7: Cuaca Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kaki Leo yang dibalut sepatu putih menapak dengan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Tangannya terjulur menggenggam kerah belakang Baim, memaksa laki-laki itu agar terus berjalan ke depan, bahkan sesekali mendorongnya saat ia menggerutu.

"Setidaknya kita tahu bahwa mereka masih ada di siang hari, tidak tiba-tiba menghilang." Baim melontarkan.

"Aku berterima kasih atas informasi yang kau dapatkan, tapi diamlah!" desis Leo, kembali mendorong Baim dari belakang, membuat laki-laki dengan tinggi sepantar dengannya itu berdecak.

Arthur melangkah di belakang, membawa kotak berwarna cokelat di tangan. Sneakers hitam tampak membalut kakinya. Tanpa Baim ketahui, laki-laki yang paling tinggi di antara mereka itu ikut merutukinya dalam hati, ikut merasa kesal.

Harusnya, Leo sudah tahu bahwa Baim sebebal itu. Saat ia dan Arthur sibuk mengecek barang di kotak persediaan dan koper Arthur, Baim menghampiri pagar besi yang memang terletak tak jauh dari tempat mereka beristirahat kemarin. Saat Leo sadar, laki-laki itu bahkan kesulitan untuk menyuruhnya menjauh dari sana, hingga Baim sendiri melihat empat makhluk mengerikan kemarin berkumpul di belakang daerah pagar besi, dekat sebuah bangkai helikopter.

Untungnya, makhluk itu tidak menyadari keberadaan mereka. Walaupun Leo bisa melihat mereka sempat menoleh saat ia menarik Baim pergi dari sana. Sepertinya benar bahwa mereka tidak bisa melihat.

"Kemarin yang mengejar kita dari pagar besi itu hanya satu, lalu disusul satu lagi, padahal tadi kita melihat mereka ada banyak di sana, meskipun tidak benar-benar dekat dengan pagar besi, tapi harusnya mereka terusik dengan jeritan temannya." Baim mulai mengeluarkan teori. "Itu artinya, bisa jadi, di siang hari mereka hanya berkumpul di satu tempat dan di malam harinya mereka berkeliaran seperti membagi tugas. Makanya, tidak semua teman-teman makhluk yang mengejar kita mendengar jeritannya. Mungkin, siang hari bagi mereka adalah malam hari bagi kita."

Leo menghela napas, tetapi ia tetap mendengarkan, karena intuisi Baim seringkali benar, dan dijabarkan dengan baik. Ia mendongak ke atas, menatap pucuk-pucuk pohon yang disorot sinar matahari, kemudian kembali menatap ke depan. Sepertinya mereka sudah dekat.

"Aku bisa bilang—" Leo mendorong tubuh Baim hingga keluar dari area hutan, memotong perkataannya.

Baim menatap Leo yang memasang wajah datar dengan sengit, kemudian menegakkan tubuh dan memperbaiki posisi kerah kaos dan kemejanya yang tidak dikancing. Ia beranjak melangkah sejajar dengan Leo, kini tidak lagi merasakan tanah kering, melainkan pasir halus yang terasa lebih hangat.

"Aku bisa bilang, mereka bukan zombie, atau ... pokoknya, mereka bukan tipe yang menyerang satu sama lain." Baim melanjutkan ucapannya.

"Lalu?" Leo melirik Baim. "Kau ingin mengatakan mereka apa?"

Baim mengedikkan bahu. "Semacam zombie, tapi bukan zombie."

Leo mendengkus, lalu menoleh ke belakang, ke arah Arthur. "Menurutmu, mereka apa?"

Arthur menaikkan sebelah alis, kemudian menurunkannya kembali. "Aku setuju, semacam zombie, tapi bukan zombie."

Baim mengangguk. "Fair enough."

Tak lama, mereka dapat melihat dua sosok perempuan berada di bawah pepohonan tepi hutan, berlindung dari sinar matahari yang terik. Salah satu dari mereka duduk bersila, sedangkan salah satunya lagi berjongkok dengan sebilah pisau lipat di tangan.

"Kalian belum membuat apa-apa?" sambar Leo, menatap Sarah yang memegang belahan bambu, lalu melirik Dee yang datang membawa setumpuk kayu dan bambu.

"Belum membuat apa-apa?" Sarah mengulang tanpa menatap Leo, fokus membelah lagi belahan bambu itu hingga menjadi beberapa bagian kecil seperti sapu lidi dengan ujung yang masih menyatu. "Apa kau lupa kita tidak punya tali? Tentu saja kami tidak bisa membuat kanopi sebelum membuat tali terlebih dulu! Kau sebut ini bukan apa-apa?"

"Hey, calm down, Miss. Aku hanya bertanya perihal kanopinya." Leo membalas, tanpa sadar mengikis jarak antar alisnya. "Begini cara kau menyambutku yang baru datang?"

Sarah akhirnya menoleh ke arah Leo. "Dan itu pertanyaan pertama yang kau lontarkan ketika datang?"

"Oke, oke." Leo mengangkat kedua tangannya seperti seorang buronan yang menyerahkan diri, membuat Syifa tersenyum geli meliriknya. "Maaf."

"Ya, ya, maaf juga. Pisau yang kita miliki bukan pisau golok, kegiatan potong-memotong ini jadi lebih sulit." Sarah menyerahkan belahan bambu yang telah diirat seperti sapu lidi kepada Syifa, kemudian mengambil belahan bambu yang lain untuk melakukan hal yang sama.

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian baru datang? Kalian tersesat?" celetuk Syifa, tangannya yang tampak kemerahan sibuk menarik iratan-irata dari belahan bambu satu persatu hingga tersuwir.

"Ya, ada yang merusak perjanjian, dia menghabiskan waktu di sekitar pagar besi." Leo menyindir dengan mata fokus memperhatikan gerakan tangan Syifa yang kian menarik iratan bambu hingga menjadi lebih panjang dan elastis.

Sarah langsung mendongak dan menurunkan benda di tangannya, menatap Baim dengan wajah datar. Tampak seperti seorang pasangan yang bersiap ngambek karena tingkah laku pasangannya.

"Aku menemukan banyak hal menarik." Baim berujar tanpa dosa. "Banyak puing-puing bangunan di dalam daerah pagar itu dan makhluk kemarin berkumpul tak jauh dari sana. Lagi, ada bangkai helikopter!"

"Wah?" Syifa menatap Baim dengan kepala yang dimiringkan, tampak tak memedulikan laki-laki itu yang melanggar janji. "Helikopter?"

Baim mengangguk.

"Bukankah berarti seharusnya ada orang di sini? Atau jangan-jangan ...." Syifa tidak melanjutkan kalimatnya, beralih memejamkan mata dan menggeleng-geleng kuat. "Ah, jangan sampai."

Sarah memutar bola mata, menengadahkan tangan ke arah Dee yang telah menurunkan tumpukan kayu di tangannya, tampak tak peduli dengan ucapan Baim karena terlanjur kesal.

Dee menaruh pisau lipat kecil di atas telapak tangan Sarah yang terbuka, kemudian Sarah menyodorkan pisau itu ke arah Baim dan Leo. "Kalian sebaiknya membantu mengambil daun kelapa, kami hanya bisa mengambil empat."

Leo bersitatap dengan Baim, kemudian meraih pisau yang disodorkan oleh Sarah. Ia beranjak pergi menuju jejeran pohon kelapa, sementara Baim masih berdiri memperhatikan Sarah yang lanjut membelah bambu itu menjadi bagian-bagian kecil. "Aku tidak menyangka kalian mempunyai ide untuk menggunakan bambu."

"Kami tidak seremeh yang kau bayangkan." Sarah membalas.

Syifa mengangguk. "Sarah yang mengajariku cara membuatnya."

"Ya, sekarang pergi sana." Tanpa menatap Baim, Sarah mengusir laki-laki itu agar menyusul Leo.

Baim mendengkus, "Baiklah, tapi aku minta talinya untuk menjemur baju nanti." Ia pun beranjak menghampiri Leo yang tampak hendak memanjat.

Arthur menaruh kotak persediaan dan beranjak duduk di sebelah Syifa, salah fokus pada tangan gadis itu yang tampak memerah. Tak jarang, Syifa menggaruk lengan kanannya yang tertutupi lengan sweater.

"Gatal?" tanya Arthur.

Syifa menoleh, tercengir. "Awalnya kita ingin membuat tali dari tanaman ivy, tapi saat aku memegangnya, aku merasa gatal dan tumbuh ruam."

Arthur berdecak, meraih kotak P3K yang terletak di belakang Syifa sembari berujar, "Tanaman ivy itu beracun, dan racunnya bisa memberikan reaksi alergen dan ruam."

Laki-laki berkulit kuning langsat itu mengeluarkan minyak kayu putih, kemudian menyodorkannya pada Syifa. Gadis itu melirik botol hijau di tangan Arthur, kemudian melirik sang pemilik tangan. "Aku sudah memakainya, Om."

"Pakailah lagi." Arthur berujar. "Jangan digaruk."

Syifa tersenyum tipis, kemudian menuruti perintah Arthur.

Sarah melirik kedua insan itu, tak berkomentar apa pun. Ia memberikan belahan bambu terakhir pada Syifa, kemudian menoleh pada Dee yang duduk di dekatnya. "Ayo kita sambung talinya supaya panjang."

Angin berembus membuat debu di sekitar beterbangan. Dee merengut sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, tetapi terik matahari yang berangsur hilang tertutup awan membuatnya berujar lega, "Akhirnya."

Mereka pun mulai menyambung tali-tali yang telah dibuat dari bambu. Tak lama, Leo dan Baim kembali dengan setumpuk daun kelapa di tangan. Mereka semua bekerja di bawah sinar matahari yang mulai meredup.

Tali-tali yang telah disambung itu membentuk satu tali yang cukup panjang. Sarah memerintahkan Leo dan Arthur untuk mengikatnya dari pohon ke pohon yang berjarak 4 meter.

Setelah tali-tali itu terikat. Sarah menjauh dari area pembuatan kanopi dan memperhatikan letak tali, luas yang terbentuk adalah sekitar 4 × 2 meter. "Apa ini cukup untuk kita berenam?"

"Dicukupkan saja," respons Leo.

Sarah mengembuskan napas. "Baiklah, kurasa kita bisa istirahat lebih dulu, aku lapar."

"Ya, kita juga belum salat." Syifa menimpali, Sarah mengacungkan jempol.

Mereka pun beranjak mengambil kotak persediaan di bawah langit yang mulai kelabu.

-------------

Angin yang kencang menghentikan senandungan salah satu lagu The 1975 dari mulut Leo. Sarah beranjak berdiri di sebelah laki-laki yang sedang mengikat daun kelapa ke batang bambu itu.

Ia mendongak, sinar matahari kini tertutupi oleh gumpalan awan yang membuat suasana lebih gelap daripada seharusnya. Ia kemudian beralih menatap lautan yang menyumbang suara, gelombangnya lebih besar dari kemarin.

Leo menatap Sarah sembari mengikat kuat daun kelapa. "Kurasa, cuaca akan berubah buruk."

Ia menyingkirkan bagian kanopi itu dari pangkuannya, beralih menatap daun kelapa yang masih tergeletak di tanah. Kanopi mereka belum jadi dan mungkin masih membutuhkan waktu yang lama. Ini baru satu batang.

Leo beranjak berdiri, melirik Sarah. "Apa menurutmu kita harus kembali ke gua?"

Sarah menoleh, kemudian menatap ke belakang, melihat Syifa yang mengobrol dengan Dee. Ia membalas tatapan Leo. "Bagaimana menurutmu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro