Bab 40: Gibran & Airin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Update Lagi Setelah Sekian Purnama🤣






Pintu kedatangan bandara Internasional Soekarno Hatta telah ramai dipadati penumpang. Masing-masing dari mereka menggeret koper berukuran sedang dan besar. Tak terkecuali pria tampan berkemeja biru laut. Sedari tadi manik matanya memindai sekeliling. Tidak banyak yang berubah sejak empat tahun kepergiannya ke London. Gibran senang sekaligus bersyukur bisa kembali dan memulai kenangan indah itu lagi.

Ia melenggang santai hingga ketukan langkahnya mulai memelan ketika menemukan seorang pria setengah baya yang mengangkat papan bertuliskan Gibran Raka Arthasena. Tingkah lucu Sudiro, membuat Gibran tertawa renyah. Duapuluh tahun bekerja dengan keluarga Arthasena, Gibran sangat tahu sifat sang supir.

"Selamat pagi, Den Gibran," sapa Pak Sudiro pada anak majikannya. Senyum tulus lantas Gibran sunggingkan. Tanpa aba-aba ia langsung memeluk lelaki tua di hadapannya ini sangat erat. Rindu yang lama membumbung kini tersalurkan.

"Lho, lho kok dipeluk sih, Den. Bapak berasa di-spesialin nih," celetuk Sudiro mengundang gelak tawa Gibran.

"Bapak apa kabar? Udah lama ya kita gak ketemu?"

"Alhamdulillah, Bapak sehat wal afiat. Aden sih betah banget tinggal di negara orang," tukas si Bapak temu kangen dengan cowok yang telah ia kenal sedari kecil.

"Gimana lagi, Pak. Namanya juga ngejar pendidikan. Kalau gak, mana mau saya jauh-jauh ke London, apalagi ninggalin Bapak sebagai supir kesayangan," kelakar Gibran membuat Sudiro mesem-mesem sendiri. Kedekatan antara Gibran serta Sudiro memang seperti Ayah dan Anak. Bukan selayaknya supir dan anak majikan. Berkat didikan sang Mama pria itu selalu menghargai orang lain tanpa melihat siapa ia dan apa posisinya.

"Aden mah bikin Bapak terbang melulu. Yaudah, ayo kita pulang. Nyonya Naya pasti senang lihat anak kesayangannya udah di sini," ajak Sudiro hendak mengambil alih koper bawaan Gibran. Namun, belum sempat mencengkram handle koper, si empunya malah menahan.

"Pak kita ke suatu tempat dulu ya. Saya mau nemui seseorang," titah Gibran.

"Assiap kalau gitu kita langsung tancap gas."

"Bapak makin gaul ya sekarang."

"Oh iya dong. Sudiro bin Sukaryo gitu lho."

Candaan yang melesak keluar menyebabkan mereka tidak sadar telah tiba di parkiran. Mobil melaju kencang di tengah lengangnya jalanan. Gibran tak memberitahu tempat yang hendak ia tuju secara rinci. Hanya alamat yang dirinya katakan. Sekian lama melintas di jalan barulah Honda Hrv hitam berhenti di sebuah pelataran kafe. Ia masuk ke dalam kafe bernuansa cozy itu. Senyum mengembang terbit saat menemukan seseorang duduk di salah satu meja.

Tanpa berkata-kata lagi, Gibran mantap melangkahkan kaki ke dalam lalu mendekati perempuan yang duduk melamun di meja nomor delapan. Reaksi terkejut pria itu dapati ketika mendaratkan bokongnya.

Lama saling terdiam, akhirnya Gibran tergerak meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Airin.

Gibran menyelami bola mata bening itu kemudian menarik napas panjang. "Jujur dari lubuk hati yang terdalam, aku pengen kamu ketemu sama orangtuaku," ungkapnya. "empat tahun tinggal di London udah cukup buat aku sadar kalau kita gak akan bisa saling bertahan tanpa ada ikatan,"

"Tapi, untuk apa, Bran? Aku gak berani buat ketemu sama orangtua kamu." Perempuan itu menunduk selepas menanggapi permintaan Gibran.

"Gak perlu khawatir. Aku bakal ada di sana juga. Kita hadapi sama-sama," tutur Gibran mengelus punggung tangan wanita yang ia cintai.

Airin bangkit lalu berkata, "Maaf, Bran. Aku gak bisa. Status sosial kita yang berbeda buat aku merasa gak pantas nemui mereka. Aku pamit. Kamu jaga diri baik-baik. Mungkin setelah ini kita gak akan ketemu lagi."

Airin berlalu pergi dari hadapan Gibran setelah mengucapkan kalimat menyakitkan tersebut. Pria berusia duapuluh enam tahun itu meremas tangannya kuat. Ia benci jika wanitanya sudah membahas perbedaan status sosial di antara mereka.

Aku gak bakal lepasin kamu lagi, Airin, sampai kapan pun itu.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro