PART 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Yang paling menyakitkan adalah bukan kesalahan orang lain kepada kita. Melainkan harapan kita yang terlalu tinggi pada seseorang ~


'
'
'

'
'

🌿🌿🌿🌿

Happy reading, jangan lupa vote biar author semangat buat nulis.

Tampak sepasang manusia tengah membereskan barang mereka yang berceceran di atas lantai kamar, selepas mereka ada acara di Bandung.

Perempuan dengan bibir merah merona menghampiri kekasihnya yang sudah menjadi suami perempuan lain.

"Mau sampai kapan kita seperti ini terus?" tanya Diana sambil termenung. Senyuman tak tampak di bibir merahnya.

Zein letih mendengar pertanyaan itu terus menerus. Di satu sisi ia tak mungkin melepaskan Diana, di sisi lain ada setitik cinta baru untuk seseorang.

"Sampai kontrak kita selesai," jawab Zein dengan suara yang berat.

Diana menjatuhkan badannya di kursi ruangan ini. Ia menghela napas beratnya sambil melepaskan beban yang teramat berat.

"Kenapa tidak sekarang saja."

Diana sangat putus asa, kedua netranya menatap laki-laki yang tengah meremas rambutnya. Wajahnya tampak penuh dengan penyesalan. Tidak hanya dirinya yang terluka, Zein juga merasakan apa yang ia rasakan.

"Aku tidak bisa memilih sekarang. Ini terlalu berat," ucap Zein merasa bersalah.

"Lebih baik memilih sekarang walaupun nantinya akan ada seseorang yang akan kecewa atas keputusanmu."

Zein menghampiri kekasihnya sambil mengusap kepala Diana.

"Akan aku pikirkan baik-baik. Aku juga tidak mau berada dalam situasi sulit seperti ini." Zein meyakinkan Diana agar ia menaruh kepercayaan kepada dirinya.

Diana bangkit dan mengambil beberapa barang miliknya dan bersiap-siap untuk pergi karena sudah larut malam.

Ketika Diana dan Zein keluar dari kamar tiba-tiba mereka berpapasan dengan perempuan yang sudah memakai baju tidur. Salah satu tangannya memegang gelas yang berisi segelas teh.

Tak sengaja kedua mata Diana bertemu dengan sepasang mata merah yang berkaca-kaca, ia lalu mempercepat langkahnya menuju pintu depan.

Sedangkan Zein sangat gugup karena kepergok keluar dari kamar bersama Diana. Tangan kanannya hendak meraih lengan Alya tetapi perempuan itu langsung buru-buru masuk dan mengunci kamar cepat-cepat.

"ALYA!" panggil Zein sambil mengetuk pintu kamar Alya dengan kencang.

Alya langsung menuju ranjangnya, melanjutkan tangisannya kembali.


🌿🌿🌿🌿


"Al, kenapa kamu tidak membangunkan aku!"

Zein berjalan menuju dapur sambil memakai dasi. Rambutnya masih acak-acakan karena belum sempat untuk menyisir.

Alya bergeming tak mengindahkan suaminya yang sudah bicara panjang lebar seperti biasanya. Merasa tak ditanggapi, Zein langsung menatap Alya yang masih menyelesaikan sarapannya.

"Al?" panggil Zein lirih.

Kedua mata Alya menatap laki-laki di depannya hanya beberapa detik saja selanjutnya ia menatap kembali sayur cap cay yang tinggal beberapa suap lagi.

Zein masih menatap perempuan di hadapannya yang tengah bersiap untuk pergi. Ia pun ikutan berdiri dan langsung mengambil kunci mobil. Entah mengapa ia tak selera dengan sarapan yang dihidangkan di atas meja.

"Al, biar aku antar ke kampus."

Alya menghentikan langkahnya, berbalik dan menatap sekilas wajah suaminya.

"Tak perlu. Nadia sudah menungguku di depan," jawab Alya lirih.

Perempuan itu melanjutkan langkahnya lagi menuju teras rumah.

"Tapi Al?" elak Zein yang masih merasa bersalah.

"Bukankah Mas yang menginginkan agar pernikahan kita tak diketahui orang lain? Untuk apa repot-repot  mengantar berangkat kuliah? Bukankah lebih baik seperti ini saja? Aku pergi bersama temanku dan Mas masih menjalin hubungan dengan Diana?" sindir Alya telak kepada Zein.

"Kamu jangan salah paham," ucap Zein sambil berlari ke depan Alya yang masih berdiri tetapi enggan menatap wajahnya.

"Tidak ada salah paham koh Mas. Aku sudah terbiasa seperti ini. Tolong jangan beri aku harapan lebih," pinta Alya sambil memelas.

Alya menggeser tubuhnya ke samping agar jalannya tak terhalang oleh Zein.

"Maksud kamu apa Al?" ucap laki-laki tak paham.

"Aku mau berangkat, kasihan Nadia sudah menunggu di depan." Alya memaksa untuk pergi tetapi lengannya masih di tahan oleh salah satu tangan Zein.

"Nanti aku jemput kamu di kampus. Kita akan mampir ke tempat Mamah yang lagi sakit," paksa Zein sambil melepaskan Alya pergi.

"Insyaallah," bisik Alya lirih sambil berjalan menuju sahabatnya.


🌿🌿🌿🌿


Zein semakin tak fokus dalam bekerja karena pertikaian tadi pagi. Beberapa lembar proposal yang ia kerjakan bersama Diana semalam saat mereka di kamar hanya tertumpuk rapi di meja kerjanya.

Seharusnya ia sudah mulai mengerjakannya mengingat survei kemarin di Bandung sudah dilakukan.

"PUK"

Sebuah kertas yang diremas berbentuk bulat tepat mengenai kepala Zein sehingga laki-laki itu terperanjat kaget. Kehadiran sahabatnya benar-benar membuyarkan lamunannya.

"Pagi-pagi sudah melamun saja!" teriak Aldi sambil menggeser kursi di depan meja Zein.

Zein hanya mencibir kelakuan sahabatnya.

"Bukankah kamu kemarin sudah puas berduaan dengan Diana di Bandung?" ejek Aldi kesal.

"Dasar jomlo! Kalau iri cari pacar. Jangan pergi berduaan terus sama Jacky. Lo homo ya?" tuduh Zein sehingga membuat Aldy melotot tajam.

"Aku normal, Zein."

Zein terkikik mendengar pernyataan sahabatnya.

"Zein, aku suka sama keponakan Bibi," ucap Aldy tak malu-malu.

"Keponakan Bibi yang mana?"

Zein penasaran dengan perempuan yang ditaksir sahabatnya. Ia tidak menyangka jika Aldy bisa suka sama seorang perempuan. Padahal sudah beberapa tahun ini, Zein tak melihat dekat dengan perempuan.

"Kita ketemu pas anterin lo ke rumah, saat kamu mabuk."

Zein berpikir siapa perempuan yang di maksud Aldy. Di rumah hanya ada Bibi dan ....

"Alya, " ucap Zein dalam hati.

"Kalau tidak salah namanya Alya," imbuh Aldy sambil mengingat kembali nama perempuan itu.

Wajah Zein meradang berubah menjadi merah. Tangannya terkepal mencengkeram pegangan kursi. Hatinya sangat cemburu karena sahabatnya telah terang-terangan menaksir istrinya sendiri. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Aldy tidak mengetahui hubungan mereka.

"Kita kemarin ketemu di ...."

"Tolong keluar, aku masih banyak urusan," ucap Zein memotong pembicaraan Aldi. Mendengarkan sahabatnya memuji Alya, hati Zein merasa sakit karena cemburu.

Aldy langsung bergegas pergi karena raut wajah Zein sudah berubah menjadi merah. Zein yang berniat untuk meneruskan kembali pekerjaannya tiba-tiba sudah tak bersemangat karena sahabatnya sudah mengusik pikirannya.

Zein menyambar kunci mobil dan bergegas pergi untuk menemui pujaan hatinya.


🌿🌿🌿🌿

Atas bantuan Nadia, Alya sudah berada di kampus sebelum Zein menjemput. Dengan senang hati Nadia memberikan waktu agar Alya pulang lebih cepat.

Sekarang Alya sudah berada di taman kampus, sama seperti saat seseorang di masa lalunya selalu rutin menjemput dirinya pulang. Lamunannya kembali pada laki-laki itu yang sudah pergi entah kemana.

"Al!" panggil Zein dari dalam mobil tetapi jendela mobil terbuka sehingga memudahkan laki-laki itu menarik perhatian perempuan yang asyik melamun.

Alya kaget karena ia sama sekali tidak mendengar mobil suaminya datang. Ia bergegas menuju mobil.

"Sudah lama menunggu?" tanya Zein basa-basi karena raut wajah perempuan itu masih sama seperti tadi pagi.

Alya hanya menggeleng lemah. Zein hanya bisa terdiam karena perempuan yang di samping enggan untuk bicara. Ia kemudian melajukan kembali mobilnya menuju rumah orang tuanya.

"Tolong berhenti di depan. Aku mau membeli buah dulu untuk Mamah," sahut Alya dengan pandangan masih tertuju ke depan.

Zein menepikan mobilnya tepat di depan toko yang berjualan buah-buahan. Alya berangsur turun tetapi suara laki-laki di samping menghentikan langkahnya.

"Al, pakai uang ini untuk beli buah-buahan."

Zein sudah menyodorkan beberapa lembar uang untuk diserahkan ke Alya.

"Uang yang diberikan kemarin masih ada," elak Alya menolak dengan halus.

"Yang kemarin untuk biaya kuliah kamu."

Alya mengangguk sambil menerima pemberian uang dari Zein.

Tak berlangsung lama, Alya kembali lagi masuk ke mobil dengan sekantung plastik penuh berisi buah-buahan.

"Al?" tanya Zein dengan lembut.

"Hemm," jawab Alya masih dengan raut wajahnya seperti tadi.

"Bisakah nanti kita bersandiwara di depan Mamah Papah? " pinta Zein  dengan sedikit takut karena ia khawatir orang tuanya mengetahui hubungan dirinya dengan Alya pada kenyataannya.

"Tanpa diminta aku sudah paham. Jangankan kepada orang tua Mas, kepada orang lain saja aku bisa bersandiwara," ucap Alya dengan getir.


🌿🌿🌿🌿

"Hari gini baru datang jenguk ke rumah," sindir Papah ke arah Mamah yang tengah duduk di ruang tamu.

Alya dan Zein mendekati mereka dan tak lupa mencium tangannya.

"Seperti tidak pernah muda saja, Pah," ejek Zein sambil merebahkan kepalanya di atas bahu Alya.

Sementara Alya yang mendapat perlakuan seperti itu sangat risih apalagi ini di depan mertuanya. Ia menegakkan badannya sehingga Zein terpaksa mengangkat kepalanya dari bahu Alya.

"Mamah sakit apa?" tanya Alya dengan lembut.

"Mamah itu sakit kesepian karena ingin menimang cucu," ucap Papah sambil melirik ke arah Mamah yang tengah merapatkan sweater karena angin dari luar masuk ke ruangan ini.

Alya gugup dan panik. Pertanyaannya malah menjadi bumerang bagi dirinya.

"Alya belum siap. Nanti kalau sudah selesai wisuda baru program anak," ucap Zein dengan asal.

Alhasil Alya tambah syok, kakinya menginjak kaki Zein dengan kencang sehingga laki-laki itu meringis kesakitan.

"Kelamaan nunggu wisuda," ucap Mamah pura-pura sedih.

Alya semakin terpojok. Semua mata memandang dirinya sehingga ia semakin salah tingkah.

"Bagaimana Al? Pengin lihat Mamah cepet sembuh kan?" sindir Papah sambil menahan senyumnya.

"Terserah Mas Zein saja," ucap Alya malu-malu. Ia bingung mau memberikan alasan apa yang masuk akal.

"Alhamdulillah," ucap Mamah dan Papah serentak.

Alya hanya memijit keningnya karena masalah ini membuat kepalanya sakit.

"Aku tunggu nanti malam," bisik Zein di dekat telinga Alya.

Alya spontan langsung mendelik ke arah suaminya yang terkikik pelan.

"Mamah pengin kalian berdua nginep di sini, semalam saja," pinta Mamah memelas.

"Sepertinya lain waktu karena tidak membawa baju ganti," tolak Alya pelan. Ia tidak ingin membuat mertuanya kecewa.

Benar saja tampak raut wajah kecewa di sana, Alya semakin tidak enak hati.

"Zein sudah menyiapkan kok Mah. Nanti malam kita menginap di sini."

Alya kembali syok. Berati nanti malam ia harus satu kamar dengan Zein. Jantung perempuan itu kembali berdegup kencang.

"Mamah istirahat dulu di kamar, nanti malam kita makan bersama," sahut Mamah sambil berdiri menuju kamar diikuti Papah yang berjalan di belakang.

"Aku ambil koper dulu di mobil. Al, jangan lupa nanti malam," goda Zein sambil tersenyum jahil.

Alya bergidik ngeri ikutan berdiri entah mau berjalan ke arah mana karena belum paham betul ruangan di rumah ini.

"Jangan lupa nanti malam selepas salat kita makan bareng sama Mamah," imbuh Zein dengan senang karena berhasil mengelabui pasangannya.

Alya bernapas lega, entah kenapa di otaknya sudah berpikiran lain apalagi ia tadi melihat kerlingan  nakal dari sudut mata Zein.


🌿🌿🌿🌿

Sekarang Alya terpaksa berdua di kamar berukuran besar. Pandangan Alya tertuju pada sebuah foto yang terletak di atas meja.
Lagi-lagi gambar perempuan itu. Dengan keberanian tinggi, frame foto sudah berada di tangan Alya. Mengamati setiap inci wajah perempuan yang membuat suaminya bertekuk lutut.

"Aku belum sempat membereskan kamar, jadi belum sempat membuang foto itu. Kalau kamu tidak suka, kami bisa membuangnya."

Suara datar milik Zein membuyarkan lamunan Alya.

"Tidak perlu," jawab Alya singkat sambil meletakkan kembali frame foto itu tetapi Alya sengaja menghadapkan benda tersebut ke bawah agar tak tampak wajah perempuan yang menjadi pihak ketiga dalam hubungan rumah tangganya.

"Kenapa?" tanya Zein berjalan mendekati istrinya bahkan posisi mereka sangat dekat. Kedua tangan Zein dengan berani memeluk Alya dari belakang.

Tidak ada penolakan dari Alya mendapat perlakuan seperti itu. Yang ada tubuhnya menegang dengan denyut yang sudah berdetak lebih cepat.

"Jika aku membuang foto itu tetapi sosok perempuan itu masih di hati Mas berarti percuma saja."

Alya menggigit bibirnya menahan kecewa, apalagi kedua mata sudah kembali berkaca-kaca.

"Apa kamu cemburu?" tanya Zein sambil melepaskan pelukannya, memutar tubuh Alya dan posisi mereka saling berhadapan.

"Katakan jika kamu cemburu, aku akan mengakhiri semuanya," bisik Zein lemah sambil memegang kedua bahu Alya.

Kedua mata Alya berangsur-angsur naik menatap manik mata hitam milik Zein. Menyusuri lewat sebuah mata untuk mendapatkan jawaban dari apa yang diucapkan Zein.

"Maksudnya?" tanya Alya penasaran.

Bukannya menjawab tetapi senyuman sudah tercetak di bibir Zein. Alya sangat kesal karena Zein tak membalas ucapannya. Ia melangkah menjauh karena tatapan Zein membuat denyut jantung Alya berdetak tidak normal.

"Aku akan mengakhiri karena kamu telah memenangkan hati ini," ucap Zein dalam hati dan senyum masih tersungging di bibir laki-laki itu.

"Al? panggilnya lirih.

Alya berbalik dan menatap wajah Zein yang sekarang sudah ada di mode seriusnya.

"Boleh aku bertanya?"

Alya mengernyitkan keningnya. Biasanya juga seorang Zein jika ingin menanyakan sesuatu tanpa izin terlebih dahulu. Apalagi ketika emosi, dia bisa berkata apa saja tanpa dapat menghentikan kata-katanya yang menusuk hati Alya.

"Apa?" tanya Alya dibuat penasaran setengah mati.

Zein menutup kedua matanya beberapa detik dan selanjutnya menatap wajah Alya dengan intens. Berjalan beberapa langkah agar bisa berhadapan langsung dengan perempuan yang sekarang sudah mengisi hatinya.

"Kapan kamu akan membuka kerudung di depan suami kamu?"

JLEB

Pertanyaan yang paling Alya takutkan selama ini. Setelah pernikahan, ia memang belum menampakkan sehelai rambutnya di depan Zein.

"A...apa aku harus melakukannya sekarang?" tanya Alya terbata-bata sambil ketakutan melihat sosok Zein yang terus mengamatinya dengan intens.

Zein mengangguk. Alya semakin ketakutan, kedua kakinya sedikit gemetar. Dengan memejamkan kedua matanya dan terus berdoa ia mulai menggerakkan tangannya ke arah dagu untuk membuka bros kecil yang mengapit sebuah kerudung.

Tangan Alya yang sudah dingin berhenti bergerak tatkala sepasang jemari lain bersentuhan dengan jarinya. Kedua mata Alya sedikit membuka karena Zein ikut membantu melepaskan kerudung tersebut.

Alya pasrah, ini memang sudah kewajibannya. Bros pengait sudah terlepas tetapi kerudung tersebut masih menutupi kepala Alya.

Tok...Tok....

Alya langsung berlari menuju pintu kamar dan membukanya. Kepala Bibi muncul dari arah luar.

"Mbak Alya dipanggil sama Nyonya," ucap Bibi dengan hati-hati karena sepasang sorot mata tajam sedang mengarah kepada perempuan paruh baya.

Alya bergegas keluar dan merapikan kembali kerudungnya. Sedangkan Zein di dalam kamar merasa sangat kecewa. Genggaman tangan terkepal erat karena keinginannya gagal sudah.


Maaf baru bisa up hari ini lagi sibuk mempersiapkan Senandung Hujan. Bantuin vote cover cerita Author di Instagram AE publishing yuk.


Secercah harapan juga sudah up di akun RomanceWP

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro