Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SETELAH beberapa tahun lesu karena pandemi, pelan tapi pasti, bisnis perhotelan yang mati suri mulai semarak dan hidup lagi. Persentase keterisian kamar hotel mulai melonjak setelah pertemuan dan konferensi-konferensi yang haram dihelat ketika Covid-19 menggila kembali dihalalkan pemerintah.

Sebagai orang yang bekerja di salah satu hotel terbesar di Surabaya, aku sangat merasakan betapa masifnya pandemi merusak bisnis perhotelan. Tingkat hunian menurun tajam sehingga manajemen hotel terpaksa mengambil kebijakan untuk merumahkan banyak pegawai. Pendapatan hotel tidak bisa menutupi biaya operasional kalau tetap mempertahankan semua pegawai.

Syukurlah keadaan sudah membaik lebih dari setahun terakhir. Tingkat hunian sudah mencapai 90 persen, bahkan sampai 100 persen saat akhir pekan. Perbaikan kondisi hotel ditandai dengan kesibukanku yang semakin meningkat sebagai manajer HR. Setelah melepas banyak pegawai saat pandemi sedang parah-parahnya, kami kembali harus merekrut pegawai baru dan melakukan training bagi mereka. Bisnis hotel adalah bisnis jasa yang menuntut kesempurnaan pelayanan. Apalagi hotel tempatku bekerja adalah hotel bintang lima. Tamu-tamu yang sudah membayar mahal pastilah mengharapkan pelayanan yang setimpal dengan rupiah yang sudah mereka keluarkan. Karena itu, standar kualitas pelatihan harus sangat diperhatikan untuk menghindari komplain dari tamu yang tidak puas dengan pelayanan yang diterimanya.

"Misha!"

Teriakan itu menyurutkan langkahku. Ketika berbalik, aku melihat Ribka melangkah lebar menghampiriku. Dia adalah sahabatku selama lima tahun terakhir. Dulu kami sekelas saat masih SMP. Setelah tamat, dia ikut orangtuanya pindah ke Surabaya. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi. Komunikasi kami benar-benar terputus.

Kami bertemu kembali tidak lama setelah aku pindah ke Surabaya. Saat tahu aku sedang mencari pekerjaan, dia meminta aku memberikan CV-ku padanya. Dan sim salabim, seminggu kemudian aku sudah bekerja di hotel yang ternyata adalah milik orangtuanya.

Aku memang masuk bekerja menggunakan jalur koneksi, tetapi mencapai tahap yang sekarang karena terbukti mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Aku punya rekam jejak yang sangat bagus ketika berhubungan dengan pekerjaan. Ketika dulu memutuskan resign dari pekerjaan lama karena harus pindah ke Surabaya, bosku berusaha menahan dengan iming-iming kenaikan gaji dan peluang promosi. Sayangnya kesempatan itu harus aku tolak karena waktunya sangat tidak tepat. Ketika itu, tinggal di Jakarta bukan pilihan.

"Ada janji sama orang?" tanyaku setelah Ribka berada di sisiku.

Dia tidak bekerja di sini. Kedatangannya ke hotel ini biasanya hanya untuk bertemu aku, atau ada janji dengan orang lain. Karena hari ini kami tidak punya rencana untuk bertemu, berarti dia datang karena alasan kedua.

Sebagai salah seorang anak crazy rich Surabayan yang punya bisnis menggurita, Ribka bebas memilih pekerjaan yang disukainya karena dia tidak perlu memikirkan soal uang. Dia merdeka mengejar passion. Dan pilihannya jatuh pada melukis.

Ribka termasuk salah seorang pelukis muda yang punya nama di Indonesia. Dia sekolah seni lukis di Italia dan memulai karir di sana sehingga langkahnya di tanah air memang lebih mudah. Sudah menjadi rahasia umum jika pencapaian kita di negeri sendiri akan dianggap cemerlang setelah kita lebih dulu sukses di negara lain.

Bekerja sebagai seniman yang tidak terikat tempat dan jam kerja membuat Ribka bebas menentukan mau tinggal di mana. Dia memilih Surabaya sebagai rumah, tapi paling tidak sekali setahun, dia akan ke Eropa untuk menggelar pameran lukisan, baik pameran tunggal ataupun kolaborasi dengan teman-teman pelukis atau perupa lain dari sana.

Di Indonesia, dia baru dua kali menggelar pameran tunggal yang sangat sukses. Harga lukisannya membuatku menganga bodoh. Mungkin karena aku tidak terlalu paham tentang lukisan, jadi rasanya takjub saja ketika tahu ada orang yang mau membayar puluhan bahkan ratusan juta untuk tumpahan cat di atas kanvas. Di mataku, lukisan-lukisan Ribka yang dipamerkan dan dijual dengan harga tidak masuk akal lebih mirip coretan tidak jelas. Manusia, hewan, atau benda apa pun yang dilukisnya tidak pernah terbentuk sempurna, seolah dia tidak tahu cara melukisnya dengan benar. Semua yang tertuang di kanvas ketika dia serius mengerjakannya akan tampak seperti metafora. Padahal, kalau dia mau, dia bisa melukis dengan "normal". Dia pernah melukis Ara sebagai hadiah ulang tahun Ara yang ke-4, dan hasilnya menakjubkan. Semua detail wajah Ara tergambar jelas dan sempurna. Tapi Ribka tampaknya tidak tertarik untuk melukis normal. Dia lebih menyukai orang awam yang melihat lukisannya bertanya-tanya apa arti goresan kuasnya. Atau malah mempertanyakan kemampuannya melukis. Karena sepertinya, hanya seorang ahli yang bisa menangkap dengan jelas apa yang tersembunyi di balik lukisan Ribka yang abstrak.

"Aku mau ketemu sama Jazlan." Ribka menggandeng tanganku, mengarahkan langkahku ke restoran hotel.

"Waduh, kamu telat. Tadi dia keluar. Kira-kira sejam yang lalu." Jazlan adalah sepupu Ribka yang menjadi general manajer di hotel ini. Bosku.

"Aku tahu. Tadi dia ngabarin kalau mau keluar, tapi aku udah telanjur di jalan. Nggak apa-apa, aku tunggu saja, sekalian sarapan. Lagian, katanya dia nggak lama kok. Cuma mau ngantar arsitek yang mau ngerjain tower baru lihat lokasi."

Aku mengetahui rencana pembangunan gedung baru hotel saat rapat beberapa bulan lalu. Aku hanya tidak mengikuti perkembangannya, karena job description-ku tidak dibutuhkan di sana. Aku baru akan ikut ambil bagian setelah proses pembangunannya selesai, karena penambahan sekitar 300 kamar baru pasti akan membutuhkan tambahan pegawai. Walaupun tak terlibat proses pembangunan gedung baru, aku tahu kegiatan itu terus berjalan. Pemenang lelang yang akan mengerjakan hotel baru itu sudah diumumkan. Mungkin orang-orang itulah yang sekarang ditemui Jazlan.

"Kalau cuman lihat lokasi, memang nggak lama sih." Gedung baru itu akan didirikan persis di belakang bangunan hotel yang sekarang. Jazlan berhasil membebaskan tanah di sana.

Sambil menunggu Jazlan, aku menemani Ribka makan. Dia memulai dengan semangkuk kecil soto, lalu mengambil nasi goreng dengan dua telur mata sapi, sepotong ayam, ditambah capcay dan mi goreng. Hebat, dobel karbo saat sarapan. Isi piringnya menggunung. Dengan porsi seperti itu, rasanya ajaib karena bentuk tubuhnya mirip model catwalk. Perbedaannya hanya pada ukuran dada saja. Dada Ribka berisi sehingga dengan modal kaus pas badan dan celana jin ketat aja dia sudah tampak seksi.

"Kamu udah berapa hari nggak makan sih?"

Ribka terkekeh, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Aku ngebut dua hari ngerjain lukisan, jadi hanya minum kopi aja. Beneran lagi mood banget. Kalau nggak mau ketemu Jazlan untuk ngomongin pameran yang mau digelar di sini bulan depan, aku belum akan keluar studio. Galeriku belum kelar renov-nya, padahal aku udah janji sama teman-temanku untuk nyiapin tempat. Ini proyek bareng yang udah lama kami rencanain. Mereka baru pertama kali pameran di sini, jadi servisnya harus bagus, biar nggak kapok." Ribka menunjuk cangkir tehku. "Kamu nggak makan sesuatu, kue atau buah gitu?"

Aku menggeleng. "Tadi udah sarapan sisa nasi goreng Ara." Aku tidak suka makan banyak saat sarapan karena aku cenderung mengantuk saat saluran pencernaanku bekerja keras di pagi hari.

"Ngabisin sisa makanan anak itu termasuk dalam efisiensi atau bentuk cinta sama anak?"

"Dua-duanya. Sayang kan kalau buang makanan. Tapi aku nggak akan makan sisa makanan orang lain hanya karena asas mubazir sih. Kalau sisa anak sendiri kan nggak mungkin jijik, Ka."

"Kamu tuh sama persis sama mamaku. Semua sisa makanan orang di rumah dihabisin sama dia. Makananku, Abizar, dan Papa. Bedanya, mama makan sambil ngomel karena kami nyisain makanan, sedangkankan kamu ikhlas-ikhlas aja ngabisin sisa Ara. Mamaku percaya banget kalau rezeki yang keluarga kami dapat adalah karena piring bekas makan kami selalu bersih."

Aku tersenyum saat melihat ekspresi lucu Ribka yang menertawakan ibunya.

Ribka telah menandaskan cuci mulutnya yang berupa tiga potong kue dan sepiring buah ketika Jazlan yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul.

Jazlan menempati salah satu dari dua kursi kosong yang ada di meja kami. Matanya melebar melihat tumpukan piring di sisi meja yang belum sempat diangkat pegawai restoran. Karena kami tidak terhitung sebagai tamu, pegawai restoran tampaknya enggan menginterupsi percakapan dengan menawarkan diri untuk membersihkan meja.

"Kamu kesurupan jin lapar atau gimana?" tanya Jazlan. "Lambung kamu beneran elastis karena bisa menampung semua isi piring itu."

Ribka tidak tersinggung dengan ejekan sepupunya. Dengan santai dia mengusap perut. "Akhirnya aku kenyang."

Aku mengangkat jari, memberi isyarat pada pegawai restoran yang bersiaga tidak jauh dari meja kami untuk mendekat dan mengangkat tumpukan piring Ribka.

"Kenyang sih kenyang, tapi kelihatannya nggak elegan banget. Cantik-cantik, tapi makannya porsi raksasa. Di tempat umum lagi."

"Imej nggak terlalu penting kalau lagi lapar, Jaz. Lagian, aku nggak lagi makan di depan gebetan sehingga harus slay."

Aku mengawasi perdebatan itu sambil tersenyum. Komunikasi Ribka dan Jazlan memang seperti itu. Mereka menikmati saling mengejek.

Aku lalu menghabiskan isi cangkir. "Aku balik ke kantor ya," kataku pada Ribka. Tugasku menemaninya sudah selesai karena Jazlan sudah di sini. "Bahaya kalau ketahuan bos aku nongkrong di jam kerja," gurauku.

Hubunganku dengan Jazlan lumayan dekat karena dia adalah sepupu Ribka. Jadi walaupun hubungan kami di kantor sifatnya vertikal, komunikasi kami tidak terlalu formal. Tapi tentu saja aku tetap tahu batas dan bisa menempatkan diri.

Ribka berdecak. "Bos besar kamu ada di sini. Anggap aja kalian sedang meeting untuk mempersiapkan pameranku bulan depan."

"Aku kan nggak nggak ngurusin soal itu, Ka."

Jazlan mengibaskan tangan. "Aku kan udah bilang kalau ruang untuk pameran udah aku urus. Kamu nggak perlu datang ke sini hanya untuk meyakinkan itu. Aku udah bilang sama Mila supaya ngosongin salah satu ballroom selama seminggu untuk acara kamu."

"Mungkin aja kamu lupa, Jaz. Dipesenin lewat telepon kan beda sama ketemu langsung kayak gini. Kesannya lebih resmi."

"Nggak mungkinlah aku lupa sama titah anak pemilik hotel," gerutu Jazlan. "Gimanapun, aku kan pegawai papamu. Kalau sampai lupa, aku bisa kehilangan pekerjaan."

Ribka mendengus. "Lebay!"

Jazlan tertawa. "Kamu tuh yang lebay, urusan yang gampang dibikin ribet. Gara-gara omelan kamu, aku harus ninggalin arsitek yang mau ngerjain hotel di lokasi."

"Ketemu dia kan bisa kapan-kapan, Jaz. Ketemu aku yang sulit. Aku nggak pegang HP kalau lagi di studio."

"Arsiteknya dari Jakarta, Ka, bukan dari sini. Kalau dari sini memang gampang karena bisa ketemu kapan aja."

"Aku beneran harus balik ke ruanganku." Ngobrol dengan Ribka tidak akan selesai dalam waktu singkat kalau dilayani. Tidak masalah seandainya kami melakukannya di akhir pekan. Tapi sekarang adalah hari kerja, dan aku digaji untuk produktif.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana Udah tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro