27. Sepasang Kalung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Karyakarsa juga udah up ya.


Selamat membaca ....

***

Part 27 Sepasang Kalung

“Cave?”

Lily mengikuti arah pandangan Barron, melihat Cave yang ditarik Monica menuju pintu utama aula. 

“Mereka akan pulang?”

“Bukan urusanku.” Lily berpaling. “Kau sudah menemui tuan Reno? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya.”

“Ada di sebelah sana.” Barron menunjuk ke area meja prasmanan. Tepat di samping patung es dengan logo CC yang memisahkan dengan area dansa. “Sesuatu semacam apa?”

“Kakek Cave. Almarhum nenek Cave sangat menyukai karyanya. Dan … ada hal lain yang ingin kutanyakan.”

“Apa ini ada hubungannya dengan kalung peninggalan ibumu?”

Lily mengangguk. Menyelipkan lengannya di lengan Barron, keduanya menghampiri pria tua yang sedang berbincang dengan pasangan paruh baya dan Egan? 

“Tuan Ganda?”

“Barron Izza?” Perhatian pria tua tersebut seketika beralih pada Barron dan Lily, dengan senyum lebar untuk menyambut pasangan tersebut. Melebarkan lengan untuk memeluk Barron dan Lily bergantian. “Selamat untukmu, aku tahu kau pasti akan melakukannya.”

“Terima kasih atas kepercayaannya, tuan Ganda.” Lily menatap Egan dan pasangan paruh baya yang kemudian berpamit.

“Aku baru saja berbincang dengan … adik iparmu.” Tuan Reno memegang pundak Egan. “Dia harus mengakui kemenanganmu dan jangan dimasukkan ke hati.”

Lily dan Barron tertawa.

“Apa sih yang bisa diharapkan jika menang melawan seorang wanita,” kekeh tuan Reno yang kemudian mengerlingkan mata pada Lily. “Dan bukan berarti dia mengalah pada permainan kali ini.”

Lily, Barron, dan Egan tertawa menanggapi candaan tersebut.

“Ya, Lily memang layak mendapatkannya.” Egan maju satu langkah. “Dan selamat, aku tak sempat mengucapkannya.”

“Terima kasih. Ini kedua kalinya kau mengucapkannya,” koreksi Lily dengan nada bercanda, membungkus peringatan sinisnya.

“Tadi siang secara formal, sekarang lebih ke hubungan yang lebih pribadi. Kita bertiga pernah berteman dekat. Benar, bukan?” Egan menatap Lily dan Barron bergantian.

“Ah, Lily, Tuan Reno yang mengirim lukisan di dinding ruanganmu. Bunga tulip itu.”

“Ya, terima kasih, Tuan Reno. Lukisannya sangat indah.”

“Aku pernah memamerkannya di  beberapa pertunjukan.”

“Tapi beliau sama sekali tak berniat membiarkan siapa pun memilikinya,” sambung Barron yang membuat tuan Reno terkekeh.

“Ya, di usia sekarang, tak ada salahnya sedikit bersenang-senang dan membuat keangkuhan mereka terusik.”

“Dan jangan bicarakan tentang nominal jika itu berhubungan dengan seni.” Kali ini Lily yang menyambung.

“Ya, kau benar, gadis muda.” Tuan Reno. “Tak ada yang bisa menakar kebahagiaan.”

Lily tersenyum. “Ah, kakek Zion mengirim salam untuk Anda. Jika Anda bersedia, beliau ingin mengundang Anda ke rumah.”

“Zion Zachery?”

Lily mengangguk, mengabaikan tatapan terkejut heran.

“Ya, tentu saja. Sudah lama sejak aku mendengar kabar tentangnya. Istrinya dulu sering berkunjung ke galeriku dan dia teman yang menarik.”

“Beliau juga menyukai hasil karya-karya Anda.”

“Ya, aku memberinya beberapa. Dia juga memintaku membuat lukisan keluarga mereka. Saat itu cucunya, suamimu masih …” Tangan Tuan Reno terangkat setinggi perut. “Di mana dia sekarang? Aku tak melihatnya.”

Lily menjilat bibirnya yang mendadak kering. “Sedang memiliki sedikit urusan.”

Tuan Reno mengangguk. Obrolan pun berlanjut, Egan berpamit di tengah-tengah dan Barron menerima tawaran panggilan lain.

“Tuan Reno, saya ingin menanyakan sesuatu yang sedikit … pribadi.” Lily membuka dompetnya dan mengeluarkan kalung liontin dari dalam dompetnya. “Apakah Anda mengenali benda ini?”

Raut tuan Reno seketika berubah serius. Mengamati kalung tersebut di telapak tangannya. “Ya, tentu saja aku mengenalinya. Ini buatanku sendiri, tapi bukan desain buatanku.”

“Apakah Anda ingat siapa yang memesannya?”

“Ingatanku tajam, tentu saja aku mengingatnya. Nenek dari suamimu. Zevana Zachery. Dia selalu memprotes perhiasan yang kubuat dan tak berhenti mengatakan aku lebih baik fokus pada lukisanku saja,” kekeh Tuan Reno.

“Kalung ini ada dua.”

“Ehm, ya. Suatu hari menantunya datang dan menginginkan satu. Dialah yang memberitahu kalau Zevana sudah meninggal.”

Lily terdiam. Satu persatu benang merahnya mulai terurai, dan perlahan ia akan mulai menemukan keseluruhan kisah yang sudah terpendam.

*** 

Elva menatap kalung dengan bandul berbentuk bunga dan batu rubi di bagian tengahnya. Harus ia akui, desainnya sangat menarik. Terutama dengan batu berlian yang mengelilingi batu rubi tersebut. Kalung yang menciptakan kecemburuan terbesarnya sebagai menantu keluarga ini.

‘Saya sudah melakukan semua yang dibutuhkan untuk keluarga ini. Melahirkan seorang pewaris dan seorang cucu yang cantik.’

‘Kebahagiaan. Apakah kau sudah memberikannya pada putraku? Pada suamimu?’

Raut Elva membeku oleh kepucatan. Pertanyaan telak yang tak bisa dijawabnya.

‘Kau menipuku. Membohongiku. Aku tak akan pernah mempermasalahkannya. Aku bahkan tak akan mengungkitnya. Tetapi aku tak pernah main-main dengan kebahagiaan putraku. Kruz putraku satu-satunya. Tak sekalipun dia membantah atau tidak menuruti keinginanku. Dia anak yang patuh dan menyayangiku sepenuh hatinya. Dia tak pernah mengeluh ataupun tidak menyenangkanku. Dan sekarang kau mempermainkan kebahagiaannya. Satu-satunya hal yang seharusnya kuberikan untuknya sebagai seorang ibu. Kau menghancurkan hidupnya. Membuatnya menderita. Dia tidak bahagia. Belum pernah aku melihatnya menderita seperti itu. Jadi sekarang, tanda tangani surat perceraian itu. Atau aku akan memberikan bukti perselingkuhanmu untuk mempermudah perceraian kalian?’

Elva tak pernah bisa melupakan kalimat tersebut. Satu patah kata pun. Tetapi perceraian itu tidak pernah terjadi. Siapa yang tahu sang mertua lebih mengembuskan napas terakhirnya sebelum proses perceraian itu dimulai.

Elva memasukkan kembali kalung itu ke dalam kotaknya. Meletakkannya di laci paling sudut. Lilyana Hart, atau Lily Rose Hart. Ia tak akan membuat wanita itu menghancurkan istana yang dimilikinya dengan susah payah. Dengan pengorbanan di seluruh hidupnya. Ia harus membuat wanita itu tersingkir dari hidup putranya. Dari hidup mereka.

*** 

“Sudah selesai?” Barron mendekati Lily yang melambaikan tangan pada mobil tuan Reno yang semakin menjauh.

“Hmm, ya. Setidaknya aku tahu seharusnya kalung ini hanya ada satu.” Lily terdiam. “Setiap kali mengenakannya, papa mertuaku selalu menatapku.:

“Kenapa?”

Lily terdiam sejenak lalu menggeleng. “Sudah lewat tengah malam, sebaiknya aku pulang.”

“Cave?”

“Mungkin sedang bersenang-senang. Aku tak melihatnya.”

“Aku minum beberapa, jadi tak mungkin membawa mobil untuk mengantar wanita hamil pulang.”

“Sopirmu?”

“Aku akan mencoba menghubunginya, tapi tadi aku sudah menyuruhnya untuk istirahat. Dia terlihat tidak sehat hari ini, itulah sebabnya aku memesan kamar untuk bermalam dan membawa beberapa pakaian ganti untuk besok pagi.”

Lily menghela napas. “Mungkin aku akan mencari taksi.”

Barron menggelebng. “Ini sudah larut.”

“Jadi pilihan apa yang kumiliki?”

“Ada banyak kamar di gedung ini. Ayo.” Barron membawa Lily menuju meja resepsionis. Hanya untuk menemukan semua kamar sudah penuh. Barron pun menawarkan kamar miliknya untuk Lily.

“Bukankah sangat aneh? Kenapa semua kamar tiba-tiba penuh?” gerutu Lily saat keduanya berada di dalam lift. “Dan benar-benar semua.”

“Sejujurnya tak mengherankan. Bertepatan dengan hari libur dan pesta perayaanmu. Ada banyak tamu penting, jelas semuanya membutuhkan privasi dari pencari berita. Mungkin itu yang dimaksud tak ada kamar lagi.”

Lily manggut-manggut. “Hmm, kau benar.

“Kecuali kau ingin suite.”

“Tidak. Aku hanya beristirahat beberapa jam.”

“Oke.”

Pintu lift terbuka dan keduanya melangkah bersama, melewati beberapa pintu dan membuka pintu di sebelah kiri. Mempersilahkan Lily masuk lebih dulu. Ketika pintu kamar tersebut terbuka, seseorang muncul dari pintu darurat. Berhenti di depan pintu tersebut dan memotret nomor yang menempel di bagian tengah pintu. 1902. Mengirim gambar tersebut ke kontak yang tersimpan di ponselnya.

*** 

Elva menyeringai. Setelah menghamburkan uangnya untuk menyewa semua kamar di gedung teersebut, tentu saja gambar ini setimpal dengan semua harganya. Mengirim pesan untuk tetap berjaga di sana hingga pagi. Ia kemudian meletakkan ponselnya di nakas setelah memasang alarm satu jam lebih awal. Berbaring dengan posisi yang nyaman dan menarik selimut hingga pundak. Tak membuat suara sekecil apa pun agar tak membangunkan sang suami yang tidur dengan posisi memunggunginya.  Tak peduli dengan apa yang dilakukannya seperti yang sudah-sudah.

----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro