Bab 17: Terbawa Rasa Sedih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bantu share cerita ini ya:v

Tiga kotak roti bakar beraneka rasa memenuhi meja bundar itu. Segelas air jeruk nipis turut menemani kekesalan Milan. Ia melahap roti-roti tersebut rakus, seolah akan ada makhluk yang hendak mencomot makanan kesukaannya. Diledeki satu kelas serta melihat kedekatan antara Vano dan Putri benar-benar memantik rasa jengkel. Seharusnya ia tidak perlu mengalami hal itu semua. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Baik Milan atau otaknya tidak bisa menghapuskan dua hal yang begitu ia benci.

"Bodoamat kalau gue gendut gara-gara roti bakar! Siapa suruh mereka buat mood gue anjlok!" Milan bergumam disela-sela makannya. Ia tidak peduli tersedak atau pun yang lain. Emosinya mesti dituntaskan dengan mengatakan kalimat itu.

Gigitan demi gigitan roti meluncur di lambung. Acara makan besar gadis absurd ini terus berlanjut. Dentingan notifikasi ponsel pun ia acuhkan. Jangan harap untuk menghentikan Milan sekarang. Ia mungkin bertambah kesal jika diganggu saat ini. Kesensian jualah yang turut ambil bagian mengacaukan akal sehat Milan.

Damar yang melirik sang putri sedari tadi nampak kaget. Ia tidak habis pikir dengan porsi makan Milan yang tidak kira-kira. Ya, pria tigapuluh tahunan itu sudah setengah jam yang lalu pulang ke rumah. Syuting film yang sedang ia garap telah selesai semua. Dan sembari menunggu film kedua, ia mengambil cuti untuk istirahat sekaligus memperhatikan keadaan Milan yang dua minggu ini  ditinggal ke luar kota.

Tak tahan mendengarkan gerutuan Milan, Damar segera keluar dari persembunyiannya. Pria berkumis tipis tersebut melenggang, mendekati Milan yang masih berkutat bersama roti-roti bakarnya. Simpul senyum tertarik kala Damar mengelus surai lembut anak sematawayangnya itu. Sering Damar tinggal, membuatnya sedikit tidak enak hati pada Milan. Apa Milan masih mau menerima kehangatan dari seorang ayah yang jarang menemaninya di rumah. Kita lihat saja nanti.

"Ayah!" Milan tercenung menilik ke arah ayahnya. Damar mengulas senyum terbaik. Ia duduk di sebelah putri manjanya tersebut.

Merasa tak digubris, Milan melayangkan pertanyaan kedua. "Ayah kapan pulang?" Ia agak mendongak guna menatap laki-laki yang duapuluh tujuh tahun lebih tua darinya.

"Setengah jam yang lalu," jawab Damar lembut. Walau terkadang tegas, pria penyuka olahraga catur itu kerap memposisikan diri sebagai ibu. Ia berharap Milan tidak terlalu merasa kehilangan karena ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai. Jadi, wajar saja Damar bersikap begitu, bukan? Dan ini pun demi menebus rasa bersalahnya.

"Milan kok gak tahu ya Ayah udah pulang? Ayah lewat mana emang?"

"Lewat pintu dong. Masak lewat jendela. Lagian gimana kamu mau tahu, kalau dari tadi asyik sendiri di sini."

Milan mengangguk saja. Ia jadi malu sendiri karena terlalu larut berceloteh panjang lebar. Demi mengusir kebisuan yang terbangun, gadis konyol itu lanjut memakan roti bakar yang ia beli di ujung jalan tadi. Kebetulan tempat itulah yang menjadi langganannya selama ini. Risa serta Rosa pun seringkali mampir.

"Muka kamu kenapa ditekuk terus. Ada masalah di sekolah? Coba cerita sama ayah. Siapa tahu ayah bisa ngasih solusi." Suara megafon Damar kontan merebut atensi Milan.

"Gak papa, Yah. Lagi kesel aja bawaan pms."

"Oh, yaudah. Kalau butuh sesuatu bilang sama ayah. Atau kamu mau beli obat buat ngehilangin rasa sakitnya." Milan tertawa kecil di dalam hati. Ia tidak menyangka kalau ayahnya sepolos ini, padahal pms hanyalah alasan klise agar ia tidak diintrogasi lebih dalam.

"Iya."

Damar pun bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Namun, ketika dua kali melangkah, putri manisnya itu menahan.

"Ayah besok balik lagi ke lokasi syuting?"

"Iya, soalnya syutingnya dimulai dua hari lagi. Jadi, besok harus briefieng sama tim dulu."

Jawaban Damar lantas mencetak raut sedih di wajah Milan. Pergi ke lokasi syuting, berarti sama saja dengan ia ditinggal untuk ke sekian kalinya. Damar tak mengetahui raut sedih Milan sebab sebelum ayahnya sadar ia buru-buru membalikan badan.

Di saat itu juga Milan menemukan amplop berwarna coklat di bawah meja. Lirikan penuh kekesalan tersirat di retina matanya. Ia mencampakkan amplop berisi uang pemberian Damar seusai penampakkan ayahnya menghilang di balik pintu.

Otomatis Milan berlari ke kamar. Ia ingin menangis di bawah bantal sebab Damar tak mempedulikan rasa kesepiannya. Dan hanya mementingkan nominal materi yang hendak ia beri. Apa sebegitu pentingnya uang di dunia ini?

Bersambung...

Senja Di Ufuk Timur, 24 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro