8. Satu Kapal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak keluarganya berantakan, Vicky sama sekali tidak ingin jatuh karena keterpurukan. Dia tidak mau menjadi lemah, lalu menjadi sasaran anak-anak lain untuk dirundung.

“Mama dan Papa harus berpisah, Vicky. Sudah nggak ada kecocokan di antara kami. Kamu jadilah anak baik-baik dan jangan pernah melawan Papa.”

“Aku akan ikut Mama.”

“Nggak bisa. Mama akan pindah dari Jakarta. Bagaimana dengan sekolahmu? Jangan merepotkan Mama.”

Vicky makin sakit dianggap sebagai seseorang yang merepotkan. Bahkan oleh ibunya sendiri. Beberapa hari setelah Winata dan Tsania bercerai, Vicky mulai mendengar gosip tentang sang ibu. Mulai merambat dari mulut ke mulut yang dibawa oleh tetangga dan pekerja di kantor Winata.

Tsania adalah mantan pelacur. Mereka beranggapan bahwa wanita itu masih melacur hingga menikah. Kelahiran Vicky pun diduga sebagai hasil tidur dari banyak lelaki. Banyak yang curiga kalau Vicky bukan anak kandung Winata. Gosip kian merebak membuat Vicky geram. Teman-teman di SMP-nya pun mulai mengecap Vicky sebagai anak pelacur.

“Coba katakan sekali lagi? Bibir lo perlu disobek kayaknya?”

“P-pelacur ....”

Jemari Vicky menghantam bibir korbannya. Bahkan bibir itu sudah tidak terlihat jelas karena darah. Punggung tangan Vicky pun berlumuran cairan berwarna merah. Tak puas dengan pukulan, Vicky menyumpal mulut korbannya dengan kaleng minuman isotonik.

Gadis itu meronta-ronta di tanah. Serupa ikan yang menggelepar kehilangan oksigen. Perasaan Vicky berangsur puas dan bahagia melihatnya menderita. Dia adalah anak tetangga Vicky yang pertama kali menyebar gosip tentang Tsania di SMP mereka. Kejadian itu berlangsung sekitar dua atau tiga tahun lalu.

“Vicky, lo bisa membunuh orang.” Seorang gadis mengingatkannya. Dia jongos pertama milik Vicky, namanya Adel. Cewek gemuk yang pakai kacamata dan terkenal kutu buku.

Vicky menjadikannya jongos karena Adel yang pertama kali menyapa saat bersekolah di sana. Adel juga setia dan tidak banyak tingkah. Vicky senang dan menjadikannya tukang suruh.

Hari itu kasus bullying yang dilakukan Vicky tersampaikan kepada kepala sekolah. Vicky pikir akan kena marah dan dikeluarkan dengan cara tidak sopan, tetapi dia salah besar. Kepala sekolah tersenyum menanggapinya. Sementara orang tua korban pun tidak bisa berbuat banyak. Entah bagaimana mereka mengancam, sampai akhirnya orang tua korban menyerah.

“Maklum anak-anak. Bertengkar sedikit sudah menjadi makanan sehari-hari,” ungkap si kepala sekolah botak di SMP-nya.

“Bapak gila, ya?! Anak saya korban dan jalang kecil ini membuatnya babak belur.” Ibu dari korban menunjuk-nunjuk muka Vicky yang kelihatan tenang, tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. “Anak ini harus dikeluarkan dari sekolah!”

Sang Kepala Sekolah tersenyum lebar memperlihatkan deret giginya. Senyum yang bikin Vicky merinding.“Maaf, Bu. Memangnya siapa yang nggak marah kalau orang lain berbicara yang nggak pantas tentang orang tua seseorang? Kalau Ibu ingin Nak Vicky keluar dari sekolah, maka putri Anda juga harus keluar.”

Kedua pasang mata yang ada di hadapan Vicky langsung melebar kaget. Ibu dan anak yang sama-sama kompak tidak terima. Sementara Kepala Sekolah masih terlihat tenang.

“Video anak Ibu yang juga merundung anak-anak lain sudah ada di arsip kami. Bagaimana kalau sekalian kita bahas itu? Biar sama-sama enak, Nak Vicky keluar, anak Anda juga keluar atau kita nggak usah bikin keributan. Kita bisa menyelesaikannya dengan baik-baik.”

Begitulah hari itu terlewat, Vicky tidak jadi dikeluarkan. Kepala sekolah membelanya mati-matian. Entah karena apa. Lalu, anak yang menjadi korban pun tetap bersekolah, walau hanya satu minggu. Selepasnya dia memutuskan untuk keluar.

Vicky baru tahu alasan kepala sekolah membelanya setelah mendengar obrolan Winata di rumah. Papanya sedang bertelepon dengan seseorang. Tak salah lagi Si Kepala Sekolah.

“Terima kasih atas bantuan Anda, Pak. Saya dengar anak Anda berlatih piano. Saya akan membayar penuh untuk kursus pianonya.”

Dari sanalah Vicky tahu, bahwa Winata membereskan masalah itu untuknya. Sejak saat itu, bukannya kasihan kepada sang papa, Vicky malah merasa berada di atas angin. Kalau dia berbuat masalah, pasti akan ada Winata yang melindungi. Dalam sekejap, Vicky resmi menjadi murid kesayangan sang kepala sekolah dan beberapa guru pengikutnya. Sementara siswa-siswa lain, kecuali Adel, menjadi bahan bully-an Vicky.

—oOo—

“Sudah Papa peringatkan berkali-kali, jangan membuat masalah, Vicky!” teriak Winata di ruangannya.

Video kekerasan yang dilakukan Vicky baru saja sampai ke tangannya. Itu sudah kedua kali sang papa dipanggil ke sekolah. Pertama kali saat Vicky masih SMP. Kini Winata menatap penuh murka pada putri satu-satunya.

“Mereka berbicara buruk tentang Mama. Aku nggak terima.”

“Bukan berarti kamu bisa memukul anak orang! Mau jadi apa kamu kalau di sekolah seperti preman, hah?”

“Mereka nggak berhak berbicara kotor tentang mamaku!”

“Jangan mengeraskan suaramu, Vicky!”

Bentakan Winata membuat Vicky terdiam. Kalau papanya saja sudah berani membentak, Vicky tidak bisa berharap akan dibantu esok pagi. Papanya mungkin sudah berubah sejak Vicky tumbuh sebagai remaja yang keras.

Vicky hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. Semarah apa pun dia, tetapi untuk melawan Winata bukan hal yang tepat. Vicky masih menghargai papanya sebagai wali dan orang tua kandung. Sehingga Vicky tidak pernah ingin melawan Winata untuk berdebat.

“Aku nggak masalah diganggu oleh mereka. Tapi, jika mereka membicarakan kedua orang tuaku, aku nggak akan pernah menerimanya,” tukas Vicky.

“Tutup telingamu dan abaikan mereka.”

“Nggak bisa. Papa pikir aku bisa menghindar saat mereka berkata yang jelek-jelek tentang Mama Tsania? Atau Papa memang tidak peduli lagi pada Mama? Sudah begitu jatuh cintanya sama wanita perusak rumah tangga orang itu?”

“Vicky, jaga perkataanmu!”

Hening lagi. Baik Vicky dan Winata sibuk dengan pikiran masing-masing. Winata duduk di kursi kerjanya sambil memijat pelipis. Sementara Vicky berdiri mengepalkan tangan di sisi tubuh. Kemarahan tampak demikian jelas dari sorot matanya.

Keheningan itu pecah saat suara ketukan di pintu terdengar. Tepat sekali. Ricky datang dengan langkah santai. Berdiri di ambang pintu sambil mengulas senyum untuk Vicky dan Winata.

“Ada apa, Ricky?”

“Maaf mengganggu, Pa. Tapi, apa aku boleh masuk dan bergabung?”

Winata menatap putra tirinya sesaat. Pun dengan gampangnya mengangguk, mempersilakan Ricky masuk. Pemuda 17 tahun itu tersenyum senang, duduk dengan santai di sofa dekat Vicky. Sial! Posisinya sebagai Tuan Putri perlahan mulai tergantikan oleh Si Pangeran palsu. Vicky yakin kalau Winata pasti sangat mempercayai Vicky.

“Aku udah lihat video kekerasan yang dilakukan Vicky, Pa.”

“Bagaimana menurutmu?”

Apa-apaan ini sampai Papa berbicara setenang itu dengan Si Brengsek ini? Bahkan minta pendapatnya juga.

Ricky mendongak menatap sang saudara tiri. “Dia memang salah, aku nggak membenarkan tindakannya. Tapi, bukankah itu video lama? Vicky juga katanya sudah meminta maaf.”

“Benarkah?” tanya Winata melirik Vicky. Sementara gadis itu terkesiap kaget. Walaupun itu kebohongan, Vicky langsung mengangguk setuju. Baiklah. Dia akan mengikuti permainan Ricky kali ini. “Terlepas dari sudah minta maaf atau nggak, tapi ini tetap bukan hal yang baik Vicky. Bagaimana kalau besok kamu dikeluarkan dari sekolah?”

“Aku nggak akan berbuat seperti itu lagi. Papa ... bantulah aku,” ucap Vicky.

Winata menghela napas sesaat, lalu menyandarkan punggung ke kursinya. “Apa yang akan kamu lakukan kalau Papa membantumu?”

“Aku akan menjadi lebih baik.”

“Nggak cuma itu.” Winata melirik kedua anaknya bergantian. “Mulai besok Ricky akan menjagamu di sekolah. Kamu juga harus patuh padanya. Kalau nggak, Papa nggak segan membiarkan kepala sekolah bertindak semaunya dan memutuskan kamu keluar dari Trisakti.”

Sejujurnya, Vicky benci menjadi tunduk di hadapan siapa pun. Dia tidak mau menjadi pesuruh atau siapa pun yang dikendalikan oleh orang lain. Apalagi ... Ricky. Walaupun tidak suka, tetapi dengan cara itulah dia harus bertahan.

Ricky beranjak dari sofa dan berdiri di samping Vicky. “Papa nggak usah khawatir dipanggil lagi ke sekolah. Mulai besok aku yang menjamin keselamatan Vicky. Dia juga nggak akan mengganggu anak lain. Begitu juga anak-anak lain nggak akan berani mengganggu Vicky.”

Setelah Winata setuju, keduanya keluar dari ruangan itu. Vicky menarik lengan Ricky sebelum menjauh darinya.

“Apa mau lo sebenarnya?!”

“Jangan bicara keras begini, Vicky. Kita berada di kapal yang sama sekarang. Ingat kata Papa tadi, lo harus nurut sama gue. Jadi, mulai sekarang bersikap lebih lembut ke gue. Gue senang lo memohon-mohon kayak waktu itu, Vicky.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro