sosok yang terkapar beberapa meter di depan–di antara tumbuh-tumbuhan–yang ada di sana. Ia menggertakkan gigi, merasakan jantungnya mencelus. Tidak, tidak mungkin.

Leo mengernyitkan kening melihat Arthur hanya diam. Ia pun menyingkirkan lengan Arthur yang menghalangi jalannya dan beranjak ke samping laki-laki itu, lalu tertegun, merasakan jantungnya berhenti berdetak sedetik.

Leo menggeleng-geleng. "Tidak, tidak mungkin."

Ia beranjak mendekati sosok yang tak bergerak itu, lalu berhenti ketika dapat melihat wajahnya. Sesak menghampiri dada, ia mengulum bibir dan mengerjap-ngerjap, menahan air mata yang terasa ingin keluar. Tak tahan dengan rasa sakitnya, ia memejamkan mata seraya mencengkeram dada kirinya dengan kuat, bisa merasakan Sarah dan Baim yang terkesiap di sampingnya.

Gadis itu menutup mulut dengan telapak tangan. Tubuhnya bergetar melihat sosok yang mereka cari terkapar di atas tanah dengan darah segar mengotori hidung, mulut, dan jilbabnya. Tampak bonyok.

Sarah menggigit bibir, tak bisa menahan air matanya yang mengalir deras. Tangisan pun lolos dari mulut gadis itu. Ia terjatuh berlutut, terlalu lemas untuk tetap berdiri.

Arthur dan Dee tak kuasa untuk mendekat. Anak panah seperti menghujam jantung mereka. Dee menunduk dengan tangan terkepal, turut menangis dengan suara yang lebih pelan.

Baim merasakan amarah yang memuncak. Tidak pernah sekali pun, ia ingin melihat Syifa berakhir seperti itu. Bodoh. Arthur memang benar. Untuk apa ia bertanya tentang haruskah mereka terus mencari Syifa? Arthur memang benar, Syifa berada dalam bahaya. Lalu, mungkin, Arthur juga benar ... ia sebenarnya hanya mementingkan diri sendiri.

Baim mengepalkan tangan, menghela napas seraya memejamkan mata, lalu mengembuskan napas panjang. Saat ia membuka mata, sejenak atensinya direnggut oleh ekor tupai yang berada di dekat tubuh Syifa. Hanya ekornya saja. Ia mengernyit. Apa tupai itu dimakan oleh mutan?

Ia beralih menatap wajah Syifa yang berlumuran darah. Apa yang kau lakukan di sini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro