Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Perjamuan dimulai sesaat setelah matahari terbenam.

Berbagai macam makanan disajikan diatas meja panjang yang berada ditengah ruangan luas itu. Roti, sayuran, buah, daging dan macam-macam makanan lainnya. Tak lupa dengan berbagai minuman mulai dari jus, hingga minuman yang dianggap 'utama' oleh semua orang―

―apalagi jika bukan wine.

Semua orang di ruangan terlihat menikmati waktunya masing-masing. Ada yang bersenda gurau, sekedar mengobrol, maupun ada juga yang melakukan tantangan siapa yang dapat 'minum' paling banyak.

Namun Arthur berbeda. Setelah selesai berbincang sebentar dengan Raja Canor, ia lebih memilih menikmati udara segar di balkon, menghindari keramaian di dalam ruangan. Hanya ada sebuah apel yang baru dimakan satu gigitan digenggamnya. Kedua matanya setia melihat keatas―menikmati langit malam berhias bintang.

"Menikmati langit malam? Rajaku?"

Arthur berbalik, mendapati Merlin yang berjalan menghampirinya dengan senyuman yang masih setia terlukis diwajahnya.

Arthur membalas senyuman Merlin. "Begitulah. Anginnya juga segar. Kau sendiri?"

Merlin berjalan lebih dekat, lalu tanpa meminta izin terlebih dahulu, penyihir itu memakaikan mantel yang ia bawa pada Arthur.

"Bukankah ini―"

"Guinevere menitipkannya padaku. Itu punyamu, bukan?"

Arthur mengangguk pelan. Tangannya bergerak memegang mantel yang bergantung di bahunya. "Dimana Guinevere?"

"Dia kekamarnya. Kurang enak badan katanya. Sir Lancelot dan Gareth yang mengantarnya," jawab Merlin.

"Aku berhutang terimakasih pada mereka," ucap Arthur, tawa kecil keluar dari mulutnya. "Oh iya, Rei kemana?"

"Dia pergi menemui Kay tadi," jawab Merlin. Dari dalam lengan bajunya, ia mengeluarkan satu buah persik, di sodorkannya pada Arthur namun dibalas oleh gelengan pelan. "Aku punya ini," ucapnya menunjuk pada apel ditangannya.

Hening. Hanya suara kunyahan pelan yang memecah keheningan, baik dari Arthur maupun dari Merlin.

"Hei, Merlin..."

"Ada apa?"

"Aku sudah lama memikirkan ini, tapi apa benar Rei itu anakmu?"

Kunyahan Merlin terhenti, wajahnya mendadak terasa kaku. Firasat buruk langsung menyerangnya.

"Memangnya ada apa? Kau pasti menanyakan siapa ibunya, bukan?"

"Bukan, bukan itu. Aku hanya merasa ada yang aneh saja darinya."

"Paling hanya perasaanmu saja."

"Merlin, aku tidak bodoh," tegas Arthur. Dari nada bicaranya saja Merlin sudah bisa tahu bahwa Sang Raja serius.

"Meski aku bukan penyihir, aku tahu ada yang berbeda darinya. Aura, mana serta caranya menggunakan sihir sangat berbeda dengan penyihir lain, bahkan kau―ayahnya," sambung Arthur.

Ah, Arthur sudah sering menanyakan hal ini...

"Merlin, jawab aku. Rei itu siapa? Atau―"

dan pertanyaan inilah yang Merlin ingin hindari apapun caranya.

"―Rei itu apa?"

***

"Kak. Makanlah dulu. Dan jangan pasang wajah seperti itu, menyeramkan tahu."

Rei kembali menyodorkan piring dengan potongan buah dan roti tepat di depan wajah Kay.

"Aku tidak lapar. Dan wajahku sudah seperti ini sejak lahir. Kalau kau hanya mau meledekku, pergi sana."

"Dih, ngambek."

Urat kemarahan mulai terlihat di wajah Kay. Ingin sekali ia memukul―atau setidaknya menjitak Rei, namun apa daya, tangan dominannya terasa sangat sakit ketika digerakkan walau sedikit.

Tak hanya tangannya. Kaki, leher, beberapa bagian wajahnya, serta perutnya dibalut oleh perban atau ditutupi kain yang sudah diberi obat. Tak heran wajahnya terlihat lebih ditekuk daripada biasanya.

Suasana hatinya sedang buruk―sangat buruk. Walau ia dinyatakan sebagai pemenangnya, Kay sendiri tidak menerima fakta bahwa ia menang karena lawannya menyerah begitu saja. Harga dirinya sebagai kesatria terasa diinjak.

Tak lama ketukan terdengar dari luar pintu ruangan. Rei bangkit dari kursinya lalu menyimpang piring itu disebuah meja kecil di dekat Kay.

"Tunggu sebentar."

Saat Rei berjalan mendekati pintu, Kay menyandarkan punggungnya. Menenangkan pikirannya meski hanya sebentar. Matanya pun perlahan terasa berat dan sedikit demi sedikit mulai tertutup.

Namun semuanya langsung runtuh dalam sekejap mata begitu Kay mengetahui siapa yang repot-repot datang menemuinya.

"Huh? Putri Andrivete?"

Dari balik punggung Rei, Kay dapat melihat sosok tuan putri Northumberland yang memang lebih tinggi dari Rei.

"Selamat malam."

Wajahnya sedikit tertunduk, hampir tertutupi oleh helaian rambut gelap miliknya, ia menunjukkan ekspresi ramah namun agak kaku, dan jemarinya bergerak memainkan jemari yang lainnya.

Tanpa satupun orang diruangan itu sadari―termasuk Kay sendiri, kesatria itu kembali menegakkan tubuhnya. Kini terkesan sangat tegang.

"O-oh, maafkan saya. Silahkan masuk."

Rei melangkah kesamping, membuka jalan masuk untuknya. Ketika Andrivete sudah masuk, Rei menutup kembali pintunya, lalu berlari ke pojok ruangan untuk mengambil satu kursi lain.

"Silahkan duduk, tuan putri."

"Terimakasih." Andrivete tersenyum ramah pada Rei, membuat wajah si gadis berambut putih itu bersemu.

Atmosfer ruangan langsung terasa berbeda. Kecanggungan sangat mendominasi ruangan itu, kedua―bahkan ketiga orang itu terlalu segan untuk memulai pembicaraan.

Merasa akan makin canggung jika dibiarkan seperti ini, sebagai seseorang dengan tingkatan paling tinggi di ruangan ini, Andrivete berdeham. Menyebabkan kedua lawan bicaranya yang terlalu gugup itu langsung menegakkan badan mereka, bahkan Rei terlihat seakan-akan meloncat dari kursinya.

Ayolah, berada dalam satu ruangan dengan orang yang kasta-nya lebih tinggi, terlebih sedekat itu. Orang mana yang tidak akan gugup?

Ah iya, Rei ingat ada sosok orang yang bernama Agravain.

"E-eh, maafkan saya jika mengagetkan kalian." ucapnya gelagapan.

"Ti-tidak usah dipikirkan, tuan putri. Aha... haha," tawa renyah keluar dari mulut Rei. Kay menepuk dahi dengan tangannya yang bisa ia gerakkan.

"Anu, luka-luka anda. Apakah masih parah?" Andrivete mengalihkan perhatiannya pada sosok kesatria didepannya itu.

Tangannya menggapai lembut tangan Kay yang terbalut perban. Membuat tubuh Kay bereaksi persis seperti tersengat listrik.

"Sudah lumayan baikan. Perawat tadi bilang untuk beristirahat," jawab Kay.

"Syukurlah kalau begitu. Saya ikut senang," Andrivete tersenyum lega. Aura hangat langsung menyelimuti ruangan. Namun Kay malah buru-buru memalingkan wajahnya dari Andrivete, membuat sang putri menarik kembali tangannya, masih dengan senyuman di wajahnya.

Mata Andrivete menyapu seisi ruangan, lalu berhenti tepat di meja--atau lebih tepatnya piring yang ada diatas meja.

"Apakah anda sudah makan?" Andrivete bertanya, namun Kay tidak menjawab.

"Dari tadi sudah dipaksa, tapi Kak Kay tetap tidak mau makan," Rei menjawab menggantikan Kay.

Andrivete mengangguk-angguk mengerti. Tanpa memberitahu terlebih dahulu, Andrivete menyambar piring itu, mengambil satu potong roti dan menyodorkannya tepat di mulut Kay.

"Buka mulut anda," ucapnya lembut. Mulut Rei terbuka dibuatnya, kaget akan langkah berani yang dibuat sang putri.

"T-tuan putri?" Kay berbicara―atau mungkin lebih tepatnya, berbisik kaget. Andrivete menaikkan alis.

"Apakah ada yang salah?"

Setidaknya itulah hal yang dapat Kay artikan dari tatapan dan gestur Sang Putri.

Namun entah karena apa, suara Kay tertahan di tenggorokannya. Rei juga merasa aneh, kemana perginya Kay yang bermulut pedas pada siapapun tanpa memandang tingkat ataupun gender?

"Tolong jangan bercanda," lanjutnya setelah ia meghirup nafas dalam―upaya menenangkan dirinya, walau Rei dapat melihat wajahnya yang masih bersemu merah muda.

"Saya tidak bercanda."

Kay akhirnya membuka mulutnya, memakan roti di tangan Andrivete dan mengunyahnya pelan. Rei takjub karena Andrivete terlihat sama sekali tidak menyadari bahwa kini telinga Kay sudah sangat merah.

Rei baru melihat sisi Kay yang ini. Seingatnya, Kay tidak pernah bersikap seperti ini pada para putri maupun pangeran yang datang ke pernikahan Arthur. Berarti bukan gugup karena kedudukan yang lebih tinggi maupun karena lawan jenis.

Rei mengusap-ngusap dagunya seakan ada janggut tumbuh disana. Sembari berpikir, ia mencuri pandang pada Kay yang tengah mengunyah makanan dengan pelan dan berganti pada Andrivete yang senantiasa menunggu Kay menelan makanannya.

Rei dapat melihat telinga Kay yang memerah. Sangat jelas malah. Namun karena Andrivete fokus pada kegiatannya memberi makan―bahasa romantisnya mungkin, menyuapi―Kay hingga ia tidak sadar.

Bicaranya yang kaku dan terkesan gugup, wajah memerah hingga ke telinga, serta menolak untuk memandang mata lawan bicara.

tunggu, jangan-jangan...

Setelah Rei selesai menyusun--mencerna seluruh tingkah aneh Kay, perlahan bibirnya terangkat menjadi senyuman tertahan. Lalu tak lama kemudian senyuman tertahannya pecah menjadi sebuah tawa geli.

Kay―masih dengan wajah bersemu merah, menoleh kearah Rei dengan cepat, sementara Andrivete terlihat terkejut karena pergerakan Kay yang tiba-tiba.

Ayolah, sosok didepannya ini adalah Sir Kay. Putra Sir Ector yang terkenal akan lidahnya yang tajam dan Merlin memberitahu Rei bahwa Kay juga adalah salah satu kesatria yang pandai menggoda wanita, dapat jatuh cinta pada saat seperti dan dengan cara yang sesederhana ini?

Dan dia bahkan segugup ini?

pfft!

"M-maafkan saya, ha... ha..," Rei meminta maaf, meski terdengar seperti gumaman karena ia menutup mulutnya untuk mencegah tawanya agar tidak lepas.

Setelah tawanya reda, Rei kembali buka suara, "Jadi, apa yang membuat anda kemari, tuan putri?"

"Soal itu, saya sebenarnya ingin meminta maaf. Kesatria yang tadi siang melukai Sir Kay itu kemungkinan besar memang berasal dari kerajaan kami."

"Kalau begitu, anda tahu siapa orangnya?" Rei bertanya tidak sabar dan dirinya langsung dihadiahi tatapan dari Kay yang bila diterjemahkan jadi "bersabarlah sedikit, dasar tidak sopan."

Andrivete menggeleng, "Sayangnya tidak. Saat kesatria kami yang lainnya mencari dia, dirinya sudah menghilang entah kemana." terdapat nada menyesal didalam kata-katanya.

Baik Kay maupun Rei memang merasa kecewa, namun mereka juga tidak bisa menyalahkan Andrivete. "Sudahlah, jangan dipikirkan. Terimakasih karena sudah meluangkan waktu anda untuk menjenguk saya." Kay tersenyum tipis.

"S-sebenarnya ada satu alasan lain kenapa saya kemari..." Andrivete kembali memainkan jemarinya.

Kay dan Rei saling bertatapan, seakan mereka bertanya kepada satu sama lain apa yang sebenarnya ingin Andrivete sampaikan. Namun nihil, tidak ada satupun diantara mereka yang tahu.

Begitu Andrivete akan melanjutkan kata-katanya, matanya langsung menatap jam yang berada tak jauh dari tempat tidur Kay.

"Ah, gawat! Acara penutupannya akan dimulai. Saya harus kembali sebelum ayah―Raja mencari saya." Andrivete buru-buru bangkit dari kursinya. Ia kemudian membungkuk, berpamitan.

Sepertinya sang putri memberitahu siapapun dulu saat datang kesini, dia diam-diam datang kesini atas keinginannya sendiri. Ekspresi khawatir serta takut terlihat jelas di wajahnya tadi.

Setelah sosoknya sudah tak terlihat lagi dibalik pintu, Kay menatap Rei dari ekor matanya. "Apa yang membuatmu tertawa tadi?"

"Sikapmu tadi. Kupikir ternyata seorang Sir Kay bisa bersikap seperti itu." Rei tersenyum mengejek.

Kay mendengus, "Memangnya kenapa? Tidak boleh?"

"Ya, bukan begitu maksudku."

"Bisa tolong ambilkan minum? Aku haus," ucap Kay, sepertinya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Bingung ingin membalas apa, Rei menuruti permintaan Kay. Ia menuangkan air kedalam gelas lalu menyerahkannya pada Kay.

Kay menerima gelas itu dengan senang hati, tak lupa ia juga berterimakasih sebelum ia meminum air itu hingga habis.

"Cinta pandangan pertama itu hebat ya. Bisa membuat seorang kesatria berlidah tajam kehabisan kata-kata," ucap Rei asal, berniat sekedar menjahili Kay. Tanpa memikirkan bahwa kalimat itu benar-benar membuat Kay tersedak air yang ia minum.

"D-darimana kau tahu?!"

"EH?! Serius tebakanku benar?!"

Kata-katanya sukses membuat Kay menganga. "M-maksudku, kata-kata itu. Kau tahu darimana?" ia berusaha mengelak.

"Dari Merlin."

―Ah, bodohnya Kay menanyakan hal itu.

"Tapi kau benar-benar menyukai putri, bukan? Iya bukan? Hm? Hm?" goda Rei. Senyuman menyebalkan menghiasi wajahnya ketika ia tahu Kay sudah tidak bisa atau tidak ada lagi tenaga untuk mengelak.

"BERISIK!"

***

Tak lama setelah itu, dua orang kesatria―Bedivere dan satu kesatria Northumberland membuka pintu ruangan. Mereka bilang, acara penutupan akan dimulai. Atas perintah Arthur, Kay dan Rei diminta untuk menghadirinya.

Kesatria Northumberland itu berjalan didepan, memimpin jalan. Sementara Kay dibopong oleh Bedivere dan Rei―yang tentu saja bersikeras ingin membantu Kay walau ditawari berganti posisi dengan si kesatria yang satunya.

Begitu mereka memasuki ruangan, mereka dibawa ke tempat dimana Raja Arthur, Canor, dan kesatria lainnya berkumpul.

tentu saja Merlin juga berada disana.

"Aku sudah meminta izin Arthur dan Raja Canor untuk memberikan beberapa waktu. Kau tahu kan apa yang akan kita lakukan?" bisik Merlin, tepat saat Rei sampai dan berdiri disampingnya sementara Kay bergabung dengan kesatria Camelot yang lainnya.

Rei mengangguk. Merlin pasti meminta waktu itu untuk penyerahan sarung pedangnya. Mengetahui hal itu, ketika semua tamu perhatiannya tertuju pada Raja Canor yang tengah memberi beberapa pesan, Rei menarik kedua tangannya hingga menyentuh punggungnya.

Rei kemudian kembali memundurkan tangannya pelan. Melakukan gerakan menarik dari punggungnya.

Cahaya mirip kunang-kunang berwarna keemasan muncul diantara tangan dan punggungnya. Cahaya itu berkumpul―mulai menampakan wujud yang mereka bentuk perlahan.

"Merlin," Rei berbisik begitu sarung pedang itu sudah hampir kembali mendapat wujud setelah ia keluarkan dari tubuhnya. Merlin mengambil sarung pedang itu dari tangan Rei lalu menutupinya dengan sebuah kain yang ia sembunyikan dibalik jubah.

"Sebagai penutup, Raja Arthur dan Penyihir kepercayaannya telah meminta izin padaku untuk sebuah penyerahan hadiah untuk Sang Raja Camelot. Maka, kupersilahkan." Raja Canor menutup pidatonya dengan sebuah senyuman ramah terlukis di wajah. Mempersilahkan Arthur, Merlin, beserta Rei untuk maju.

Arthur kini berdiri di tempat Raja Canor saat menyampaikan pesan-pesannya. Didepannya, dua orang berambut putih tengah berlutut, salah satunya―Rei memegang sebuah benda yang ditutupi oleh kain.

Merlin membuka lipatan-lipatan kain dengan lambang Kerajaan Camelot tercetak dengan jelas itu, menunjukkan sarung pedang yang akan dibawa oleh Arthur bersama dengan pedang suci ke medan perang di masa depan.

"Mohon terima hadiah dari kami, dari Avalon untuk anda, Yang Mulia Arthur Pendragon."

Rei mengangkat sarung pedang itu sedikit lebih tinggi, seakan berkata bahwa sarung pedang itu sudah siap bahkan tidak sabar untuk diterima sang raja.

"Dengan senang hati aku terima. Wahai rekanku, biarkanlah aku membuka masa depan Camelot, Northurmberland, bahkan seluruh Britania ini dengan hadiah dari kalian." setelah itu, Arthur mengambil sarung pedang itu perlahan, lalu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi.

Membiarkan cahaya diruangan itu membuat warna keemasannya semakin berkilau dan diketahui seluruh orang yang kini berada dibawah atap yang sama dengannya―bukan.

Bermandikan cahaya dari chandelier, Arthur bertekad bahwa bukan hanya orang-orang disini yang akan mengetahui semua ini. Britania, bahkan seluruh dunia, harus mengetahuinya.

Perjamuan di malam itu ditutup dengan sorak sorai memuji kedua raja dari Camelot dan Northumberland.

Ditengah keadaan riuh ruangan, Raja Canor menepuk pundak Merlin yang sudah mundur sesaat setelah Arthur mengambil sarung pedangnya.

Raja Canor membisikkan sesuatu pada sang penyihir bunga. Sesuatu yang berhasil membuat Merlin kaget hingga memelototkan matanya―bersiap protes.

"―Raja Arthur sudah menyetujuinya."

Kalimat yang keluar dari mulut Raja Canor itu membuat Merlin yang ingin protes terpaksa menelan kalimatnya kembali.

***

Tepat setelah acara selesai, Raja Canor berkunjung ke kamar perawatan Kay. Dia sendiri, tidak ada Andrivete maupun kesatria penjaga disampingnya.

Setelah ia duduk, tanpa basa-basi, Raja Canor menyampaikan maksud yang membuatnya datang ke ruangan itu.

"Aku sudah memberitahu Raja Arthur bahwa engkau dan anak perempuan Penyihir Merlin itu akan menetap di Northumberland selama beberapa minggu untuk proses penyembuhanmu," jelas Raja Canor pada Kay.

Kay mengangguk, "Terimakasih Yang Mulia, sekaligus saya meminta maaf karena telah merepotkan anda."

"Lalu mungkin menurutku hal ini bisa jadi kegiatan untukmu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang akan jadi rumah baru kelak." sambung sang raja diikuti dengan tawa.

"Iya, saya turut bersyu―tunggu dulu Yang Mulia, rumah baru?" setengah melongo, Kay bertanya pada Raja Canor. Memastikan bahwa ia juga tidak salah dengar.

"Iya. Jangan-jangan tidak ada yang memberitahumu?―huh, apa jangan-jangan aku juga yang lupa memberitahu si pengantar pesan itu?" Raja Canor berucap panik, tangannya bergerak mengacak-ngacak pelan rambutnya.

"S-sudahlah Yang Mulia, mungkin ada kesalahan dari kerajaan kami ketika menerima pesan dari sini." Kay mengulurkan tangannya menghentikan Raja Canor yang sudah terlihat sangat panik.

"Jadi, apa sebenarnya yang mau anda sampaikan?"

Raja Canor menghela nafas dalam-dalam. Setelah ia cukup tenang, barulah ia kembali berkata.

"Siapapun yang menang di pertandingan itu, mau dari kerajaan manapun, asalkan ia bersedia―"

Mendengar kelanjutan kalimat Raja Canor membuat Kay menganga. Matanya terbuka lebar karena kaget dan tidak percaya.

"―akan kujadikan dia sebagai pasangan Andrivete, dan penerus takhta Northumberland. "

Chapter macam apa ini?! (╯‵□′)╯︵┴─┴
Hadeh, chap ini kebablasan menistakan Kay :"

Buat pembaca yang memang nunggu part Arthur ama Rei lebih banyak, harap sabar karena cerita ini plot yang perlu diperkenalkan emang cukup banyak.
Maafkan juga gaya tulisan saya yang amburadul.

Harap bersabar dan nikmati saja ceritanya mengalir (';ω;')

Oh iya, btw saya nge-publish book baru. Sketchbook sih, bagi yang penasaran, boleh mampir~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro