14. Perkara Dinner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sesuai dugaan Vicky, anak-anak di kelasnya pasti bakal memperhatikan. Apalagi saat Vicky berjalan menahan sakit di area pinggang dan paha yang sempat menjadi sasaran Bella. Semua orang seakan-akan tahu kejadian itu. Hanya Vicky dan Lizzy yang terkesan bodoh. Mereka semua seperti bersekongkol dengan Bella. Apalagi Luthia.

“Duh, nggak sengaja. Sakit, ya?” Luthia terkekeh setelah menyenggol lengan Vicky.

Rasa sakit di lengannya juga masih terasa. Gerombolan Luthia pun terbahak-bahak karena aksi tadi. Kalau dalam kondisi normal, Vicky bakal membalas perbuatan gadis itu. Namun, bukan saatnya mencari masalah. Travis sudah berjanji akan membuat anak-anak itu tidak mengusiknya lagi. Semoga saja.

“Vicky, ditunggu Travis, tuh. Ayo!” ajak Lizzy setelah membereskan pekerjaannya—hari itu mereka piket bareng setelah jam pelajaran Seni berakhir.

Benar, di depan kelas rupanya Travis sudah menunggu. Vicky tersenyum ramah pada sang kekasih. Dahulu saat masih di SMA Airlangga, mereka jarang bertemu. Sekarang Vicky tidak sabar menerima perlakukan manis sang pacar. Lizzy berpamitan karena Vicky akan aman karena ada pemuda itu.

Travis meraih tas ransel Vicky dan menyampirkan di pundak. “Aku mau ngajak kamu dinner, tapi kayaknya badan kamu sakit.”

“Bisa, kok. Jam berapa kita berangkat? Aku sebenarnya males banget pulang, Tra. Papa lagi dinas ke luar kota.”

Tangan Travis dengan santai mengacak pelan puncak kepala Vicky. “Nanti mamanya Ricky khawatir kalau kamu nggak pulang.”

Tawa kecil Vicky terdengar. Khawatir apanya? Anak dan ibu sama saja. Kalau tidak ada Winata di rumah, mereka mana peduli dengan Vicky? “Tra, aku bisa ikut kamu aja nggak? Aku nggak mau pulang.”

“Hei, nanti mereka khawatir sama kamu.”

“Aku jamin setelah pulang nanti, nggak ada siapa pun di rumah. Mamanya Ricky suka pulang malem. Ricky? Kamu pasti lebih tau dia.”

Langkah keduanya berhenti di depan motor Travis. Sorot mata pemuda itu mengarah pada Vicky selama sekian detik. Sementara yang ditatap hanya memperlihatkan kerutan di dahi pertanda ia sangat heran.

“Kamu yakin mau ikut aku?” tanya Travis seraya membantu Vicky mengenakan helm.
Gadis berwajah tirus nan kecil itu mengangguk.

“Aku males pulang. Kamu nggak keberatan, kan, kalau aku kenalan sama papa dan mamamu?”

“Mereka nggak di rumah. Sekarang udah pindah karena pekerjaan. Jadi, aku di rumah cuma bareng pembantu dan sopir. Kamu nggak takut? Rumahku sepi, loh.”

Kekeh pelan Vicky pun terdengar. “Nggaklah. Aku percaya sama kamu. Boleh, kan, aku ke rumah kamu sampai kita dinner nanti? Apa pulang dulu ngambil bajuku? Masalahnya aku nggak ada baju ganti.”

“Nggak masalah, itu gampang. Ayo!”

Walau agak heran, Vicky tetap patuh saat Travis mengajaknya naik ke motor. Siang itu tanpa memedulikan rumah, Vicky memilih pergi bersama Travis. Bodoh amat dengan ibu dan saudara tirinya, toh mereka bukan keluarga bagi Vicky. Ricky dan mamanya hanyalah orang asing.

—oOo—

“Aku nggak tau kalau kamu punya sepupu, Tra,” cetus Vicky. Sebenarnya itu perkataan yang sudah ia tahan sejak tiba di rumah Travis sampai malam tiba.

“Dia pernah tinggal di rumahku sebelum pindah ke London. Maaf, ya, aku baru ngasih tau. Kamu jangan curiga, itu beneran baju dia, kok.”

Tadinya dia memang agak kaget saat Travis memberikan setelan baju perempuan saat tiba di rumah keluarga Hattala. Namun, setelah dijelaskan, barulah ia mengerti. Travis juga membelikannya sebuah gaun putih selutut hanya untuk dikenakan malam itu. Perlakuan Travis benar-benar membuat Vicky lupa akan rumah.

Malam itu di lantai paling atas sebuah restoran ternama di Jakarta Pusat, Vicky dan Travis menikmati acara makan malam mereka. Suasana yang tenang dengan pemandangan lanskap kota membuat Vicky terbuai. Tak pernah terpikir kalau Travis bakal mengajaknya ke restoran bernuansa elegan dengan dekorasi chandelier. Benar-benar cocok untuk citra Travis yang tenang.

“Mereka benar-benar nggak menghubungi kamu,” cetus Travis pada Vicky. Gadis yang sedang menikmati Butter Shoyu Pasta pun mengangkat kepala.

“Memangnya apa yang mau aku harapkan? Aku nggak masalah kalau mereka nggak khawatir. Toh, mereka bukan keluargaku.”

“Kamu yakin banget kalau mereka nggak peduli.” Kini giliran Travis yang beralih menikmati makannya. “Ricky walaupun terlihat nggak peduli, aslinya peduli banget.”

“Males, deh, kalau bahas dia. Ini acara kita, Tra. Lagian aku nggak peduli sama dia dan mamanya.”

Senyum tipis Travis pun terukir. Jemarinya dengan lembut mengusap punggung tangan Vicky. Atensi mereka beralih ke benda pipih di dekat gelas Vicky. Getarnya membuat Vicky meraih benda itu.

[Ricky Sialan:]
Lo di mana? Kenapa jam segini belum pulang? Lo lagi sama Travis, kan?

“Sialan ....” Vicky mengumpat samar saat Ricky mengirim balasan. Dari mana cowok itu tahu kalau sekarang dirinya sedang dinner?

“Kenapa, Vicky?”

“Anu ... ini ....” Kedua bola mata Vicky melebar saat melihat pesan masuk yang baru saja dikirim lagi oleh Ricky. Dia bisa saja mengumpat kalau tidak ada Travis di sana.

[Ricky Sialan:]
Gue tau apa yang lo lakukan sama Travis di UKS. Kalau lo belum kembali dalam waktu tujuh menit, jangan salahkan gue kalau Papa tahu tentang kelakuan lo di sekolah.

[Ricky Sialan:]
Fyi, Papa pulang malam ini.

[Vicky:]
ANJINGGG!

Tiba-tiba Vicky gusar di tempat. Tak mungkin kalau Winata pulang secepat itu. Namun, bisa jadi juga Ricky tidak berbohong. Anak itu juga cukup nekat. Demi menenangkan diri, Vicky merampas segelas air mineral dan menandaskannya. Ricky ... cowok gila!

Ia bangkit setelah mendorong kursi ke belakang. Suara decitannya menggema sesaat Travis ikut berdiri melihat wajah Vicky yang ketakutan.

“Ada apa, Vicky?”

“Aku harus pulang.”

“Tapi, makanan kamu belum abis.”

Vicky menggeleng. “Aku nggak bisa lama-lama. Papa pulang malam ini atau mungkin Papa udah sampai rumah.” Ia menjambak rambutnya sendiri. Kalau sampai Winata menangkap basah dirinya pulang malam, tamatlah riwayatnya.

Tanpa berkata apa pun, Vicky bergegas keluar dari ruangan itu. Travis mengekor di belakang Vicky dengan tergesa. Mobil yang membawa mereka ke tempat itu sejak tadi pasti masih terparkir di halaman restoran, jadi paling tidak Vicky tidak usah kesusahan mencari taksi.

Lift berbentuk kapsul membawa mereka turun dari lantai atas. Tiba di lobi utama, Vicky mempercepat langkah. Travis sambil berkali-kali menahan tubuhnya saat hampir terjatuh. Langkah Vicky tertahan saat melihat sosok yang tidak asing di depan sana. Bersandar pada mobil Winata sambil bermain ponsel.

“Ricky ....” gumam Vicky. Hal yang lebih membuatnya kaget adalah mobil Winata.

“Akhirnya keluar juga.” Ricky menyapa mereka dengan santai. “Bikin repot.”

“Lo ngapain di sini? Kenapa pake mobil Papa?”

Ricky menatap Vicky sesaat sebelum beralih memperhatikan Travis. Raut wajah Travis yang tenang begitu kontras dari Ricky yang menyimpan kemarahan. Perasaan Vicky menjadi tak enak. Jangan sampai mereka berdua ribut. Dia buru-buru berdiri di tengah keduanya.

“Lain kali izin dulu. Lo ngerti sopan santun nggak?” tanya Ricky pada Travis.

“Izin? Sama siapa? Om Winata dan mama lo nggak ada di rumah kata Vicky. Berarti izin ke lo?” Senyum tipis Travis pun terlihat. Namun, wajahnya kembali tenang. “Kalian saudara tiri, kan? Jadi, buat apa gue izin sama lo?”

Melihat ketegangan yang berlangsung, Vicky segera merentangkan tangan. Enggan membuat keributan dan memancing atensi orang lain. Lebih baik kali ini Vicky memilih pulang. Sebab, kalau Winata sungguh telah kembali, pasti akan lebih buruk kalau dirinya kukuh ikut dengan Travis.

“Tra, aku pulang aja.” Vicky berbalik menatap kekasihnya. Ia memegang lengan Travis untuk meyakinkan pemuda itu. “Kamu nggak usah nganterin, langsung pulang, ya.”

“Aku nggak suka kamu pulang sama dia.” Travis tetap memfokuskan tatapannya pada Ricky.

“Gimana, ya? Tapi, Vicky harus pulang sama gue.”

Hampir saja Vicky mengumpat saat Ricky menarik pergelangan tangannya. Kini meski ia mencoba berontak, tetapi tenaga Ricky ternyata jauh lebih kuat. Syukurlah, Vicky melihat Travis tidak terpancing. Ia justru mengulas senyum sambil mendekati Vicky.

“Hati-hati, ya. Besok aku jemput.”

Agaknya Travis juga malas membuat keributan. Alhasil cowok jangkung itu melenggang pergi. Meninggalkan Vicky dan Ricky yang terdiam di depan mobil Winata. Vicky memperhatikan punggung Travis sampai menghilang setelah naik ke mobil. Dalam hitungan detik, mobil yang ditumpangi Travis pun menjauh.

Vicky buru-buru menarik tangannya dari sang saudara tiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengangkat tangan dan bermaksud menampar Ricky yang sudah dianggapnya kurang ajar. Namun, Ricky dengan sigap menahan lengan gadis itu.

“Lo ngancem gue? Papa nggak benar-benar kembali, kan?”

“Kita lihat aja di rumah.”

“Mau lo apa, sih, Bangsat?!”

Ricky tersenyum menyeringai. “Kalau hari ini Papa marah, gue nggak akan bantuin lo. Ah, gue nggak bercanda, Papa emang minta gue jemput lo. Untung Travis sempat bilang rencana dinner kalian ke Justin, jadi gue nggak perlu susah payah mencari kalian.”

Tangan Vicky pun didorong dengan sedikit kasar. Hingga tangan itu pun terlepas dari cengkeraman Ricky. Vicky kehabisan kata-kata karena suara dan kalimat Ricky yang sangat serius.

“Kali ini walaupun memohon, gue nggak akan bantu lo. Hari ini ... lo benar-benar menyebalkan, Vicky.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro