Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU masih tinggal di kamar Ara, lama setelah dia tertidur. Aku duduk di sisi ranjangnya sambil memandangi wajah mungilnya. Saat pulas seperti ini, dia tampak seperti bidadari tanpa dosa. Dia tidak terlihat seperti anak aktif yang tidak berhenti bertanya dan konsisten bicara tanpa peduli bahwa orang yang diajaknya bicara mungkin kelelahan menghadapi gelora semangatnya.

Selain rambut ikal dan garis wajah, kulit Ara juga mirip ayahnya. Memang tidak secokelat ayahnya, tapi berbeda dengan kulitku yang putih. Kakekku adalah seorang ekspatriat Norwegia yang bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Dia bertemu Nenek, jatuh cinta, dan akhirnya menikah. Secara fisik, ibuku sangat mirip Kakek, dan aku kemudian ikut mewarisi warna kulit yang terang itu. Ayahku juga berkulit terang, walaupun terangnya khas kulit orang Indonesia.

Kakek adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi dan besar. Ketika aku masih kecil, dia selalu mendudukkanku di bahunya yang lebar, dan aku akan berpegangan di kepalanya. Sayangnya Kakek tidak berumur panjang. Kapal yang ditumpanginya saat mengunjungi salah satu blok pengeboran minyak lepas pantai karam karena dihempas gelombang besar. Jasadnya baru ditemukan tiga hari kemudian.

Waktu itu aku baru berumur sembilan tahun, tapi peristiwa itu melekat erat di kepalaku karena saat itulah pertama kalinya aku melihat Nenek yang biasanya selalu ceria, meratap sedih. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti cinta dan pasangan, tapi aku tahu bahwa Nenek sangat kehilangan Kakek. Ketika dihadapkan pada pertengkaran orangtuaku yang melelahkan karena nyaris tak putus, aku selalu bertanya-tanya kenapa mereka tidak seperti Kakek dan Nenek yang selalu tampak bahagia ketika sedang bersama.

Di rumah Nenek ada beberapa orang ART, tapi ketika aku diajak ibu berkunjung ke sana di akhir pekan, Nenek akan memberi mereka libur, dan makan siang hari itu akan disiapkan oleh Kakek. Memang hanya masakan sederhana ala Eropa yang persiapannya tidak serumit makanan tanah air yang menggunakan banyak bumbu, tapi aku tetap terkesan karena tidak pernah melihat ayahku menyentuh kompor untuk memasak sesuatu.

Acara memasak itu selalu menyenangkan karena dapur akan dipenuhi obrolan dan tawa Kakek dan Nenek. Mereka bekerja sama menyiapkan makanan. Nenek mencuci dan memotong bahan makanan, sedangkan Kakek mengeksekusi proses memasaknya. Setelah kami selesai makan, mereka membereskan meja makan dan dapur berdua, tidak menunggu para ART yang mengerjakannya.

Setelah dewasa, aku akhirnya mengerti jika Nenek menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan supaya tidak merasa kesepian setelah kehilangan belahan jiwanya. Menghabiskan banyak waktu di rumah pasti membuatnya sering memikirkan Kakek. Teringat kenangan manis dengan pasangan yang sudah tidak bisa menemaninya pasti membuat Nenek sedih.

Hubungan Kakek dan Nenek yang harmonis adalah alasan mengapa aku tidak trauma pada pernikahan, meskipun mendapat contoh buruk dari orangtuaku sendiri. Aku mencoba optimis dan percaya bahwa pernikahan bisa berhasil ketika pasangan saling menghargai. Ada kepercayaan dan pengertian di dalamnya. Kakek dan Nenek tampak seperti sahabat yang menikmati kebersamaan mereka.

Aku pikir, memasuki gerbang pernikahan dengan teman yang tampak betah mendengar apa pun yang aku katakan akan membentuk pernikahan yang sempurna. Apalagi yang lebih penting untuk sepasang manusia dewasa daripada kenyamanan? Cinta bisa datang kemudian. Menurutku lebih baik begitu daripada memulainya dengan cinta, tapi malah berakhir dengan kebencian seperti yang ditunjukkan orangtuaku.

Tapi teoriku ternyata salah. Hubungan manusia rumit dan kasuistik sehingga tidak bisa disamakan. Alasan pernikahan yang sama bisa menghasilkan akhir yang berbeda. Tidak ada rumus paten yang dipakai untuk mendapatkan pernikahan yang bahagia.

Aku mengangkat kepala ketika mendengar gagang pintu Ara dikuak dari luar. Nenek muncul dari balik pintu.

"Makanan kamu udah dingin tuh," katanya.

Aku merapikan selimut Ara sebelum menyusul Nenek. Sebenarnya aku sudah kehilangan nafsu makan setelah pertemuan mengejutkan dengan ayah Ara tadi siang. Tapi aku harus memaksa diri untuk menelan sesuatu karena sudah melewatkan makan siang. Cari penyakit kalau aku tidak makan malam juga. Aku bisa jatuh sakit kalau mengikuti perasaan dan suasana hati yang jelek. Kalau sakit, produktivitasku akan terganggu. Aku juga akan merepotkan banyak orang. Mulai orang di kantor yang harus mengambil alih tugasku untuk sementara sampai membebani Nenek.

Nenek memang terlihat jauh lebih muda dan fit untuk ukuran lansia seumurnya, tapi aku tahu kalau kekuatannya sudah berkurang banyak. Sekarang, akulah yang harus menjaganya, bukan malah sebaliknya.

Aku mencoba menghabiskan nasi dan lauk di piringku. Nasi yang tak penuh secentong mendadak terasa sangat banyak. Butir nasi yang pulen terasa seperti kerikil di kerongkonganku.

"Ada masalah di kantor?" tanya Nenek yang duduk di depanku. Dia berada di situ untuk menemaniku saja karena dia sudah makan bersama Ara.

"Ya?" Aku mengangkat kepala menatap Nenek.

"Muka kamu tegang dan serius banget sejak pulang kantor."

Mungkin karena lelah mempertahankan ekspresi datar seolah tak ada masalah di kantor, begitu pulang aku segera melepas topeng itu sehingga Nenek segera tahu aku sedang memikirkan sesuatu.

"Kalau pekerjaan di kantor bikin kamu capek, kamu bisa berhenti," lanjut Nenek tanpa menunggu responsku. "Restoran dan perkebunan udah lebih dari cukup untuk membiayai hidup kita. Usaha itu akan jadi milik kamu setelah Oma nggak ada. Punya usaha sendiri walaupun kecil-kecilan jauh lebih enak daripada kerja sama orang lain. Tabungan, asuransi, dan hasil investasi Oma juga pasti cukup sampai Ara dewasa nanti."

Nenek adalah contoh orang yang sukses mempersiapkan masa pensiun dengan baik sehingga bisa menikmati hari tua tanpa khawatir kekurangan materi dan tergantung pada anak dan cucunya.

"Bukan soal soal kerjaan, Oma." Aku memutuskan berterus terang.

Aku perlu menceritakan isi kepalaku kepada seseorang, dan Oma adalah orang yang paling tepat karena dia mengenal laki-laki itu. Ribka akan mendengar semua unek-unekku, tapi dia sama sekali tidak mengenal orang yang membuatku pusing ini. Ribka hadir lagi dalam lingkar hidupku setelah aku pindah ke Surabaya, ketika pernikahanku sudah gulung tikar. Saat bercerita tentang pernikahan dan perceraianku pada Ribka, aku merangkumnya dalam beberapa kalimat pendek. Bahwa aku bertemu mantan suamiku melalui salah seorang teman kantorku yang bersahabat dengannya. Kami berteman dan kecocokan membuat kami memutuskan menikah. Pernikahan kami berjalan tenang dan damai selama lebih setahun, sampai aku kemudian memergokinya berselingkuh dengan mantan tunangannya.

"Kalau bukan soal kerjaan, apa yang bikin kamu tegang kayak gitu? Oma pikir, faktor stres kamu hanya berasal dari pekerjaan karena Ara baik-baik aja."

Aku melepaskan sendok dan mendorong piringku ke tengah meja. Aku tidak sanggup lagi menjejalkan lauk yang tersisa ke dalam leherku.

"Tadi aku ketemu Khalid. Dia ada di Surabaya dan nginap di hotel tempatku kerja sampai minggu depan."

Nenek langsung bisa memahami kekhawatiranku. Dia diam sejenak sebelum menarik napas dan berkata, "Jalan hidup bukan sesuatu yang bisa kita atur, Sha. Sesuatu yang nggak kita inginkan biasanya malah beneran terjadi." Tatapan Nenek lembut, tapi menyelidik. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan memberi tahu dia tentang Ara?"

Aku spontan menggeleng. "Tentu saja tidak. Ara adalah milikku," balasku defensif. Itu hal yang tidak bisa ditawar. Aku yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan Ara. Apa yang ayahnya lakukan hanyalah menitipkan benih. Tidak lebih.

Ribuan hari telah berlalu, tapi rasanya masih menyakitkan saat teringat bahwa seks bagi laki-laki tidak lebih daripada sekadar pemenuhan kebutuhan biologis yang bisa dilakukan tanpa perasaan. Posisinya mungkin sama seperti makan dan minum. Apa pun hidangannya, tak akan terlalu masalah selama bisa menghilangkan rasa lapar dan haus.

Dalam kasusku, Khalid mungkin menganggap kegiatan di atas tempat tidur sama seperti uang yang ditransfernya setiap bulan dalam rekeningku. Sebagai pemenuhan kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri yang sudah menjadi tanggung jawabnya setelah mengucapkan ijab kabul. Pasti seperti itu karena dia bisa memberiku malam panas yang menggebu di atas tempat tidur, tapi keesokan harinya dia dengan enteng makan siang bersama mantan tunangannya. Dan aku yakin janji pertemuan mereka telah dibuat sebelum dia naik di atas ranjang dan mulai mencumbuku.

"Ara memang anak kamu, Sha. Sebagai ibu, kamu yang paling berhak untuk merawat dan membesarkannya." Nenek memotong petualangan pikiranku. "Tapi Khalid juga berhak tahu kalau dia punya anak. Suatu saat, kalau Ara sudah cukup besar, dia juga harus diberi tahu kalau dia punya ayah. Dan ketika dia sudah dewasa, dialah yang harus memutuskan apakah dia akan menjalin hubungan dengan ayahnya atau tidak. Bukan kamu yang membuat keputusan itu untuknya."

Aku terdiam.

"Oma bisa mengerti kenapa kamu dulu memutuskan untuk tidak memberi tahu Khalid tentang kehamilan kamu. Waktu itu kamu sedang emosi, jadi Oma nggak mau memaksa kamu melakukan sesuatu yang nggak mau kamu lakukan. Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Masalah kalian sudah lama berlalu. Kalian juga sudah punya kehidupan masing-masing. Oma yakin, setelah sekian lama, sudut pandang kamu dalam melihat masalah sudah berbeda."

Aku bisa merasakan dagu dan bibirku bergetar. Panas yang terasa di dada merayap naik ke kepala dan menjelma menjadi tetesan air mata. Aku pikir aku tidak akan pernah menangisi masa lalu lagi. Aku sudah berhenti melakukannya sejak kelahiran Ara. Aku pikir aku sudah bertransformasi menjadi manusia baru yang kuat. Ternyata aku keliru menilai diri sendiri. Ternyata perasaanku setipis dan serapuh serpihan abu hasil pembakaran sehelai tisu yang hanya butuh tiupan angin sepoi-sepoi untuk memburai tak berdaya ke segala penjuru.

Aku kembali merasakan ketidakberdayaan seperti yang kurasakan lima tahun lalu. Déjà vu.

**

Yang pengin baca cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat. Tengkiu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro