Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TELEPON aku kalau kalian sudah sampai di rumah, dan nggak ada Ara di dekatmu.

Aku mengirimkan pesan itu ketika Ribka sudah berada di mobil, dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Sejak tadi kami terus-menerus berbalas pesan saat dia dan Ara berada di kafe. Aku tidak menelepon karena Ribka mengatakan bahwa mereka duduk semeja dengan Khalid yang sedang menunggu koleganya. Katanya dia tidak bisa menolak ajakan Khalid karena Ara langsung mengekori Khalid saat mendengar laki-laki itu mengucapkan kata "es krim dan brownies".

Aku lalu menghabiskan sisa waktu di kantor nyaris tanpa mengerjakan apa pun. Sulit berkonsentrasi saat mengetahui bahwa Khalid dan Ara akhirnya bertemu untuk pertama kalinya. Mereka memang tidak tahu bahwa mereka terhubung oleh ikatan darah, tapi aku tetap senewen. Khalid dan Ara tidak sekadar berpapasan, tapi juga menghabiskan waktu bersama nyaris setengah jam!

Ribka baru meneleponku saat aku sudah bersiap pulang.

"Sori, aku ikut ketiduran saat membujuk Ara tidur siang," katanya tanpa dosa. Tapi dia memang tidak terlibat dalam masalah antara aku dan Khalid, jadi dia tidak merasakan kekhawatiran yang menggerogotiku. "Ara malah bangun duluan. Sekarang dia di dapur, diajakin Mama makan kue. Mama senang banget dapat mainan baru tuh. Dia udah malas nanyain kapan aku nentuin pilihan dan nggak hanya window shopping cowok-cowok ganteng aja."

Aku mengabaikan kalimat terakhir Ribka. "Khalid nggak tanya siapa Ara?" Khalid tahu Ribka masih lajang. Kalau dia curiga melihat garis wajah Ara yang mirip dengannya, Khalid pasti bertanya.

"Tentu aja dia tanya. Aku bilang Ara ponakanku. Tenang aja, dia nggak akan curiga. Khalid baru curiga kalau lihat Ara sama kamu. Eh, tapi, Sha, Ara dan Khalid beneran mirip deh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga gesturnya. Tadi aku perhatiin itu saat mereka ngobrol. Ternyata kata-kata orang kalau anak perempuan itu lebih mirip ayahnya benar juga ya?"

Aku tahu kalau Ara dan Khalid mirip. Kalau Ara mengikuti garis wajahku, aku tidak akan terlalu khawatir dengan pertemuan mereka tadi.

"Apa yang mereka obrolin?" tanyaku semakin waswas.

"Aku nggak terlalu ngikutin obrolan mereka karena fokus membalas pesan-pesan kamu yang lancarnya kayak banjir bandang."

"Kamu nggak usah ngantar Ara pulang, biar aku yang jemput."

"Oke." Ribka langsung setuju.

Ara langsung berteriak kegirangan begitu melihatku masuk ruang tengah rumaah Ribka. Dia sedang duduk di pangkuan ibu Ribka. Anak secerewet Ara memang gampang disukai orang tua, terutama yang sudah kebelet punya cucu seperti ibu Ribka.

"Mommy, aku dikasih kue sama Tante Eyang!" Tante Eyang adalah panggilan Ara untuk ibu Ribka. Ara menunjuk stoples di atas meja. "Kata Tante Eyang, kuenya boleh aku bawa pulang. Iya kan, Tante Eyang?" Dia menoleh mencari dukungan pada ibu Ribka.

"Iya, Sayang." Ibu Ribka mengusap kepala Ara. "Kalau Ara sering main ke sini, Tante Eyang akan bikinin kue yang enak-enak untuk Ara."

"Wah, asyik. Kue cokelat ya, Tante Eyang?"

"Kue apa pun yang Ara mau, Sayang."

"Tapi Mommy bilang aku nggak boleh terlalu banyak makan yang manis-manis sih." Ara merengut curhat. "Katanya nanti gigiku rusak. Padahal kan aku rajin gosok gigi." Ara membuka mulut dan menunjukkan giginya yang putih dan rapi. "Gigiku nggak ada yang rusak, kan? Terrence tuh yang giginya rusak. Dia ompong di depan, jadi nggak bisa gigitin apel. Dia pasti malas gosok gigi."

"Ara, kita pulang ya, Sayang." Aku memotong percakapan mereka. "Udah sore banget. Ara kan belum mandi."

Ara tidak akan berhenti bicara kalau dibiarkan. Ibu Ribka sudah cukup lama menemaninya. Dalam perjalanan menuju ke sini, Ribka menelepon dan mengatakan kalau dia mendadak harus keluar untuk bertemu dengan promotor pameran lukisannya sehingga dia menitipkan Ara pada ibunya.

"Makasih udah menjaga Ara, Bu," pamitku pada ibu Ribka. "Maaf jadi merepotkan."

"Sama sekali nggak repot kok, malah menyenangkan. Udah lama banget Ibu nggak ngasuh anak seumuran Ara. Rasanya seperti bernostalgia. Kalau butuh baby sitter, titipin aja Ara di sini."

Aku tersenyum. Tidak mungkinlah aku meminta bantuan ibu Ribka untuk menjaga Ara. Dia adalah istri bos besar. Pemilik hotel tempatku bekerja. Kalau aku masih waras, mustahil menjadikan beliau sebagai pengasuh anakku. Aku lebih suka merepotkan Ribka.

Dalam perjalanan pulang, aku mencoba mengorek informasi dari Ara tentang pertemuannya dengan Khalid tadi siang.

"Tadi makan kue apa sama Tante Ribka di hotel?" mulaiku.

"Makan es krim sama brownies, Mom. Tapi lebih enak es krim di mal yang kita makan sama Om Jaz sih."

"Tadi makannya berdua sama Tante Ribka aja?" lanjutku memancing Ara untuk bercerita lebih banyak.

"Sama om-om teman Tante Ribka juga sih."

Nah, aku berhasil menggiring Ara untuk membicarakan Khalid! Aku mengangguk-angguk. "Ooh... terus ngobrol apa sama Om itu?"

"Om itu nggak suka ngobrol kayak Om Jaz sih. Nggak banyak tanya-tanya gitu. Tapi dia bilang aku cantik dan rambutku bagus." Nada bangga Ara terdengar jelas.

"Ooh...."

"Oh iya, dia juga tanyain umurku, Mom. Terus aku jawab udah empat tahun, mau lima tahun. Nanti kalau ulang tahun kelima aku mau ulang tahun di sekolah kayak Nisa. Nanti kita undang badut yang banyak ya, Mom. Tapi Om Jaz belum belajar sulap sih, jadi dia nggak bisa sulapin sapu tangan jadi boneka pas aku ulang tahun. Atau, Mommy minta tolong sama papanya Nisa aja biar dia yang jadi tukang sulap kalau aku ulang tahun."

Jawaban Ara kali melenceng dari tujuanku, tapi memang sulit mengharapkan anak seumurnya untuk bisa fokus.

"Nanti kita cari tukang sulap lain, biar nggak ngerepotin papanya Nisa ya, Sayang."

"Sulap kan nggak repot, Mom," bantah Ara. "Tinggal sim salabim abrakadabra aja udah jadi kok." Ara mendesah. "Mommy sih nggak pernah lihat papa Nisa sulap, jadi nggak tahu kalau dia jago banget."

"Ehmm... tadi lama nggak di kafe sama Tante Ribka?" Aku berusaha mengembalikan arah percakapan pada pertemuan Ara dan Khalid.

"Enggak sih. Tante Ribka langsung ngajak pergi setelah es krim dan brownies aku habis. Tadi Mommy kok nggak ikutan makan es krim sama kita sih? Padahal Tante Ribka bilang dia ngantar aku ke kantor Mommy supaya aku bisa pulang sama Mommy."

"Tadi Mommy ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal, Sayang."

"Kalau udah besar kayak Mommy, aku mau kerja di toko es krim aja, biar bisa makan es krim sepuasnya. Terus dapat uang banyak dari orang-orang yang beli es krim." Ara melebarkan tangannya di udara dengan gembira. "Terus, aku kaya deh. Apalagi kalau udah belajar sulap sama papanya Nisa. Semua kertas di rumah akan aku sulap jadi duit. Nanti Mommy aku kasih yang banyak biar nggak udah kerja di rumah Om Jaz lagi. Mommy bantuin aku jual es krim aja."

"Om-om teman Tante Ribka itu orang gimana?" Aku terus berusaha.

"Ooh... Om itu tinggi kayak Om Jaz sih. Baik kok, Mom. Dia ngelarang Tante Ribka bayar. Katanya nanti dia aja yang bayar. Mungkin dia pinter sulap kertas jadi uang kayak papanya Nisa, jadi uang Om itu banyak. Atau, dia aja yang jadi tukang sulap kalau nanti aku ulang tahun ya, Mom?"

Mengajak Khalid bergabung dalam perayaan ulang tahun Ara adalah hal yang sangat mustahil. Aku tidak akan pernah melakukannya. "Kita nggak bisa sembarang ngajak orang asing ke acara ulang tahun kamu, Sayang."

"Dia bukan orang asing kok, Mom. Kan dia teman Tante Ribka. Kalau orang asing kan nggak kenal sama Mommy dan Tante Ribka."

Sepertinya aku tidak akan mendapatkan apa pun dari percakapan dengan Ara. Tapi aku lega karena Ara tidak tampak terkesan pada Khalid. Sulap ayah Nisa lebih menarik minat Ara.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. DI sana udah lama tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro