25. Topeng

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Vicky tidak tahu sudah berapa jam dirinya kehilangan kesadaran. Pun sekarang entah sudah pukul berapa. Gadis bertubuh langsing itu berusaha meraba kepalanya sendiri, merasakan sesuatu yang sedikit meleleh terjatuh ke dahi. Ada cairan berwarna kemerahan dan ia yakin itu mungkin akibat kena pukulan beberapa jam lalu.

Perlahan Vicky mengangkat tubuhnya sendiri meski kepala kembali terasa berat. Sekujur tubuhnya pun tak pelak terasa sakit. Gadis itu mengejapkan mata sesaat setelah terduduk lemah. Ruangan tersebut kecil, entah difungsikan sebagai ruangan apa dan yang jelas bukan gudang. Ada rak setinggi pinggang di sisi kanan ruangan, tetapi tidak diisi apa pun. Sementara di dekat rak teronggok sofa beludru yang tak asing.

“Ini kan ....” Ia bergumam berusaha mengingat di sela rasa sakit yang berdenyut di kepala. Ah! Tidak salah lagi. Vicky ingat ruangan yang ada di video Kana dan Ricky.

“V-Vicky.”

Suara lemah itu membuat Vicky menoleh ke belakang. Matanya membulat sempurna saat menyadari bahwa dirinya tidak sendirian di ruangan tersebut. Cewek itu terduduk di atas kursi dengan kaki dan tangan yang terikat. Rambutnya berantakan, persis seperti mukanya yang juga meninggalkan jejak lebam.

Vicky merangkak ke arah Debby dan untuk pertama kali ia merasakan kaki dan tangannya bergetar saking takut. Melihat keadaan lemah Debby, perasaan Vicky makin tak membaik. Ia berusaha membebaskan gadis itu dari ikatan, tetapi rupanya gagal karena tali yang menjerat Debby terlalu erat.

“Kenapa lo ada di sini? Bukannya lo ... polisi ... kenapa?” Terputus-putus ia berucap. Segala asumsi buruk terus menyerang kewarasannya.

“Semuanya udah tamat.”.

“JANGAN GILA!”

“Kita akan berakhir di sini.”

“NGGAK!”

Sekuat tenaga Vicky bangkit berdiri meski agak sempoyongan. Ia berjongkok lagi membuka ikatan tangan Debby dengan sekeras mungkin. Namun, kekuatannya yang tak seberapa membuat Vicky tak mampu. Perasaannya terbakar hebat seiring rasa muak dan kesal yang menyergap cepat. Kaki dan bibirnya bergetar seirama begitu rasa takut datang secepat kilat. Mendadak matanya terasa panas dan sakit, ada sesuatu yang siap untuk menyeruak keluar, air matanya.  Namun, Vicky berusaha menahan itu. Dalam keadaan itu ia malah menjadi lemah.

“Lepas! Lepas!” teriak Vicky menarik kasar tali-temali yang melilit kaki dan tangan Debby.

“Vicky, gue nggak apa-apa.”

“Diam, sialan! Kita harus kabur dari sini.”

Debby tidak bersuara lagi dan menunduk dalam diam. Sementara Vicky segala usahanya, tak kunjung bisa membebaskan tangan Debby yang sudah memucat. Mereka mengikatnya terlalu kuat.

“Maaf.”

Gumaman itu terlalu jelas di ruangan yang sangat hening. Selama ini Vicky tidak pernah mudah mengucapkan kata maaf, tetapi melihat orang lain menderita—lebih-lebih orang terdekatnya—Vicky merasa batu-batu besar menghantam dadanya tanpa henti. Rasa bersalah. Ya, itu rasa bersalah.

“Karena gue lo harus terlibat dan dihukum mereka,” imbuh Vicky.

“Bukan karena lo, tapi gue sendiri yang menerima tawaran Ricky buat memastikan lo aman.”

Nama itu membuat Vicky menunduk dalam. Entah harus marah atau tidak, tetapi yang jelas kini dia tahu siapa yang benar-benar memiliki niat baik. Hanya saja karena kebodohannya merundung Kana, kini Debby malah terseret juga. Vicky meremas tangan yang bergetar dan duduk bersimpuh di hadapan Debby. Ia menunduk sedalam mungkin, bahkan sampai telapak tangannya menyentuh lantai dingin.

“Ini semua gara-gara gue yang melibatkan lo. Tindakan gue yang udah bikin mereka menderita dan hari itu lo udah mencegah gue untuk nggak berurusan dengan Kana, tapi gue bebal.”

Isak tangis Debby tiba-tiba merebak di udara. Vicky pun sama, tetapi bedanya ia menangis tanpa suara. Terbayang kembali kenangan lama yang telah mereka lewati. Kini ia mulai sadar bahwa memang Debby-lah yang selalu ada di sisinya. Saat semua anak-anak Airlangga ketakutan dan menjauhinya karena kabar beredar bahwa ia anak seorang pelacur, Debby tidak pernah beranjak sedikit pun.

“Apa perlu gue menghajar mereka?”

“Nggak perlu. Gue bisa sendiri. Lo cukup amati aja gimana cara gue bikin mereka bungkam.”

Kata-kata yang dahulu seharusnya tidak Vicky ucapkan begitu saja. Sebelum kejadian itu, Vicky mendapati sikap Debby yang penuh perhatian. Suatu hari ia mendorong seorang anak kelas bahasa karena hampir menyerempet Vicky saat pulang sekolah.

Hal lannya: Debby akan dengan senang hati membelikan makanan, mengajak ke kantin, membawanya ke UKS saat merasa tak enak badan, dan bahkan rela berjam-jam menunggu Vicky di toilet sekolah kalau sedang butuh waktu sendiri. Sebab, Vicky selalu mengurung diri di bilik toilet setelah bertengkar dengan papanya.

“Mama gue beneran pernah melacur.” Suatu hari Vicky membuat pengakuan saat mereka duduk di depan minimarket. Hari itu mentari sangat terik dan mereka menunggu jemputan Vicky. “Apa lo nggak keberatan?”

“Memangnya kenapa? Semua orang punya masa lalu yang buruk. Apa pun masa lalu orang tua kita, bukan berarti kita nggak bisa berteman, kan?”

“Tapi, gue memukul dan merundung orang. Suatu saat lo bakal kena kalau lo nggak hati-hati.”

Debby menegak air mineralnya seraya menggendong tas ransel Vicky. “Gue nggak membenarkan tindakan lo, tapi gue juga ikut memukul mereka kadang. Jadi, kalau memang gue harus kena, ya nggak apa-apa karena gue bersalah.”

“Bodoh!” Vicky bangkit dari kursi minimarket. “Sini tas gue. Mulai besok lo nggak usah bawa-bawa tas gue lagi.”

“Kenapa? Gue nggak keberatan.”

“Gue yang keberatan.” Setelahnya Vicky berjalan meninggalkan Debby. Membuat gadis itu berdiam diri sejenak memperhatikan punggung kecil Vicky.

Kaki kecil Debby berlari cepat menghampiri Vicky. Menyusul berjalan di sampingnya. Siang yang terik mereka berjalan pelan di trotoar.

“Gue percaya kalau lo sebenarnya bisa jadi orang baik.”

“Cih, nggak usah terlalu yakin.”

“Gue juga nggak keberatan jadi temen lo.”

Kalimat Debby membuat Vicky menghentikan langkah. Jarak mereka hanya terpisah lima jengkal. Vicky mengamati gadis berpipi tembam itu. Seumur hidup hanya satu orang yang pernah berkata ingin menjadi temannya. Ia pikir Debby hanya memanfaatkan kesempatan agar tidak dirundung oleh anak-anak lain. Namun, ternyata tidak. Debby sungguh tulus menemaninya.

Vicky menghela napas dan merogoh sesuatu dari tas. Ia menjulurkan sebuah plastik bening berisi sebuah gelang berwarna merah muda. Gelang itu pemberian Tsania, katanya oleh-oleh liburan dari Jepang.

“Buat lo.”

“Wah, bagus banget. Cantik. Terima kasih, Vicky.” 

Senyum Debby yang mengembang antusias membuat Vicky tersenyum tipis. Ia buru-buru menarik senyum saat Debby menatapnya. Namun, senyum itu justru sempat ditangkap oleh sang teman.

Debby ikut memamerkan senyum seraya memakai gelang pemberian Vicky. “Gue nggak heran kenapa dia suka dan pengin melindungi lo.”

“Apa?”

“E-eh?” Debby nyengir lebar dan menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.

Ingatan Vicky tentang masa lalu yang telah lewat pun terhenti sampai di sana. Baru hari itu ia tahu bahwa perkataan Debby tentang ‘suka’ dan ‘melindungi’ adalah Ricky. Perasaan Vicky makin tersayat-sayat perih. Sampai tidak tahan lagi hanya dengan menangis tanpa suara. Isak tangisnya pun merebak di ruangan yang sepi itu.

Ia mengangkat wajah dan melihat Debby yang tersenyum di sela tangis. Wajah Debby makin kelihatan kurus dan jejak kehitaman mewarnai area matanya. Bibir pucat dan kering itu bergetar membuat kemarahan Vicky makin menjadi.

“Ini pertama kali gue lihat lo menangis,” gumam Debby di sela tangisnya.

Namun, Vicky tidak merespons dan masih tetap membiarkan air matanya menetes deras. Dia tak peduli lagi pada air mata dan pertahanan, perasaannya sudah terlalu sakit.

“Ugh, udah sesi tangis-menangis aja, ih. Kapan mulainya, padahal gue mau ngikutin dari awal.”

Kedua gadis tidak berdaya itu serempak menoleh ke sumber suara. Tepat di ambang pintu, Bella berdiri sambil berkacak pinggang. Di sisi kanannya Jessica berdiri menyandarkan punggung ke kisi pintu. Senyum iblis mereka terbit melihat kondisi Debby dan Vicky yang menyedihkan. Mereka tersenyum demikian puas.

“Bangsat!” Vicky berdiri sekuat tenaga dan berlari hendak menerjang Bella. Namun, tubuhnya keburu terpental akibat dorongan kaki Jessica.

“Vicky!” teriak Debby meronta-ronta di atas kursi.

Sementara Vicky di bawah sana hanya bisa mengerang karena rasa sakit di perut akibat tendangan Jessica. Ia terkapar ke kaki sofa. Sekuat tenaga bangkit meraih-raih sofa sebagai pegangan. Anak-anak rambutnya mencuat menghalangi pandangan, tetapi jelas ia melihat Bella mendekat menyeret sebuah tongkat baseball.

Tongkat pesakitan! Ia teringat tongkat yang ada di ruangan Winata. Dalam hitungan detik, ujung tongkat menempel di kepalanya. Senyum iblis Bella kembali terlihat.

“Ayo kita main-main, Vicky.”

“Brengsek! Lo merencanakan semua ini?”

Bukan perkataan, melainkan pukulan kasar mendarat di bahunya. Vicky menjerit kesakitan saat tongkat itu menghantam kasar tubuhnya. Demikian Debby menjerit histeris meneriaki namanya berkali-kali. Namun, tubuh Debby pun ambruk bersama kursi setelah Jessica menendangnya dengan kasar.

“Lemah banget, sih?” Bella menarik dagu Vicky dan memandanginya jijik. “Anak pelacur, kok, jadi lemah begini? Nggak seru, ah. Jadi pengin pukul berkali-kali.”

Vicky baru saja akan menjawab, tetapi suara derap kaki yang mendekap membuat mereka semua terdiam. Samar-samar Vicky melihat ke pintu dan melihat siapa yang baru datang. Orang itu ... yang selama ini memakai topeng. Tangan Vicky terkepal kuat menatap wajah datarnya.

Ia menyeret langkah ke arah Vicky dan mendorong Bella untuk bergeser. Detik berikutnya cowok itu berjongkok mengamati wajah Vicky yang diburu amarah. Jemarinya terangkat membelai wajah Vicky, bahkan menyeka setitik darah di pelipis itu.

“Hei!” Travis mendongak pada Bella. “Biar gimanapun dia ini pacar gue. Lo nggak boleh terlalu kasar.” Dia kembali melirik Vicky dan memamerkan senyum lebar yang menurut Vicky sangat palsu. “Sakit, Babe? Maaf, ya. Teman-temanku emang keterlaluan. Kalau kamu nggak nakal, mereka nggak akan seperti ini.”

“Bajingan!” Vicky meludah sembarang di hadapan Travis.

Cowok itu tertawa singkat dan menarik dagu kecil Vicky. “Mereka nggak berhak menghukum kamu.” Ekspresi wajahnya berubah datar, lagi. Ia tak ragu mendorong wajah Vicky, berdiri dan berkata, “Malam ini tinggalkan gue bersama Vicky.”

Hi, Oneders!

Vicky update, lagi~

Sori banget Travis di sini jadi Villain-nya😆 tapi emang aku udah lama banget pengin ngasih dia 'karakter' begini :))
Tinggal dikit lagi say goodbye sama Vicky~

Thanks udah baca sampai sejauh ini~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro