Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menunggu Nenek kembali dari restoran. Ara sudah tidur siang sehingga aku bisa meninggalkan dia di kamarnya, tanpa khawatir dia akan menyelinap ke restoran mencari Nenek.

Aku menggigiti kuku, gelisah. Apa yang Nenek dan Khalid bicarakan sampai butuh waktu lebih dari satu setengah jam? Aku curiga Nenek mengabaikan semua instruksi yang kuberikan untuk membuat Khalid segera angkat kaki dari kediaman kami. Jangan-jangan Nenek malah mengajak Khalid membahas politik yang sekarang memanas di Timur Tengah.

Aku tahu kalau aku berburuk sangka pada Nenek, tapi sulit untuk tidak melakukannya seiring bertambahnya waktu yang dihabiskan Nenek bersama Khalid. Aku tidak bisa mengirim pesan untuk meminta Nenek mengakhiri reuni dengan Khalid karena Nenek tidak membawa ponselnya ke restoran.

Kesabaranku sudah hampir habis saat melihat Nenek akhirnya kembali ke rumah. Aku menunggu sampai Nenek menutup pintu depan sebelum bergegas menghampirinya.

"Dia sudah pulang? Apa yang dibahas sampai harus ngobrol selama itu? Seharusnya Oma nggak usah melayani dia dengan baik. Hanya akan bikin dia merasa diterima. Bisa-bisa dia akan sering datang ke sini untuk ketemu Oma. Justifikasinya sih makan di restoran kita, tapi tujuan sebenarnya bukan itu. Kalau terus bolak-balik ke sini, dia bisa ketemu Ara! Kenapa sih dia harus muncul kembali? Aku pikir aku sudah terbebas dari dia." Kalimatku berapi-api dan tidak runut karena aku dikuasai emosi.

Nenek terlalu tenang. Aku tidak suka sikap yang ditunjukkannya. Nenek seharusnya sama panik dan emosinya denganku. Orang yang mempermainkan cucunya kembali tanpa aba-aba seolah masa lalu kami merupakan kenangan manis yang layak untuk dibedah dan diingat setiap adegannya.

Nenek menyempatkan duduk sebelum menatapku. "Kenapa kamu tegang banget sih, Sha?"

Aku menganga. Bisa-bisanya Nenek merespons seperti itu. Tentu saja aku tegang. Khalid adalah bagian pahit dari masa lalu yang aku pikir sudah berhasil aku potong dan singkirkan. Kalau dia sampai tahu tentang Ara, dia akan menempel seperti lintah di masa kini dan masa depanku dengan alasan ingin berkontribusi pada kehidupan anaknya. Aku tidak ingin berhubungan dekat dengan seorang pengkhianat.

"Aku nggak mau dia tahu tentang Ara, Oma!" Entah sudah berapa ribu kali aku mengulang kalimat itu. Mengapa Nenek tidak mengerti juga?

"Yang Oma pahami tentang takdir setelah berada di fase-fase akhir hidup Oma ini adalah bahwa takdir merupakan sesuatu yang harus kita terima dengan lapang dada, karena kita nggak akan bisa menentangnya, Sha. Kita bisa membuat perencanaan detail tentang hidup dan hal-hal yang ingin kita lakukan di masa depan, tapi akhirnya, mau sedetail dan serunut apa pun, semua rencana kita akhirnya takluk sama takdir. Pertemuan kamu dan Khalid saat ini termasuk dalam takdir itu. Kamu nggak bisa menghindar karena takdir nggak selalu datang dengan opsi yang bisa dipilih."

Aku mengempaskan diri di sofa, di sebelah Nenek. Tanpa dia jelaskan pun aku paham bahwa kuasa manusia tidak akan bisa dipertentangkan dengan takdir Tuhan. Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja memperjuangkan kedamaian hidupku. Aku yakin Tuhan akan mengabulkan doaku sebagai orang yang teraniaya oleh laki-laki yang pernah memproklamirkan diri sebagai imamku dalam rumah tangga. Aku percaya Tuhan tidak akan mengecewakan umat yang berserah sepenuhnya pada-Nya.

Nenek meraih tanganku dan menggenggamnya. "Oma sangat paham kalau hidupmu sudah sangat sulit sejak kamu kecil. Ayah dan ibumu mengecewakan kamu. Oma juga sangat kecewa dengan keputusan-keputusan yang diambil ibumu karena Oma merasa sudah mendidiknya untuk bertanggung jawab. Entah dia yang tidak paham dengan apa yang Oma ajarkan, atau Oma yang kurang telaten menghadapinya. Tapi sekecewa apa pun Oma padanya, ibumu tetap saja anak Oma." Nenek mengusap punggung tanganku, seolah ingin mentransfer kesabaran dan ketenangannya padaku. "Oma tahu kalau pengalaman dengan ayah-ibumu membuat kamu cenderung mengecilkan ekspektasimu tentang hubungan antarpasangan. Kamu tidak pacaran. Kamu menikah dengan Khalid karena merasa dia memenuhi standar ekspektasimu yang rendah itu. Kekecewaanmu pasti sangat besar ketika pernikahan kalian berakhir karena Khalid yang kamu anggap aman ternyata bisa bikin kamu sakit hati juga."

Nenek seperti menguliti kembali luka-luka masa lalu yang aku pikir sudah sembuh. Aku kehilangan ikatan perasaan dengan kedua orangtua yang tidak menginginkanku, yang memutuskan "membuangku" pada Nenek supaya mereka bisa melanjutkan hidup dengan keluarga baru yang mereka cintai. Aku pikir aku sudah mengatasi perasaan itu, tapi ternyata belum. Rasanya sakit diingatkan kembali bahwa aku yang katanya dilahirkan karena cinta kemudian disingkirkan ketika cinta antara Ibu dan Ayah berubah menjadi kebencian.

Nenek benar, pilihanku jatuh pada Khalid dan setuju ketika dia mengajakku menikah karena aku tidak punya ekspektasi yang tinggi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Keputusanku menikah tidak ada hubungannya dengan cinta yang menggebu-gebu. Waktu itu aku hanya berpikir bahwa dengan menikahi Khalid yang tenang dan tidak neko-neko, aku akan memiliki hubungan yang stabil dengan seseorang setelah Nenek tidak ada lagi untukku. Aku tahu umur adalah kuasa Tuhan, tapi aku harus bersiap untuk kehilangan Nenek suatu hari nanti. Ketika itu terjadi, aku tidak akan sendiri di dunia karena aku punya Khalid. Aku dan Khalid akan memiliki anak-anak yang akan kami besarkan dengan kasih sayang. Anak-anak itu tidak akan merasakan apa yang pernah kualami di masa kecilku. Khalid adalah pasangan yang tepat untuk mengasuh anak karena dia berasal dari keluarga yang harmonis.

Ibuku juga berasal dari keluarga harmonis, tapi ibu bukan tipe yang memilih perdamaian ketika membahas sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Ibuku dididik oleh Kakek untuk bebas berpendapat, jadi dia tidak merasa terbebani ketika mengeluarkan isi hati dan isi kepala. Tidak ada yang disimpan. Khalid berbeda. Dia memilih menghindari perdebatan dengan ibunya supaya ibunya tidak merasa disudutkan.

"Nanti Ibu akan tahu sendiri kok kalau pendapat yang ngotot dia bela itu salah," katanya santai ketika aku menanyakan kenapa dia tidak berkeras membenarkan informasi yang dikatakan ibunya itu. "Saat Ibu sadar kalau dia salah, biasanya Ibu akan jadi ekstrabaik. Semua makanan kesukaanku akan dibikinin. Dia juga akan nge-chat lebih sering daripada biasanya saat aku di kantor, hanya untuk ngingatin makan siang atau jangan terlalu banyak minum kopi. Kadang-kadang, untuk menang, kita harus ngalah duluan, Sha. Lagian, apa untungnya memaksa diri untuk selalu benar di depan keluarga? Beda urusannya kalau soal pekerjaan atau ketika berhadapan sama orang lain. Keluarga itu adalah orang akan terikat sama kita sampai kita mati. Jadi daripada debat kusir, lebih baik mengalah dan pilih jalan damai aja ketika berbeda pendapat sama mereka."

Iya, cara pandang Khalid tentang keluarga membuat aku menganggapnya cocok sebagai suami. Dia tidak seperti ayahku yang mendepak anak kandungnya karena istri barunya tidak ingin hidup bersama anak tiri.

"Tenang aja," kata Nenek, membuat ingatanku yang terbang menembus ribuan hari di belakangku terputus. "Oma nggak bilang apa pun tentang kamu sama Khalid. Kalau ada yang ingin dia tahu tentang kamu, dia harus menanyakannya sendiri sama kamu. Itu yang tadi Oma bilang sama dia."

"Tapi kenapa ngobrolnya lama banget?" Aku tetap penasaran meskipun tahu Nenek tidak akan membohongiku.

"Hanya obrolan biasa aja kok. Khalid tahu dia nggak bisa memaksa Oma untuk cerita tentang hidup kamu setelah kalian berpisah."

"Obrolan biasa itu isinya apa aja?" kejarku.

"Kalau Oma ceritain sama kamu, kesannya Oma akan membela dia. Kamu nggak akan mau dengar itu dalam kondisi tegang dan panik seperti sekarang." Nenek mendesah. "Menurut Oma, daripada bermain kucing-kucingan seperti sekarang, lebih baik kalian ketemu dan bicara baik-baik. Kalian toh sudah bercerai. Khalid nggak punya hak apa pun atas diri kamu lagi, jadi dia nggak bisa memaksa kamu tetap berteman sama dia kalau kamu nggak mau."

"Bicara baik-baik?" ulangku dengan nada tinggi. "Tentang Ara juga?"

"Itu keputusanmu, Sha. Tapi restoran kita adalah tempat umum, dan kita nggak bisa melarang Khalid untuk datang ke sini saat dia ke Surabaya. Seperti yang kamu bilang tadi, dia bisa saja bertemu Ara."

Aku melengos. Kenapa juga Khalid harus ikut tender hotel itu sih? Kemunculannya kembali hanya mengacaukan tatanan hidupku yang sudah tenang. Dia sudah pernah membuat duniaku terasa bagai kiamat. Apakah sekali masih kurang untuknya?

Setelah bercerai, aku tidak pernah punya angan-angan muluk tentang masa depan. Aku hanya ingin menikmati hidup tenang bersama Ara dan Nenek tanpa bayang-bayang kegagalan masa lalu. Hal yang sepertinya sederhana seperti itu ternyata sulit untuk didapat.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro