2: Diandra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kening Leo berkerut melihat Sarah tampak panik, lalu melirik Baim yang mengedikkan bahu.

"Kita harus ke sana, itu bisa jadi Diandra!" Sarah mulai melangkah, secara tidak langsung menyeret Leo yang masih merangkulnya.

"Ini namanya aku tidak membantumu berjalan sama sekali," gerutu Leo, "kau justru menyeretku!"

Dengan tertatih-tatih, Sarah tetap menciptakan jejak kaki di atas pasir dengan lengan bertengger di pundak Leo. "Setidaknya aku tidak akan jatuh."

"Itu suara adikmu?" sahut Baim yang mengikuti dari belakang, kini ia dapat mendengar samar-samar suara perempuan di antara suara gelombang laut yang tidak tenang dan dedaunan yang bergesekan.

"Aku yakin." Sarah membalas, suara napasnya terdengar jelas setiap kali kakinya menapak pasir. Tangan kiri Leo kini memegangi pundak kiri gadis itu, sampai mereka berada di depan batu-batu besar yang menghalangi jalan.

Leo melepas rangkulannya, melangkah lebih dulu melewati celah-celah batu yang sempit, kemudian mengulurkan tangannya pada Sarah.

Gadis berambut hitam itu menatap tangan yang terulur di hadapannya, kemudian menatap Leo yang menunggu agar disambut.

"Kau juga butuh bantuan untuk meraih tangannya?" Baim bersuara, membuat Sarah berdecak dan menyambut uluran Leo.

Sarah mulai memasuki celah-celah batu dengan Leo yang membantu menjaga keseimbangan tubuhnya. Begitu ia berhasil keluar dari area bebatuan besar itu, Baim menyusul dengan naik ke atas batu-batu itu dan melompat turun ke sampingnya.

Suara burung-burung camar seolah menjadi backsound ketika Sarah melihat sosok perempuan berlutut dengan posisi membungkuk, kedua sikunya menumpu di atas pasir dan rambut hitam lurusnya menutupi wajah.

Lima belas tahun bersama, Sarah yakin perempuan itu memang adiknya. "Dee!"

Perempuan itu tertegun, jantungnya berdetak lebih kencang. Ia mengangkat badannya dari posisi membungkuk sembari langsung menoleh ke arah sumber suara, mendapati Sarah berjalan pincang mendekatinya yang berjarak lima belas meter. Leo melepaskan tangan Sarah ketika gadis itu berjalan lebih cepat.

"Kak Sarah." Dee berujar lirih, merasa lega sekaligus ingin menangis. Perlahan-lahan, ia bangkit berdiri, mengangkat salah satu kakinya untuk melangkah, lalu terdiam sejenak untuk menyeimbangkan badan.

"Kak Sarah!" Kali ini, Dee berseru. Matanya berkaca-kaca. Melangkah tidak pernah terasa seberat ini.

Di langkahnya yang ke delapan, Dee terjatuh di dalam rengkuhan Sarah. Tangis perempuan berumur lima belas tahun itu akhirnya pecah.

Sarah memejamkan mata, menahan diri agar tidak ikut menangis. "Aku di sini, Dee, aku di sini."

Dee mengeratkan pelukannya pada Sarah. "Kita di mana, Kak?"

Sarah menghela napas. "Aku juga tidak tahu."

Gadis itu mengangkat tubuh Dee berdiri, hendak menjauhkan tubuh perempuan itu dari miliknya, tetapi tidak bisa. Dee terus memeluk Sarah dengan erat.

"Hei, tidak apa-apa, jangan takut." Sarah membalas pelukan Dee dan menepuk-nepuk punggungnya yang berpasir.

"Kau tidak terluka, 'kan?" Sarah bertanya, lalu melepas pelukan mereka dan memegang bahu Dee. Memberikan ruang udara di antara mereka.

Dee menggeleng, matanya tampak basah. "Tidak, tapi aku hampir tidak bisa merasakan lengan atasku."

Sarah menipiskan bibir, mengembuskan napas panjang. "Kurasa itu hal yang wajar, seingatku kita berenang cukup jauh dari tempat sekoci tenggelam. Mungkin, karena itu juga kita bisa selamat."

Sarah tersenyum tipis. "Aku bersyukur kau tidak kenapa-kenapa, apa kau dengar aku memanggilmu tadi?"

Dee mengangguk-ngangguk. "Aku memang mendengar sebuah suara, tetapi aku baru siuman, sehingga tidak begitu mempedulikannya."

"Kasihan sekali, pelampungnya tidak bekerja dengan baik." Suara Baim mengalihkan atensi mereka. Sarah menoleh dan melihat laki-laki itu menatap benda berbentuk rompi berwarna oranye mengapung di permukaan air laut. Terlihat kempes.

Leo yang semula menatap Sarah dan Diandra pun ikut menoleh, memusatkan perhatian pada benda yang naik turun mengikuti gelombang laut itu.

"Apa kau berpikir orang yang sebelumnya memakai pelampung itu juga ada di sini?" Baim menoleh pada Leo yang masih menatap pelampung itu. Rambut cokelat terangnya bergerak-gerak diterpa angin.

"Mereka juga terdampar, Kak?" tanya Dee. Sarah mengangguk. "Mereka penumpang kapal feri yang sama dengan kita."

Dee bergumam, "Tapi, mereka tak terlihat sepayah kita."

"Ya, sepertinya mereka ahli menggunakan sekoci dayung. Sekoci kita tenggelam lebih dulu daripada milik mereka, bisa kuasumsikan mereka juga tidak sampai pingsan seperti kita." Sarah menatap langit yang tampak lebih cerah dari sebelumnya, burung-burung camar berterbangan dan sesekali menimbulkan suara.

"Hei." Leo menoleh pada Sarah dan Diandra, tersenyum kecil. "Kami ingin menyusuri pantai, siapa tahu ada korban tenggelam lainnya. Kalian istirahat saja di sini."

Sarah menatap pelampung yang terapung itu. "Kalian ingin mencari pemilik pelampung itu?"

"Yah, siapa tau dia juga terdampar, dan mungkin saja berguna untuk kita bertahan hidup di sini," balas Leo.

Sarah menatap Dee, lalu kembali menatap Leo. "Kau akan kembali ke sini?"

"Kenapa tidak?" Leo justru balik bertanya, tersenyum tipis. "Tentu saja kami akan kembali."

"Kecuali kami menemukan sekoci ketika menyusuri pantai, tidak menutup kemungkinan kami akan pergi meninggalkan kalian." Baim yang sedari tadi memperhatikan mereka menyahut.

Sarah hanya merotasikan kedua bola matanya, memilih memusatkan perhatian pada Leo. "Ya ... kurasa kita akan tetap di sini."

Leo mengendikkan bahu. "Baiklah."

Ia menoleh pada Baim dan mengajak laki-laki itu untuk segera melangkah. Mereka pun bergerak menjauhi Sarah dan Diandra.

Sarah menatap kedua punggung laki-laki itu, mengembuskan napas lega dan tersenyum tipis. Setidaknya, ada yang bisa mempermudah keadaan.

Sarah melirik Dee yang juga menatap kedua laki-laki yang makin menjauh itu, lalu meraih tangannya. "Ayo, kita bersihkan sedikit rambut yang kotor ini."

Sarah menarik Dee ke arah laut, menelan saliva melihat gelombangnya tidak kunjung tenang. Kaki gadis itu mulai masuk ke dalam air, dengan hati-hati terus turun hingga lututnya ikut terendam.

Sarah tersenyum lega, kini ia bisa berjalan dengan lebih baik. Ia menunduk dan mengambil air laut dengan telapak tangan, menyirami rambutnya sedikit demi sedikit. Begitu pun dengan Dee.

"Aku teringat Mama." Suara Dee memecah hening di antara mereka. Sarah melirik Dee, hanya tersenyum pahit. Namun, Dee dapat melihat kesedihan di matanya.

Dee menunduk, raut wajahnya berubah sendu. Teringat ia yang menarik Sarah dari dalam air, gadis itu sedang berusaha membawa mamanya naik ke permukaan laut. "Maaf."

Angin kencang terbentuk kembali, suara dedaunan lebat yang bergesekan menarik atensi Dee. Hutan itu tampak mengerikan. "Menurutmu, pulau ini ada penghuninya?"

Sarah yang masih membasahi rambut mendongak, menatap Dee sekilas sebelum menoleh ke arah hutan di sebelah kirinya. Bergeming sejenak. "Aku tidak tahu siapa yang ingin hidup di pulau ini, jikalau ada mungkin satu orang, dan mungkin karena ia terdampar juga."

Dee tak merespons, beranjak menegakkan tubuh, sudah merasa rambutnya cukup bersih. Ia mengernyit ketika melihat sesuatu yang tampak kecil karena jauh dari mereka. Lalu, menyadari bahwa sesuatu itu adalah seseorang. Ah, bukan seseorang, melainkan dua orang.

"Cepat sekali mereka sudah memutari pulau ini," ujar Dee, membuat Sarah berhenti menggerakkan tangannya. Ia menegakkan tubuh dan berbalik menatap apa yang dilihat Dee. Kerutan menghiasi dahinya.

"Mereka ...." Sarah berbalik menatap arah yang sebelumnya dituju oleh Leo dan Baim, lalu kembali menatap dua sosok yang berjalan mendekat. "Mereka bukan Leo dan Baim."

"Mereka orang-orang yang dicari oleh Leo, tapi ... mereka justru datang sendiri." Sarah melanjutkan, dapat melihat bahwa dua orang itu laki-laki dan perempuan. Bukan sepasang laki-laki. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro