21. Pemicu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sejak mengetahui topeng di balik wajah polos Kana, kabar tentang Tsania adalah mantan pelacur pun mulai menyebar dengan luas di angkatan mereka. Vicky sudah menduga siapa pelakunya. Hal itulah yang memicu kemarahan Vicky.

Suatu hari, tepatnya di hari ketiga kabar itu menyebar, Vicky menyeret Kana ke gudang sepi. Di sanalah ia menghajar Kana habis-habisan. Namun, gadis itu tak mau mengakui kesalahannya. Sehingga Vicky tak tahu harus menghajarnya bagaimana lagi.

Ia memilih keluar dari gudang hanya untuk menemukan cara lain. Sayangnya, hal mengenaskan itu terjadi. Hari itu Debby-lah yang menyelesaikan semuanya untuk Vicky, walau tak pernah diminta. Dialah yang mendorong Kana dari atap setelah menyeret tubuh lemah gadis itu.

Setiap mengingat kejadian itu, Vicky terbayang wajah Kana berkali-kali. Wajah polos yang ternyata tak jauh berbeda dari dirinya. Kana juga memakai topeng. Saat itu Vicky merasa sifat asli Kana muncul karena dipicu pertukaran siswa dan keputusan Vicky yang tak ingin berteman dengannya. Namun, Vicky tidak tahu ada hal lain.

“Video apa, ya?” gumam Vicky.

Setelah menyudahi ingatannya tentang Kana, Vicky kembali menatap layar ponsel. Ia mengetuk dua kali pada layar persegi tersebut. Meski agak deg-degan, Vicky tetap menontonnya. Entah apa yang akan kedua matanya lihat di sana.

“Sejak kapan lo di sini?”

Suara itu tak asing. Vicky meraih earphone dan mengenakannya hanya agar lebih jelas mendengar suara itu. Tak salah lagi, itu suara cowok. Vicky sangat mengenalnya. Tidak mungkin ia salah dengar.

“Emangnya gue nggak boleh ke sini? Rumah ini udah kayak rumah gue. Lo nggak lupa, kan?”

Kalau yang itu adalah suara Kana. Vicky mengernyitkan dahi. Untuk apa mereka berbicara?

“Gue denger lo lagi sibuk, ya? Mau-maunya lo disuruh sama dia? Lo tau dia cuma main-main. Nggak serius sama cewek itu.” Suara Kana kembali terdengar.

“Justru karena dia berniat main-main, berarti harus ada satu pihak yang serius, kan?”

Ada jeda sesaat. Kini Vicky bisa melihat wajah Kana. Senyum tipis terlihat di wajahnya. Dalam video itu, Kana melangkah pelan menghampiri cowok yang sejak tadi menjadi lawan bicaranya. Vicky menutup mulut saat melihat siapa yang duduk di ruangan itu. Tepat sofa beludru pojok ruangan. Cowok itu menatap dingin ke arah Kana.

Tanpa terganggu dengan ekspresi cowok tersebut, Kana dengan santai menjatuhkan tubuh di pangkuan cowok tersebut. Tangannya terkalung di leher itu.

“Jadi, benar kalau lo suka sama cewek itu? Lo tau perasaan gue, kan?”

“Sampai kapan lo kayak gini?”

Ekspresi Kana terlihat tak terima dengan pertanyaan itu. “Lo tau sendiri kalau  cewek itu lebih tertarik sama dia. Bukan lo. Lo cuma orang yang diminta mengurus keperluan cewek itu! Dia nggak tulus sama cewek itu!”

Si cowok menepis kedua lengan Kana. Namun, Kana tak mau beranjak. Ia menekan bahu cowok itu hingga bersandar sepenuhnya di sofa.

“Gue kenal cewek itu dan gue akan melindunginya. Baik dari lo maupuan dari dia.”

“Oh ya? Gue ... akan buat cewek itu menderita. Gue dengar-dengar mamanya pelacur, ya?”

Dugaan Vicky tak salah. Sejak tadi yang menjadi topik pembicaraan adalah dirinya. Vicky menghela napas, tak sanggup lagi melanjutkannya. Berbagai asumsi negatif terus berdatangan dalam pikirannya.

“Coba aja, tapi dia bukan lawan yang setara buat lo.” Cowok itu tersenyum miring.

“Buat gue mungkin nggak. Tapi, lo nggak lupa kalau ‘dia’ bisa melalukan apa pun, kan? Lo salah udah nolak gue hari ini, Ricky.”

—oOo—

Ricky dan Kana ... sungguh di luar dugaan Vicky kalau mereka akan memiliki hubungan seperti itu. Ternyata kini Vicky mulai memahaminya sedikit demi sedikit.

Dari dahulu ternyata Kana memang sudah tahu tentang rahasia Tsania. Entah dari mana, tetapi itu dijadikan alasan untuk memancing emosi Vicky. Pemicu lainnya pasti karena ... degup jantung Vicky berdetak lebih cepat. Wajah Ricky memenuhi seluruh ingatannya.

“Kenapa lo kelihatan sefrustasi ini?” Lizzy baru saja datang seraya menyerahkan sebotol minuman dingin di hadapan Vicky.

Terlihat Yurei menyusul di belakangnya bersama Alvin. Tumben cowok itu tak mengekori Juanda atau Justin. Keduanya lantas mengambil tempat di samping Lizzy.

“Kenapa kalian ke sini?” tanya Vicky memastikan.

“Takutnya ada yang ganggu lo lagi. Ricky meminta gue ke sini.”

Penuturan Alvin makin membuat pikiran Vicky kusut. Entah sudah berapa kali dirinya menghela napas hari itu. Kini ia mengedarkan tatapan ke penjuru kelas. Tumben suasana menjadi sangat tenang. Apa mungkin mereka lelah bertingkah setelah diancam Ricky dan Travis? Bella dan para jongosnya pun tak muncul lagi mengganggu Vicky. Selama kelas berlangsung Luthia dan Gian tidak memedulikan Vicky. Biasanya mereka rese banget. Bikin Vicky tak betah di kelas.

“Eh, liburan semester nanti kita main, yuk? Ayahku ngasih izin buat pake villanya. Kalian mau nggak?” Yurei memecah suasana yang sempat terasa canggung, bagi Vicky.

“Aku juga boleh ikut nggak, Yurei-Chan?”

“Boleh, dong. Sekalian ajak teman-temanmu. Makin banyak orang, makin ramai. Iya, kan, Lizzy-Chan?”

Gadis kalem pemilik lesung pipi itu mengangguk takzim. Hanya Vicky yang tak fokus pada pembicaraan itu. Pikirannya masih terlalu penuh. Nama Ricky dan Travis terus bergaung tanpa henti. Wajah mereka berseliweran tak sopan pada memorinya.

“Vicky, ada apa?” tegur Lizzy.

Alvin yang duduk di samping Lizzy pun mengangguk takzim. “Lo nggak usah pikirin mereka, Vicky. Semuanya udah aman sekarang. Tenang aja, ada Ricky.”

Ricky lagi! Vicky jadi mengingat video yang ditontonnya kemarin. Tak mau membahas Ricky, ia beranjak dan berpamitan dengan alasan ingin ke kamar mandi. Sebetulnya, tidak. Vicky hanya ingin berkeliling mencari udara segar untuk menjernihkan pikirannya.
Ia menyusuri koridor sekolah. Meski tak diganggu lagi, tetapi Vicky masih melihat tatapan kebencian dari murid-murid lain. Lambat laun ia menjadi terbisa. Satu-satunya hal yang dilakukannya adalah tidak menggubris mereka.

Kedua kakinya yang ramping berhenti saat melihat Ricky dari kejauhan. Tak hanya Ricky, tetapi Travis juga.
Keduanya berjalan bersisian. Ia mengamati Ricky selama sekian detik, teringat lagi akan video itu. Tadi pagi juga Vicky tak berkata apa pun saat berangkat dengan Ricky. Ia masih menolak hal itu.

Tanpa ia sadari, kini kakinya melangkah mengekori kedua cowok itu. Ricky dan Travis berbelok ke area gimnasium. Tempat Vicky dan Travis berbicara hari itu. Bahkan sampai berciuman segala. Wajah Vicky mendadak panas mengingat hal tersebut.

Kini gadis itu menempelkan punggung di balik tembok gimnasium. Kedua cowok itu tepat berada di sampingnya. Hanya saja taja terlihat oleh mereka kehadiran Vicky di sana. Ia merapatkan tubuh dan memasang telinga untuk mendengar obrolan mereka.

“Jadi, apa mau lo?” Suara Travis yang pertama kali terdengar.

“Dari awal udah gue bilang, jangan ganggu dia. Tapi, makin ke sini kayaknya lo makin keterlaluan. Dia akan meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Jadi, berhenti melakukan hal-hal yang bisa bikin pertemanan kita hancur.”

“Bukannya pertemanan kita udah hancur sejak lama?”

Vicky yang menguping, pun menggigit bibir sendiri. Tak percaya dengan pendengarannya. Ia kembali memasang telinga, menunggu jawaban Ricky.

“Ganggu dia, lo berurusan sama gue.”

Tawa Travis terdengar sesaat. “ Lo bukan seperti Ricky yang gue kenal. Kalau lo berani, kenapa selama ini lo terus bersembunyi? Takut sama fakta bahwa Vicky lebih suka sama gue?”

“Ya, itu kebodohan gue sejak dulu. Sejak tahu dia adalah calon saudara tiri gue, seharusnya hari itu gue berhenti melakukan apa yang lo suruh. Vicky seharusnya nggak terjebak sama lo, Tra. Tapi, karena Vicky kelihatan benci gue, gue cuma bisa melalukan ini.
Memperhatikannya dari belakang dan kalau sampai lo kelewatan, gue nggak akan tinggal diam. Sejak lo dan Vicky dekat, gue tahu lo nggak pernah tulus ke dia.

“Selama ini yang ada di belakang lo adalah gue. Lo nggak lupa siapa yang menyiapkan apa pun yang Vicky butuhkan saat dia meminta ke lo? Di depan dia, lo kelihatan peduli. Tapi, di belakangnya lo nggak pernah benar-benar memperhatikan apa yang dia inginkan. Lo ... bahkan berniat merusaknya.”

“Wow, wow ... bicara lo keterlaluan sekali, Ricky. Apa buktinya?”

Untuk sesaat Vicky tak mendengar obrolan mereka lagi. Setelah sekian detik, suara mereka kembali terdengar. Namun, tak terlalu jelas. Ia yakin itu hanya suara rekaman yang sengaja diputar seseorang.

“Gue mau ajak Vicky dinner malam ini. Kalau sampai Ricky tahu Vicky udah rusak, dia  pasti bakal marah besar. Gue nggak sabar lihat dia berhenti jadi pengecut.”

Vicky menutup mulut saking kagetnya. Ia kenal suara berat itu milik Travis. Kakinya sedikit bergetar saat mendengarkan rekaman itu. Ia mengepalkan tangan kanan di sisi tubuh. Berusaha menguatkan diri untuk mendengarnya.

“Justin yang merekam semua ini,” ungkap Ricky.

“Ya, karena gue yang minta. Jadi, Ricky ... sampai kapan lo akan kayak gini?”

“Berhenti ganggu Vicky, selagi gue meminta secara baik-baik. Dia akan datang mengakui kesalahannya.”

“Cewek yang punya ego tinggi kayak Vicky? Gue nggak lupa apa yang dialami Kana, Ricky. Jadi harusnya lo paham kenapa Vicky mendapatkan perlakuan itu. Berhenti jadi pahlawan di belakangnya dan berpura-pura menjadi kakak tiri yang baik. Perasaan lo tetap nggak bisa bohong. Dari dulu ... lo menyukainya, kan?”

Vicky nyaris tak bisa bernapas untuk sesaat. Ia tak bisa mempercayai pendengarannya sendiri. Dugaannya benar. Pemicu lain dari tindakan Kana adalah Ricky. Lebih tepatnya penolakan Ricky. Lebih tepatnya lagi, Ricky tidak menyukainya, tetapi menyukai orang lain. Gadis itu ... Vicky.

Hi, Oneders!
Dari sini udah kelihatan siapa yang red flag sebenernya. Eh, nggak deng. Dari part-part sebelumnya udah kelihatan, sih~

Thanks, buat yang masih ngikutin kisah Vicky~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro