❁ Valley of Life ❁

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt:
8. Kenangan yang tidak pernah dapat terlupakan.

* ⋆┈┈。゚❃ུ۪ ❀ུ۪ ❁ུ۪ ❃ུ۪ ❀ུ۪ ゚。┈┈⋆

Gadis bersurai cokelat tua itu berpijak pada tanah di kaki bukit. Beberapa helai rambut panjangnya berayun diterpa angin. Sepasang netra kelabu itu berbinar menatap bunga yang menghampar luas di salah satu tempat terkering dan terpanas di dunia. Kini Death Valley tak lagi tampak seperti nerakanya Bumi, malah seperti taman surga. Lautan bunga membuatnya tampak seperti permadani warna-warni yang digelar—ada pink, kuning, putih, dan ungu.

Bibir kecilnya bergetar, menyenandungkan nada-nada musik klasik. Peer Gynt-Morning Mood milik Edvard Grieg. Suara sopran andalannya itu selalu mampu menembus pikiran dan menghipnotis orang-orang untuk terus mendengarkannya. Dirinya begitu terbuai dengan suasana musim semi di Death Valley.

Lembah yang terletak di timur negara bagian California itu pada musim semi—dan pada waktu fajar—bisa dibilang tak panas. Beruntung mereka berangkat malam tadi. Sekarang ia bisa menikmati pemandangan sepuluh tahun sekali itu sendirian. Perempuan itu juga agak kaget mengingat hal ini sangat ditunggu-tunggu banyak orang. Super bloom, begitu istilahnya. Mungkin alam membiarkannya menikmati hal yang ia nantikan sendirian untuk sejenak.

Sejak kemarin ia hanya tidur dua jam. Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan antusiasnya untuk memandangi berbagai jenis bunga langka di sini. Desert Gold, Notch-leaf Phacelia, Caltha-leaf Phacelia, Golden Evening Primrose, Gravel Ghost, Bigelow Monkeyflower, Desert Five-spot.

Pria itu benar.

Lembah kematian tak selamanya mati, ada waktu dimana dia menjadi sesuatu yang indah, meskipun hanya sementara.

Ternyata hujan yang kian kali mengguyur Amerika sejak Oktober lalu berbuah baik. Barangkali ini hadiah atas kesabarannya menunggu dan menandai kalender.

Waktu itu, saat bertemu dengan si pria misterius, dirinya masih berusia delapan tahun, sekarang dia telah tumbuh menjadi seorang perempuan normal, bahkan kehidupannya—menurutnya—luar biasa.

Ia sempat merasa skeptis dengan ucapan pria itu. Mana bisa tempat yang menjelma neraka bumi ditumbuhi bunga-bunga? Sejenak ia menganggap pria yang entah dari mana datangnya itu tengah meracau.

Ah, kemana ya pria itu?

Ia ingin sekali berterima kasih kepada pria yang telah menyelamatkannya waktu itu. Kalau tidak, mungkin dia sudah terpanggang jadi abu sebelum sempat merasakan hidup enak.

  —❁ ❁ ❁—

"Uh, panas sekali!" Keluhan keluar dari bibir merah muda mungil tersebut.

Sekali lagi ranting kayu yang baru saja ia temukan itu ditusukkan ke tanah gersang sampai patah menjadi dua bagian.

Sekarang si anak bergaun putih itu melemparnya ke sembarang arah. Dengan seenak jidatnya ia menaruh bokong di atas tanah kering yang panas. Detik itu dirinya loncat dan berteriak histeris, efek kejut dari terpanggangnya kulit pantat.

"Lalu apa yang bisa aku lakukan?! Kakiku pegal tahu!" omelnya pada entah siapa. Ia memberengut tak jelas, tangannya bersedekap di depan dada, kakinya ia entak-entakkan ke tanah retak.

Ia berteriak panjang, kesal. Toh tidak ada yang dengar juga, pikirnya.

Tandus, gersang, minimnya curah hujan, tiada makhluk hidup yang sanggup bertahan, pantas dinamakan lembah kematian, pantas disamakan dengan neraka.

Suhu yang kini mencapai lima puluh derajat celcius itu bisa saja membakarnya hidup-hidup di tempat. Sinar mentari yang begitu menyengat rasanya mampu membuat hangus kulit putihnya dalam sekejap. Pandangannya kerap bergelombang, seperti udara yang bergerak. Fatamorgama. Bagaimana bisa dirinya masih bertahan di tempat itu?

Ia hendak mengomel pada Tuhan karena membawanya ke situ. Dia hanyalah gadis tak tahu arah, mengikuti ke mana pun alam membawanya. Entah apa yang membuat dirinya mampu berjalan sampai ke sini.

Kengerian sempat bersemayam di benaknya, melihat lembah yang berdiri kokoh dan terbentang luas, juga suasana sepi khas gurun, sedang dirinya hanya gadis kecil usia delapan tahun. Namun, kini semua kengerian itu sirna, bukan karena telah melawan ketakutan itu, tetapi ia kesal sebab panasnya cuaca dan tak kunjung menemukan jalan keluar.

Untuk kesekian kalinya ia berteriak, lebih kencang dan melengking dari sebelum-sebelumnya.

"Hey! Teriakanmu bisa membuat kupingku tuli!"

Kontan sang gadis membulatkan mata, terperanjat, kepalanya ia tolehkan ke segala arah. Apa di sini ada orang? Atau itu suara ....

Begitu sosok pria bersetelan jas lusuh itu menampakkan wujudnya, gadis itu terlonjak dan berteriak kaget.

"Sudah dong teriaknya! Pengang tahu!" protes pria itu.

Gadis itu membelalakkan matanya. Matanya menyoroti raga pria itu dari rambut hingga kaki. Rambut hitam yang tergerai hingga leher kelihatan lepek dan berminyak. Kulitnya cokelat, tulang pipinya menonjol. Tubuh pria yang sekiranya memasuki usia paruh baya itu kurus, ceking, dan jangkung, sejenak dia teringat sosok slender man. Setelan jas cokelat muda yang dikenakannya telah lusuh, kaus hitam yang menyembul karena jas yang tidak dikancing itu juga sudah belel. Sandal kulit itu sudah tak layak pakai. Tentu saja pria itu kelihatan mencurigakan dan seram baginya, langsung saja dia berjengit mundur dan tak sungkan untuk memperlihatkan wajah ketakutannya.

Di satu sisi ia lega karena nyatanya fantasi tentang hantu gurun itu tak terbukti. Namun, penampilan pria ini benar-benar patut dicurigakan. Bukan maksudnya orang jelek itu mencurigakan, sungguh, bukan itu yang ia maksud. Bahkan dibanding dirinya yang sudah seminggu tak mandi, gaun piama putihnya yang tak pernah diganti, rambut kusutnya yang sudah bertahun-tahun tak dipotong, serta debu menghiasi tiap sudut wajah bulatnya, kondisi itu tak lebih menyeramkan dari orang di depannya ini.

"Ah, anak kecil, bagaimana bisa ada anak kecil di tempat ini?" cibir pria jangkung itu.

Gadis itu memajukan bibir. Terus kenapa juga kau ada di tempat ini?

"Apa yang membuatmu ada di tempat ini?"

Belum sempat menjawab, tubuhnya hampir limbung ke samping, beruntung pria itu sigap menahannya. Pandangannya mulai buram. Kepalanya kini diserang pusing yang begitu hebat, ia memegangnya. Mulutnya mengerang kesakitan. Segera sang pria menggotongnya sambil lari ke luar dari sana.

Stop

Extreme Heat Danger

Walking after 10 AM not recommended

Rambu itu telah terlewati oleh keduanya.

Death Valley National Park

Pria itu melesat sembari membawa si gadis kecil menjauh dari kawasan taman nasional, menjauh dari lembah kematian.

Begitu sampai di tempat yang lebih aman, di pinggir jalan raya, diturunkannya gadis itu dari rengkuhannya. Anak perempuan itu masih tak mampu menopang tubuhnya, lantas ia terduduk. Pria itu langsung menyodorkan sebuah botol air mineral yang entah sejak kapan ia miliki dan entah dari mana asalnya. Sadar akan kondisi sang gadis yang masih lemah, ia membukakan tutup botolnya, lalu bertongkat lutut. Ia memegangi mulut sang gadis dan meminumkan air mineral itu. Gadis yang dehidrasi itu meneguk air tersebut hingga tandas. Setelah itu ia bernapas tersengal-sengal.

"Apa kau gila? Tengah hari bolong begini? Di musim panas?" cerca pria tersebut. Melotot seperti itu membuat matanya yang menonjol seperti hendak keluar dari lubangnya.

Si bocah menautkan alis, memajukan bibir.

"Eh musim panas ya?" Ia teringat akan sesuatu, matanya membulat, ekspresinya kontan berubah.

"Hm," gumam pria itu, mengiakan.

Anak kecil itu terkesiap. "Berarti ulang tahunku sudah lewat!"

"Pulanglah, Nak," pinta pria itu.

Gadis itu kembali mengerucutkan bibir dan menunduk, kilasan memori menyakitkan itu kembali terputar. Musim semi yang biasanya merupakan waktu membentuk kenangan-kenangan indah menjadi mimpi buruknya. Bahkan ia tak bisa merayakan hari ulang tahun keenamnya karena hal itu. Ulang tahun yang semula semarak menjadi menyedihkan. Ia tak bisa kemana-mana saat itu, hanya mengurus ibunya yang sakit dan berharap kelak mereka akan merencanakan liburan lagi dan mengganti perayaan ulang tahun kecil-kecilan yang sempat mereka gelar. Sungguh malang nasibnya, hal itu tak pernah terjadi dan tak akan pernah terjadi.

"Aku tak punya rumah," lirihnya sambil menggambar bunga-bunga di pasir dengan jemarinya. Ia sangat menyukai bunga-bunga, dari situlah namanya diambil.

Pria itu menunduk, rasa iba kini mulai tumbuh. "Kau tak punya keluarga?" tanyanya.

Sang gadis menghela napas berat, lalu ia menggeleng keras. "Aku tak punya keluarga."

Ia kembali berkata, "Paman dan Bibi juga bukan keluargaku, mereka jahat, tidak seperti Ayah dan Ibu. Yang mereka lakukan cuma mengomel, mengomel, dan memukulku," keluhnya pada diri sendiri sambil menusuk-nusuk tanah gersang.

Pria itu diam sebentar, lalu berkata, "Lalu kau kabur dari rumah?" tanyanya lagi.

Sang gadis mengangguk, alisnya terangkat. "Aku malas, mereka cuma mau memakai uang orang tuaku, bukan mengurusku," ia berhenti, melempar kerikil yang ia temukan, "jadi aku keluar saja, eh malah jadi gembel," sesalnya. Pria itu tertawa, tapi ya ampun, nahas sekali nasib anak ini.

"Tapi kau bebas 'kan?" sahutnya.

Gadis itu berpikir. "Iya juga sih ..., aku jadi tidak kena omel lagi, tinggal di rumah itu sama saja, aku juga tidak diberi makan," gerundelnya sambil masih terduduk di tanah, tak peduli sengatan matahari langsung yang mungkin saja membuatnya pingsan—meski memang tak sepanas tadi.

"Dari dulu aku tak pernah berguna. Kerjaanku cuma meminta barang, merengek, dan marah-marah. Mungkin Tuhan benci anak manja, jadi ibunya diambil, lalu ayahnya juga, lalu disuruh tinggal dengan paman bibinya yang menyebalkan, akhirnya anak ceroboh itu kabur dari rumah, disuruh tinggal sendirian, tidak bisa tidur di kasur, makan sandwich, mendengar dongeng, main boneka," keluhnya.

Jemarinya yang tengah membentuk obat nyamuk di tanah terhenti. Air mata terkumpul di pelupuk mata. Ia ingat setiap saat orang tuanya memenuhi setiap permintaannya, tidur di kasur queen size yang empuk, sandwich buatan ibunya yang lezat, dongeng pengantar tidur tiap malam menjelang tidur, dan boneka Barbie koleksinya.

Pria itu tersenyum. "Jangan seperti itu, suatu saat kau akan mendapatkan kebahagiaanmu." Ia mencoba menyemangati.

"Kau lihat tempat tadi? Cocok 'kan disebut lembah kematian?" Sang gadis kebingungan, menatap manik hitam pekatnya intens.

"Berbulan-bulan lalu saat musim semi tempat itu dipenuhi bunga-bunga, tampak hidup—"

"Tak mungkin!" selanya.

Sang pria terkekeh. "Datanglah sepuluh tahun lagi kalau tak percaya," ucapnya misterius.

Ia kembali melanjutkan, "Semua bibit itu bersembunyi di balik tanah gersang, mereka hidup, menunggu waktu yang tepat untuk bersemi dan memamerkan keelokannya pada dunia.

"Kau juga. Hidupmu tak akan selamanya seperti ini, keluar, temukan kebahagiaan dalam hidupmu."

Setelah itu sang pria menuntunnya ke dunia luar, membiarkannya mencari kebahagiaan sendirian.

Berawal dari keinginannya untuk makan waffle, dia berniat mengumpulkan receh dari sembarang orang dengan mengamen.

Siapa sangka di musim semi itu nyanyian lirihnya didengar Madam Rebecca?

Ia dipertemukan dengan pengamen cilik lain, bergabung dalam paduan suara yang didirikan Madam Rebecca secara sukarela.

Musim semi berikutnya, seorang anak laki-laki yang membawa masalah serupa datang.

Musim semi berikutnya, keduanya terus membicarakan soal super bloom, berjanji menyaksikannya bersama.

Musim semi berikutnya, ulang tahun si gadis dirayakan di asrama, laki-laki itu memberi hadiah.

Musim semi berikutnya, keduanya mulai merasakan gejolak yang bersemi.

Musim semi berikutnya, keduanya terikat status, disaksikan oleh seluruh penghuni asrama. Hati telah berbicara, meski raga terlampau muda mengenal cinta.

Bertahun-tahun mereka menjalin hubungan, gejolak itu tak kunjung pudar. Keduanya tak bosan dibuat mabuk cinta oleh orang yang sama.

"Florence!"

Sontak gadis itu menoleh. Matanya langsung bertemu dengan seorang pemuda bersurai cokelat terang.

Ia langsung menghampiri gadis pujaannya. Dirangkulnya dari belakang tubuh langsing itu. Florence memegang tangan lelakinya, mengusap-usapnya.

"Elijah, mana yang lain?" desisnya.

Yang ditanya tak menjawab, malah berpindah tempat. Sepasang kekasih itu berhadapan. Kedua pasang mata yang sejajar itu tenggelam dalam gelora cinta, begitu menginginkan satu sama lain, ingin memiliki, ingin menjaga. Makin mendekat, mereka dapat merasakan debar jantung satu sama lain. Kini dua sejoli yang ada pada masa akhir remaja itu pasrah dalam rengkuhan satu sama lain.

Bunga-bunga mekar berseri dan cahaya matahari keemasan yang hangat memandikan bumi membuat suasana pagi ini makin mendukung.

Kedua insan yang dilanda asmara itu seakan tahu apa yang ada dalam masing-masing pikiran mereka.

"Belum cukup umur," ujarnya menjawab ajakan yang tersirat dalam tatapan teduh si lelaki.

Sang laki-laki terkekeh pelan. "Aku tahu."

Bibir pemuda itu melesat, mendarat ke pipi kanannya. Membuat dadanya berdentum. Wajah dan telinganya seakan dibuat mendidih, membakar segala lara yang sempat dirasa.

Sekarang pasangan itu bermesraan, disaksikan ribuan bunga, beberapa wisatawan yang baru datang, juga teman-teman paduan suara mereka—yang sudah bosan melihat dua insan itu berbagi kasih.

Keduanya abai, begitu hanyut dalam suasana romantis yang ditawarkan musim semi.

Momen indah kembali tergores di musim semi, menjadi alasan bahwa musim semi tak pernah berubah indahnya, meski sempat ternoda.

* ⋆┈┈。゚❃ུ۪ ❀ུ۪ ❁ུ۪ ❃ུ۪ ❀ུ۪ ゚。┈┈⋆

Multimedia :
Edvard Grieg: "Peer Gynt - Morning Mood"
By Richard88 on YouTube

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro