4: Di Dalam Hutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara ranting yang patah terdengar dari tempat sepatu Leo menapak. Kelima pasang kaki yang telanjang menyusul di belakangnya. Arthur memutuskan tidak memakai sepatu hingga sepatunya benar-benar kering.

"Aw!" Sarah meringis saat kakinya menginjak batu. Kini, ia berjalan dengan salah satu bagian memakai tumit. "Aku heran bagaimana kalian tetap bisa memakai sepatu."

Leo terus melangkah di depan, tak lupa sesekali menancapkan ranting yang cukup panjang. "Kau tidak tahu, ya, aku ini perenang handal?"

Sarah mencibir. Syifa yang berjalan di samping Sarah mengamati pohon-pohon di sekitar. "Bagaimana bisa, ya, ada banyak pohon yang tumbuh di sini? Berbagai macam pula, siapa yang menanamnya?"

Kening Leo berkerut, berpikir sembari tetap berjalan. "Kau pikir hutan hujan Amazon atau hutan-hutan di Kalimantan ditanam oleh manusia?"

Syifa mengendikkan bahu. "Yang pasti tidak mungkin semua pohon, tapi bisa jadi, 'kan? Entahlah, aku baru kepikiran tadi, secara hutan hujan memiliki banyak hewan. Tapi, di sini sepertinya tidak."

"Kau tahu penyebaran biji terdiri dari banyak cara?" Baim menimpali, "Zookori terbagi lagi jadi entomokori dan ornitokori, penyebaran oleh serangga dan burung, tidak hanya oleh mamalia. Di sini ada banyak burung. Bisa juga disebarkan lewat air atau bahkan angin. Tidak usah berpikir jauh-jauh."

"Bukankah seharusnya kau sudah belajar ini?" sindirnya, mengundang lirikan sinis dari Sarah.

"Oh, ayolah, itu pelajaran kelas ... berapa?" Syifa mengangkat kedua tangannya sejajar bahu sekilas. "Aku bahkan tidak bisa ingat."

"Ya, penjelasan yang bagus, Profesor ...." Leo berujar sembari menatap sebuah pohon yang janggal di barat daya. "Tapi ... penjelasanmu tidak mungkin relevan dengan pohon mangga, 'kan?"

Ia berhenti melangkah, membuat kelima orang di belakangnya ikut berhenti.

"Mangga?" ulang Syifa.

"Ya, tidak dengan pohon mangga." Baim merespons, menatap pohon yang dimaksud oleh Leo.

"Subhanallah, ada pohon mangga?" Syifa berseru.

Baim dan Leo beranjak mendekati pohon mangga yang terletak delapan meter di depan. Syifa mengikuti dengan berlari kecil.

Sarah bersitatap dengan Dee, lalu melirik Arthur yang tak mengucapkan apa pun. Mereka bertiga pun menyusul ketiga orang yang hampir sampai di pohon berakar tunggang itu.

"Apa maksudmu ... biji mangga terlalu besar untuk dibawa oleh burung atau serangga?" tanya Sarah.

"Iya." Leo menjawab. "Kalaupun bisa, agak aneh mangga yang berhasil dibawa kemari."

Baim, Leo, dan Syifa sudah sampai di depan pohon itu. Mereka mendongak menatap buah-buah berkulit hijau yang tergantung di batangnya.

"Wow, buahnya matang!" Syifa berujar antusias, menoleh pada Baim. "Apa kita boleh mengambilnya?"

Baim membalas tatapan Syifa, kemudian kembali mendongak menatap dedaunan pohon itu. "Jangan tanya aku, aku bukan pemiliknya."

"Ya, izinlah dulu pada pemiliknya." Leo menambahkan.

Syifa mengernyit. "Memangnya siapa pemiliknya?"

"Carilah sampai dapat." Leo menyeringai, kemudian mengambil ancang-ancang di depan pohon itu.

"Tidak ada pemiliknya, ambil saja kalau kau mau." Sarah menepuk bahu Syifa.

"Aku tidak yakin," gumam Baim, membuat Sarah yang mendengarnya menoleh.

"Apa kau ingin mengatakan hutan ini ada penghuninya?" tanya Sarah.

"Bisa jadi." Baim menjawab tanpa menatap Sarah, membuat gadis itu terdiam, memikirkan asumsi Baim.

Leo beranjak lompat menaiki bagian tengah batang pohon, kemudian memanjat hingga ke atas. Ia bergelayut di batang yang bercabang, merentangkan salah satu tangannya ke arah buah mangga.

"Hati-hati kalau kau tidak ingin mati!" Baim berseru. Sarah melirik laki-laki itu.

"Hei, tangkap!" Leo berseru bersamaan dengan satu buah mangga yang terjun bebas dari ketinggian empat meter.

Dee menjerit sembari melompat menjauhi titik target jatuhnya mangga, membuat buah itu menghantam tanah dengan keras.

"Jangan tiba-tiba begitu, Kak!" seru Dee.

Syifa datang mengambil mangga yang jatuh tersebut, mengamati sekeliling buahnya. "Ah, untunglah baik-baik saja."

Gadis berhijab itu menyingkir, beranjak ke samping Dee.

"Oke, kali ini tangkap, ya!" Leo memerintahkan dari atas sana.

Sarah bergegas mendekati area prediksi jatuhnya mangga, kemudian berhasil menangkap buah itu tepat pada waktunya.

"Shit, sakit juga. Astagfirullah." Ia mengibas-ngibaskan tangan seraya menyerahkan mangga itu kepada Syifa.

Mereka akhirnya berhasil mengumpulkan tiga mangga dan segera melanjutkan perjalanan mencari bahan makanan lain.

Kaki-kaki yang tak beralas terasa lebih gatal karena kini mereka melewati area rerumputan. Tak lama, mereka sampai di daerah rerumputan yang luas, pohon-pohon tidak begitu mendominasi, tetapi rumput-rumput liar yang tinggi.

"Hei, sekarang kita menemukan pohon jambu!" pekik Syifa, menunjuk pohon yang tidak begitu tinggi di tepi padang rumput.

Sarah melirik Baim, yang dibalas oleh laki-laki itu. Apa pulau ini benar-benar ada penghuninya? Berbagai macam buah ada di sini, gumam Sarah.

Leo, Syifa, dan Dee beranjak mengambil buah jambu. Sarah dan Baim memperhatikan sekitar, sementara Arthur duduk di atas batu dengan kotak persediaan di sampingnya.

"Apa kita akan makan di sini?" tanya Sarah. Baim hanya mengendikkan bahu, melipir untuk melihat sesuatu.

Sarah mendengkus dan menoleh pada Leo, Syifa, dan Dee. "Apa menurut kalian kita makan di sini saja?"

"Iya, aku sudah lapar!" celetuk Syifa.

Sarah mengangguk, ia pun juga lapar dan lelah berjalan. Ia belum istirahat dengan benar setelah siuman. Gadis berkulit kuning langsat cenderung putih itu berinisiatif mencari alas duduk untuk mereka, mengambil batang kayu dan batu yang cukup besar. Arthur pun memutuskan membantunya.

Leo, Syifa, dan Dee kemudian menghampiri Sarah dan Arthur di tengah lapang, menyerahkan hasil petikan mereka.

"Di mana Baim?" Leo bertanya. Sarah menggeleng-geleng, tidak tahu.

Laki-laki itu celingak-celinguk menatap sekitar. "Oi, Ibrahim! Gandhi Ibrahim!"

Sosok yang dicari akhirnya muncul dari belakang Leo. "Kabar baik ... atau aneh, aku menemukan keran."

"What?" Sarah melongo, bahkan Arthur pun mengernyit.

"Maksudmu? Kerannya tersambung ke mana?" tanya Leo, heran.

"Pipa." Mereka makin dibuat bingung. Baim melanjutkan, "Aku belum menelusuri pipa itu lebih jauh, mungkin saja dari tandon. Untuk sekarang, kita bisa memakai itu untuk mencuci buah yang kita temukan."

"Dan salat," sambung Syifa, mengundang atensi mereka semua. "Itu tetap wajib, 'kan?"

Sarah menipiskan bibir. "Benar juga, tapi ... lihatlah pakaianku."

Syifa menatap pakaian serba hitam Sarah, kemudian tersenyum tipis. "Aku rasa Om Ray punya kain untuk menutupi kepalamu. Tidak apa-apa kotor, daripada karena itu kita tidak melaksanakan ibadah."

"Yah, baiklah." Sarah mengangguk-ngangguk. Untungnya, ia memakai baju lengan panjang.

"Kalian tetap harus salat di keadaan seperti ini?" Leo bertanya.

"Tentu saja, memangnya kau tidak?" Syifa merespons, lalu terdiam ketika Leo hanya tersenyum tipis. "Eh, maaf."

Leo terkekeh. "Apa kalian tidak merasa itu merepotkan?"

"Wow, wow, wow, sejak kapan ini jadi tongkrongan tengah malam?" celetuk Baim, beranjak duduk di atas kayu samping Arthur.

Syifa dan Dee tertawa. Sarah terkekeh pelan.

"Ya, mungkin terlihat merepotkan, tetapi di keadaan seperti ini justru kita membutuhkan Dia Yang Maha Kuasa, 'kan?" tutur Syifa, "semuanya kembali lagi ke kita, kok."

Leo mengulum bibir sembari mengangguk-ngangguk.

"Oke, bagaimana kalau kita makan sekarang? Aku sudah lapar." Sarah mengakhiri pembahasan mereka yang cukup serius.

---------

Sarah mengamati langit yang berubah jingga, hutan tampak lebih gelap dari sebelumnya. Ia beralih menatap Leo yang baru saja selesai mengemas kembali makanan darurat dari sekoci. Isinya biskuit.

"Apa sebaiknya kita mencari kayu bakar untuk membuat api unggun di pantai?" usul Sarah.

"Iya, kita pasti membutuhkannya, juga daun-daun lebar untuk membuat kanopi agar kita tidak kehujanan." Leo merespons.

"Bagaimana cara kita menyalakan apinya? Memakai cara kuno yang lama itu?" celetuk Syifa yang tidur telentang di atas rerumputan. Mereka beristirahat cukup lama setelah selesai salat, mengistirahatkan kaki.

"Ada alkohol di kotak P3K, kuharap itu bisa membantu." Leo menanggapi.

Sarah menatap Arthur dan Dee. "Untuk sekarang, kita cari kayu bakar sebanyak-banyaknya, ya. Agar lebih cepat, mungkin kita bisa bagi bertiga-tiga, lalu berkumpul kembali ke sini, oke?"

"Oke," balas Dee.

"Hei, Baim ke mana lagi?" geram Leo, berkacak pinggang. Syifa bangkit berdiri.

"Begini saja, Syifa dan Leo, kalian berdua sekalian mencari Baim, biar aku bersama Dee dan Arthur." Sarah berucap.

Leo mengangguk setuju. Laki-laki itu pun pergi bersama Syifa menuju bagian kanan daerah rerumputan, di mana Baim tadi datang setelah menemukan keran.

Sarah meraih tangan Dee dan menariknya mengikuti Arthur yang berjalan menuju arah berlawanan dari arah Leo dan Syifa.

"Jangan jauh-jauh dariku." Sarah memperingati Dee. Perempuan itu mengangguk.

Sarah mulai memunguti ranting-ranting dan batang-batang pohon yang patah, kemudian memutuskan mengambil daun-daun kering juga.

Merasa tangan sudah penuh dan suasana makin gelap, Sarah menyudahi acaranya mencari kayu bakar, ia kembali berkumpul bersama Arthur dan Dee.

"Apa sudah cukup?" tanya Arthur.

"Ya, kurasa cukup," balas Sarah.

Mereka kembali ke tempat semula. Namun, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada kotak persediaan yang tergeletak di tengah padang.

Sarah bersitatap dengan Arthur, lalu memutuskan menghampiri daerah tempat Syifa, Leo, dan Baim mencari kayu bakar.

"Leo! Syifa!" panggil Sarah, "Baim!"

"Syifa!" Arthur ikut memanggil.

Tak ada jawaban. Sarah berdecak cemas.

"Leo!"

Kini, terdengar suara siulan. Sarah tertegun, menatap lurus ke arah siulan tadi terdengar.

"Aku yakin itu mereka, ayo ke sana." Arthur menuturkan, berjalan lebih dulu melewati Sarah dan Dee.

Kedua perempuan itu pun mengikuti Arthur. Sarah menatap pipa keran di samping jalan setapak, kemudian tatapannya naik menatap jalanan di depan. Mereka terus melangkah, hingga melewati tandon tempat pipa itu berakhir. Baim memang benar.

Kini, Sarah dapat melihat Syifa memberikan isyarat tangan agar mereka mendekat. Ia menatap sekitar, entah mengapa merasa ada yang berbeda.

"Kak." Dee bersuara, berniat menarik atensi Sarah yang lebih dulu melihat apa yang dia maksud.

Di bagian kiri jalan yang akan mereka lewati, pagar besi terpasang sejauh mata memandang. Kawat listrik melintang di bagian atas pagar itu. Sarah menelan saliva, tetapi tetap melangkah mengikuti Arthur.

Mereka bertiga sampai di dekat Syifa, Leo, dan Baim yang berdiri di depan papan peringatan pagar berlistrik.

"Pagar listrik ini sudah tidak berfungsi." Baim berujar, menyentuh kawat pagar yang berdebu itu, kemudian menatap pohon-pohon dan rumput di sekitar, merasa bagian hutan ini lebih bercahaya dari tempat mereka tadi makan. Apa yang terjadi di sini?

Sarah mendongak ketika sebuah hewan melintasi dedaunan di atas sana, terlihat tupai yang ... janggal. Otot dan tulangnya berbentuk sangat jelas, tampak menonjol, seperti binaragawan, hanya saja tupai.

"Bukankah tupai itu sangat besar?" celetuk Leo.

Sarah melempar pandang pada Baim yang tampak bergeming.

"Wow, apa aku tidak salah lihat? Tumbuhannya bercahaya." Syifa bersuara, menatap sekitar dengan wajah terkesima. Suasana yang semakin gelap membuat tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berpendar lebih jelas dari sebelumnya. "Aku harap aku bawa kameraku."

"Apa menurutmu aku harus memanjat?" tanya Leo pada Baim.

Baim terdiam menatap Leo, alih-alih menjawab, ia justru berucap, "Pulau ini pasti berpenghuni."

Bulu kuduk Sarah tiba-tiba meremang. Keringat dingin mulai membasahi tangannya.

Saat Leo bersiap nekat ingin memanjat, suara jeritan terdengar membelah udara.

Mereka berenam terkesiap, tumpukan kayu jatuh dari tangan Sarah dan Dee. Mereka semua bergerak saling merapat. Sarah menggenggam tangan adiknya.

Hening. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam. Namun, netra Sarah masih dapat menangkap sosok berbaju robek-robek dengan kulit pucat dan mata yang sepenuhnya putih berdiri lima belas meter dari mereka.

"Holy shit! Apa itu?" Harusnya, Sarah tidak menjerit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro