Imagination-Hikari_Mizuki

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Imagination-Shawn Mendes


"Devan, woi, bangun cepetan lo!"

"Dev, ini udah pagi menjelang siang, cepetan elah."

"Devan udah jam setengah lima ini Dev, Devan!"

"Devan cepetan atau gue tinggal lo!"

"DEVAN!"

'Oh there she goes again.

Every morning is the same.'

Bughhh ...

"Aw."

Aku terlonjak kaget akibat suara menggelegar itu. Huh, selalu seperti ini setiap pagi, tidak bisakah dia memakai cara yang lebih 'normal' sedikit? Setiap hari selalu diawali dengan diriku yang terjatuh dari tempat tidur akibat suara tetanggaku yang menggelagar itu.

Jujur saja, sakit pada seluruh tubuhku akibat terjatuh setiap harinya, serta mataku yang terasa berat untuk menatap hari ini, bahkan aura kelelahan masih berada disekitarku tak mengurunkan niatku untuk melakukan rutinitas yang selalu kulakukan bersamanya setiap pagi. Kuputuskan untuk beranjak dari kenyamanan yang diberikan oleh pulau kapukku itu dan berjalan kearah balkon sendari sesekali menguap akibat masih kekurangan waktu tidur semalam.

Tak sampai lima meter, kini aku sudah berada di balkon kamarku. Balkon yang berhadapan dengan balkon milik tetanggaku itu, ya dia. Segera kurentangkan kedua tanganku untuk mengurangi rasa kantukku ini meski diselingi beberapa kali menguap. Aku menatap balkon itu, tampak korden sudah disisihkan dan jendela sudah terbuka yang menandakan sang pemilik kamar sudah bangun.

Sial, gue ditinggal lagi!

Dengan cepat kualihkan pandanganku kepada jalanan yang yang cukup basah itu. Jalanan yang berada di depan rumahku yang masih lenggang tampak sesekali kendaraan bermotor.

Hufhh ...

Huahh ...

Kuhirup dalam - dalam udara pagi yang bercampur dengan petrichor - semalam hujan cukup lebat - hal itu kulakukan berulang kali sampai aku melihat seorang gadis tengah berjongkok. Kusipitkan mataku menyakinkan bahwa itu adalah dia. Ternyata memang dia. Dia tengah menali tali sepatunya yang sepertinya terlepas dan hendak melanjutkan kegiatan joggingnya.

'You walk on by my house.'

"Ran!"

'I wanna call out your name.'

Gadis itu segera bangkit dan menoleh kesegala arah, sesekali matanya menyipit saat dia mencari sumber suara. Hal itu membuat wajahnya yang dibingkai poni cukup tebal tampak semakin imut. Rambut panjangnya yang diikat seperti ekor kuda pun terayun. Bibirnya yang berwarna merah muda alami itu langsung membentuk garis lengkung begitu dia menyadari akulah yang memanggilnya.

"Kenapa Dev?" tanyanya setengah berteriak akibat jarak antara aku dan dia yang terbilang cukup jauh.

"Gue cuma mau bilang lo cantik banget yang bahkan hanya gue liat dari sini, tempat gue berdiri." Harusnya itu yang kuucapkan namun justru, "Tunggu, gue ikutan!"

'I wanna tell you how beautiful you are from where I'm standing.'

"Ah, lama lo," keluhnya sambil berkacak pinggang. Matanya yang teduh itu menatapku kesal.

Aku menggaruk tenggukku. "Yah, sorry kali Ran, kan gue gak sengaja, lupa."

"Kan udah gue bilang kemarin 'besok jangan telat lagi, kita ubah rute, besok ke pantai deket rumah ya Dev.' Terus lo jawab 'hmm.' Sekarang apa alibi lo?" ketusnya namun kini dia mengalihkan pandangannya dariku. Seakan ia enggan memandang wajahku.

"Gue kan kemarin abis buat tugas dari guru Bio yang mejiblun itu, lo lupa? Serius gue gak sengaja Ran," ujarku kembali berusaha meyakinkannya.

Dia kembali menatap wajahku, m pancaran kekesalan begitu nampak jelas dalam raut wajahnya. "Ngeles aja lo, gak sengaja mah enggak setiap hari juga kali Dev."

Aku melangkah mendekatinya, menarik ujung bajunya beberapa kali, merajuk. "Ayolah Ran, masa tega lo sama gue, please," pintaku sambil memberengut.

"Hah, selalu. Okay deh, jangan diulangi lagi yah." Dia menatap kearah ujung bajunya yang masih kutarik hingga saat ini, "Gaya ngambek lo gak berubah, masih kek bocah," ujarnya kemudian berjinjit dan mengacak - acak rambutku.

"Tapi gue suka," tambahnya mantap, tak lama iya segera berlari mendahuluiku.

Aku tertegun. Hanya dengan kalimat sesederhana itu dari dia bisa membuatku membayangkan ke depannya kita akan gimana, seperti apa, dan bisa menjadi apa kita nantinya.

Aku tersadar akan lamunanku dan segera mengejarnya. "Eh, Ran jangan lari lo! Kirana! Awas lo!"

'You've got me thinking what we could be, cause.'

***

'We walk, we laugh, we spend our time walking by the ocean side.'

Hembusan angin yang berpadu dengan bau asin yang cukup menyengat itu langsung menyambut kedatangan kami. Sang surya tampak malu menampakkan dirinya, namun warna jingga kemerahan sudah mulai menguasai angkasa. Hanya ada beberapa orang sejauh mata memandang.

Langkah kaki kami yang tercetak nyata di pesisir pantai secara perlahan mulai terkikis oleh deburan ombak. Hembusan angin tadi membuat poni yang cukup tebal itu berterbangan.

"Pfft."

Tanpa sadar aku menahan tawa melihat Ran yang sendari tadi terus merapikan poninya yang berterbangan itu.

Dia mendelik kesal sambil terus berjalan. "Kenapa lo hah? Kalo mau ketawa mah ketawa aja," ketusnya sendari terus menerus menahan hembusan angin yang cukup membuatnya kesal.

Aku menghentikan langkahku, dan terus menatapnya. Mungkin karena merasa diperhatikan, dia pun menghentikan langkahnya. "Udahlah, lepasin aja, mau lo pertahanin kayak gimana juga tetap gak akan bisa, percuma, karena elo udah tau lo gak mungkin bisa melawan hal itu," ujarku sembari melanjutkan langkahku dan mendekat kearahnya.

Dia terlihat bingung akan apa yang kuucap. Aku kembali menghentikan lamgkahku saat berada tepat dihadapannya. "Udah, gak usah dipegangin mulu dah, padahal bagusan kalo sekalian aja rambut lo diurai aja," tambahku kemudian menarik karet yang digunakannya untuk menguncir rambutnya.

Dia terdiam kemudian tertawa. "Anjir modusan lo gagal, gak mempan. Aduh, udah ah Dev, ngapain dilepasin, kan niatnya mau jogging. Panas tau." Segera dia berusaha untuk mengambil karet rambutnya sambil sesekali berjinjit bahkan melompat. Hal tersebut karena tinggi gadis itu hanya sepundakku.

"Ada syarat."

Kulihat dia memajukan bibirnya beberapa senti, bahkan tubuhnya yang tadinya tegap secara perlahan merosot. "Jangan aneh - aneh. Gue gak mau lo suruh gue buat goyang sambalado disini," pintanya memelas sambil menggelengkan wajahnya dengan tampang innocent-nya.

"Hahahaha, anjir inget aja lo, itukan udah lewat, udah hampir setahun kalo gak salah. Bener gak ya," ujarku sambil mengetuk daguku beberapa kali.

Dia mengulurkan tangannya dan mengusap dahiku. Aku memandangnya dengan pertanyaan 'kenapa?'

"Lo kalo mikir samper berkerut gitu muka lo, awas cepet tua." Kemudian dia memandang ke arah laut, "Gue gak mungkin lupa semua itu, karena kenangan antara kita bagi gue terlalu berharga untuk dilupakan."

Deg.

"Ya udah deh syaratnya cukup kita gandengan selama di pantai ini. Simple kan?" ujarku berusaha biasa, mencoba untuk menenangkan denyutam jantung yang bekerja lebih cepat akibat ucapnnya.

'Our hands are gently intertwined.

A feeling I just can't describe.'

Segera kutautkan jemari jemarinya dengan jemariku, tangannya terasa sangat lembut ketika bersentuhan. Setelahnya kami melanjutkan langkah kami yang sempat terhenti. Senyuman tanpa sadar tersungging saat aku melihat tangan kami bergandengan, ini nyata.

Senang, bahagia, terpukau, dan segala rasa yang menggelegar dalam perasaanku. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan, entah segalanya mengalir dan banyak kata ingin kusampaikan namun tak ada satu kata pun yang berhasil keluar dari bibirku.

'All this time we spend alone.

Thinking we could not belong to something so beautiful.

So beautiful.'

***

Waktu yang kami habiskan hari ini terasa sangat berharga, sesuatu yang tak pernah terbayang akan seperti ini, begitu indah. Bahkan dalam angan terindahku sekali pun.

Begitu indah, bahkan hanya untuk sekadar dikenang.

'I keep craving, craving.

You don't know it but it's true.

Can't get my mouth to say the words I wanna say to you.'

Aku selalu mengharapkan Ran selalu mengisi setiap waktuku dengan kenangan - kenangan manis kami berdua. Mungkin hal kecil seperti ini yang selalu kuharapkan tercipta diantara kami. Mungkin Ran tak tahu tapi sungguh, di dekatnya membuatku tak bisa membuka mulut untuk sekedar mengungkapkan kata.

'This is typical of love.

Can't wait any more, won't wait.'

Melihat senyumnya, menatap matanya, merasakan dia selalu ada bersamaku selama ini membuatku merasakan sesuatu yang tak biasa, bahkan menakjubkan. Mungkin, ini ciri bahwa aku memiliki sesuatu yang hanya pada Ran kubisa berikan, cinta.

Perasaan menggebu yang secara nyata membuat kerja jantung lebih cepat memacu darah. Matanya yang teduh seakan menghipnotisku untuk tak berpaling darinya. Segala sesuatu pada dirinya membuatku tak bisa menahan perasaan ini seorang diri.

'I need to tell you how I feel when I see us together forever.'

Aku harus segera menyampaikan apa yang kurasakan saat kita bersama, seperti saat ini. Kuharap ini akan berlangsung selamanya.

***

'In my dreams you're with me.

We'll be everything I want us to be.'

Ran sesekali melirik ke arahku. Hal itu membuatku semakin gelisah. Apalagi tangan kami yang masih bertautan.

"Dev, mungkin gak kita terus seperti ini, sampai nanti?" tanyanya tiba - tiba.

Aku menoleh ke arahnya. "Dalam setiap mimpiku pun kita selalu bersama Ran, dan kita bisa jadi apapun yang kumau disana. Bukankah kau juga seperti itu? Lantas mengapa kau bertanya seperti itu," tanyaku balik.

'And from there, who knows?

Maybe this will be the night that we kiss for the first time.'

Ya, di dalam setiap mimpiku pun dia selalu ada. Bersamaku, disisiku, kita habiskan waktu bersama. Mungkin dari hal itu kita bisa memulai sesuatu yang lebih dari ini, pertemanan? Siapa tau kan?

Kita bisa menatap indahnya langit yang dihiasi cahaya bintang - bintang serta pantulan cahaya sang rembulan. Malam itu mungkin akan menjadi malam untuk ciuman pertama kita.

'Or is that just me ...'

Seketika Ran melepaskan genggaman tangan kami dan menubruk tubuhku, memelukku. Aku yang bingung karena perilakunya hanya bisa membalas pelukannya sendari beberapa kali mengelus rambutnya yang terurai akibat ulahku tadi. Beberapa helaian rambutnya itu berterbanfan akibat hembusan angin namun dia sepertinya tak masalah, justru aku terkekeh pelan melihat hal itu.

"Ya, tetapi tak mungkin kau tak mencari kekasih kan? Kita ini sudah mulai dewasa, aku hanya tak ingin kehilangan waktu yamg kuhabiskan bersamamu, contohnya seperti saat ini. Karena semalam Juna memintaku untuk menjadi kekasihnya," jelasnya.

' ... and my imagination.'

Pst, sakit.

Tanpa sadar aku berhenti mengelus rambutnya bahkan aku mendorong bahunya, memintanya melepaskan pelukannya. Kutatap mata teduhnya namun mematikan, namun kini efek mematikan yang diberikan berbeda, benar - benar mematikan. Sakit, rasa itu langsung melingkupi perasaanku saat melihat matanya yang memberikan penjelasan bahwa ia tak berbohong.

"Kenapa Dev?" tanyanya cemas.

Biasanya aku akan tersenyum bahagia mendengar nada tanyanya yang cemas namun segalanya kini terasa berbeda.

Aku mencoba untuk tersenyum sebaik mungkin yang memperlihatkan aku baik - baik saja namun kini aku tak sanggup menatap matanya, kualihkan pandanganku dari dirimya.Aku harus berterima kasih kepada Tuhan karena keberuntungan berpihak kepadaku, dia menjawab dengan anggukan sembari tersenyum. Kembali dia menautkan jari - jari kami untuk segera melanjutkan langkah kami.

"Yuk lanjut, udah mau siang nih!" serunya sambil menarik tanganku mengikuti langkah kakinya.

Aku melihat tangannya yang dengan erat menggenggam tanganku. Senyum nanar tercipta dibibirku, dan rasa sesak melingkupi perasaanku.

Mungkin aku dan dia hanya ada dalam imajinasiku.

Devan dan Kirana, hanya ada dalam harapanku semata. Hanya ada aku dan imajinasiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro