Don't Blush

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kantin masih sepi seperti biasa saat mereka tiba. Jelas masih sepi, sekarang kan baru jam setengah delapan. Bu Atmo dan bapak-bapak lain yang jualan mi ayam juga masih menyiapkan masakan mereka.

Seperti biasa, Soma langsung menyambut Vio. Cowok itu sebenarnya sih nggak jelek-jelek amat. Bahkan Vio lumayan yakin, di kampung asalnya, Soma lumayan disukai oleh cewek-cewek. Kulitnya agak gosong, tapi rambutnya yang agak berantakan memberikan kesan keren.

Nggak, Vio nggak suka sama Soma. Meski lumayan keren, gigi Soma hitam-hitam gara-gara kebanyakan merokok. Vio kan jadi ilfeel.... Tapi dia membiarkan Soma pedekate sama dia gara-gara cowok itu sering ngasih gorengan gratis kalau Vio lagi nongkrong di sini.

"Gimana Neng, tadi Bapak marah-marah ya?" tanya Soma dengan ekspresi khawatir. Vio jadi merasa seperti habis diculik teroris melihat tatapan Soma.

"Biasalah," Vio mendengus. "Pak Har kan emang sukanya gitu. Jahat banget kalau sama muridnya sendiri. Eh Bang, teh rasa apelnya masih kan?"

Jo menyahut tepat saat Soma membuka mulut, "Pak Har tidak jahat pada siswa-siswanya. Justru menurut saya, beliau memberikanmu hukuman yang membangun. Kamu bisa belajar dari kesalahanmu dan memperbaiki diri."

Soma hanya bisa melongo.

"Nggak usah menggurui gue deh lo." Vio membuka lemari pendingin. "Lo kan murid kesayangan Pak Har."

"Saya bukan murid kesayangan beliau."

"Whatever. Tapi mungkin lo bisa ngajarin Pak Har tuh." Vio berbalik dengan botol teh rasa apel di tangannya. "Ngomong KVLR aja kebalik-balik mulu. Tadi pagi gue dituduh ikutan KPR. Ya kali gue kredit rumah."

Soma yang sedari tadi hanya melongo akhirnya angkat bicara, "Neng Vi, dapet robot dari mana sih? Dikasih Pak Har ya?"

Vio tertawa, sementara Jo mengernyit. Soma kadang-kadang punya pemikiran yang sama dengan Vio—hal lain yang bikin Vio santai-santai aja meski dideketin sama Soma. Bukan berarti dia mau. Dia cuma nggak menemukan alasan untuk mengusir Soma, apalagi kalau cowok itu ternyata asyik banget.

"Saya bukan robot," sahut Jo. Dia mengulurkan tangan pada Soma. "Saya mentor barunya Vio. Joshua Dewangga dari kelas 11 MIPA-1."

"Oh, begitu," Soma mengangguk, lalu menyalami Jo balik. "Soma Anggito. Anaknya Bu Atmo."

"Lo berdua kenapa malah kenalan sih," Vio tertawa lagi. "Udah ah. Bang Som, berapa nih tehnya? Sekalian gorengan yang tadi pagi."

"Tumben mau bayar gorengan, Neng," Soma nyengir. "Bentar. Delapan ribu, Neng."

"Iya, gue sekalian mau bayar gorengan yang belum gue bayar semester kemarin. Kayaknya sih seratusan ada kali ya yang belum gue bayar?"

Soma meneliti Vio, membuat cewek itu jengah. Dia lalu menempelkan tangannya yang kena minyak goreng di dahi Vio, yang langsung ditampar keras-keras.

"Lo ngapain sih?" bentak Vio. "Bang, kita emang temenan, tapi bukan berarti lo boleh nyentuh gue seenaknya. Apalagi tangan lo kotor banget gitu, kalau gue jerawatan gimana?"

"Abang cuma heran, Neng. Tumben aja Neng Vi mau bayar gorengan. Biasanya kan nunggak terus. Jangan-jangan sakit ya?"

Percakapan mereka disela oleh Bu Atmo yang langsung memukul anaknya dan mencerocos dalam bahasa yang nggak dipahami Vio, "Deweke utang kok yo mbok wenehi? Yo bangkrut tho yo Le, Le. Piye tho kowe ki?"

Jo juga ikut menyela sambil mencolek lengan Vio, "Apa urusanmu di sini masih lama?"

"Nggak juga," jawab Vio. Dia lalu berteriak, "Bang Som! Udah nih gue bayar delapan ribu ya. Besok gue bayar utang gue. Kalau seratus gorengan, dikali lima ratus, jadinya gue bayar berapa?"

"Lima puluh ribu rupiah," sahut Jo cepat.

"Thank you, Kalkulator berjalan. Besok gue bayar seratus deh, soalnya gue lupa persisnya berapa banyak."

Vio lalu berbalik, membiarkan Bu Atmo melongo mendengar jumlah uang yang akan dibayar Vio besok. Banyak juga ya, gorengan yang udah dia makan semester kemarin. Semoga aja wajahnya nggak berminyak kayak wajah Soma besok-besok. Kalau jerawatan kan gawat.

Dia menoleh pada Jo, yang ternyata ngelihatin dia sedari tadi. "Ngapain lo liat-liat?" ujar Vio ketus, meski diam-diam dia penasaran juga. "Naksir ya?"

"Saya hanya heran, ternyata ada orang yang bisa punya utang sebesar seratus ribu rupiah dalam bentuk gorengan," sahut Jo.

"Ada, gue buktinya. Kayak gue heran, ternyata ada orang yang kayak robot. Elo buktinya kan?"

"Di setiap belahan dunia, robot yang dibuat seperti manusia, bukan sebaliknya."

Vio mendengus. "Terserah lo deh."

Jo menatap Vio lekat. "Omong-omong, Vio, saya kira, kamu hanya cantik luarnya saja. Namun, setelah saya perhatikan pagi ini, saya yakin hatimu juga sama cantiknya. Lantas apa yang membuatmu membolos dan melakukan pelanggaran lain? Kamu pasti punya alasan kuat di balik perilakumu."

Mendengar kalimat itu, Vio sekuat tenaga mencoba untuk nggak tersipu. Kenapa juga Jo tiba-tiba bahas soal kecantikan? Salah tingkah, Vio membuka tehnya dan meminumnya.

"Bukan urusan lo," kata Vio akhirnya. "Ini kelas gue nih. Lo balik aja sono. Kayaknya kelamaan nggak belajar bisa bikin otak lo nggak waras."

"Saya seratus persen sadar saat mengucapkan kalimat itu. Selamat belajar, Vio."

Jo meninggalkannya mematung di sana. Ah sial. Cowok itu memang berbahaya! Eh, tapi lebih bahaya Pak Ginanjar. Vio jadi takut buka pintu kelas. Kira-kira, kalau Vio masuk sekarang, Pak Ginanjar bakal semarah apa ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro