Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

--Selamat datang...

Dua kata sederhana yang penuh dengan kenangan bagi seorang Arthur Pendragon.

Ia selalu mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Ector, Kay, bahkan Rei ketika ia membuka pintu gubuk sederhana tempatnya menghabiskan masa kecilnya.

Kata-kata itu selalu dibarengi dengan senyuman lebar Rei dan omelan Kay yang membuat suasana ditempat itu sangatlah hangat bagaikan sinar mentari pagi.

"Rajaku, apakah ada yang salah?"

Ucapan Gawain sukses membuyarkan lamunan Arthur. Ia melirik ke sampingnya, melihat Gawain yang tengah menatapnya dengan khawatir.

"Sejak memasuki gerbang anda terlihat melamun terus. Jika ada yang mengganggu anda, tolong katakan saja."

Gawain benar. Tenggelam dalam memorinya sendiri, Arthur tidak ingat bahwa ia sedang menunggangi kudanya, berjalan menuju istana dengan suara riuh rakyat-rakyatnya yang menyebut namanya.

Hal yang sudah biasa ia alami ketika kembali dari pertarungan dan sudah menggantikan--berubah menjadi kata-kata selamat datang untuknya.

Suasana tenang dan hangat yang dulu ia rasakan berubah menjadi suasana riuh penuh sorak-sorai. Bukan berarti Arthur tidak menyukainya, hanya saja ada sesuatu yang ia rasa kurang dari lautan manusia ini.

"Aku baik-baik saja, Sir Gawain." senyuman kecil terulas di wajah Arthur. Meski tidak terlihat jelas, ada sedikit raut kesedihan dan kelelahan di wajah sang raja. Dalam diam, ia berbicara pada dirinya sendiri--

--Andaikan Kak Kay dan Rei ada disini.

***

"Jadi, dia itu Raja Arthur."

Dari sebuah gang sempit di belakang keramaian, Mordred bergumam. Mata hijau rumputnya menatap sosok Arthur yang menunggangi kuda itu dengan sorot penuh kekaguman.

Bocah itu kemudian menyandarkan punggungnya ke tembok. Kedua tangannya ia letakkan dibelakang kepala sementara matanya mengikuti Arthur hingga tidak lagi tertangkap di sudut pandangnya.

"Apa benar orang itu musuhku? Mama?"

Mordred mengalihkan pandangannya ke sudut gelap di gang sempit itu. Pandangan penuh kekaguman itu menghilang kala bayangan sosok seorang wanita muncul lalu berjalan mendekatinya. Langkahnya terhenti tepat selangkah sebelum sinar matahari dapat menyentuh dan menyinarinya.

"Benar. Dialah Raja Arthur, Raja para Kesatria yang tangguh." ucap Morgan. "Kemarilah sebentar, Mordred. Mendekatlah." pintanya yang langsung dituruti oleh Mordred.

Kedua tangan putih itu menyentuh pipi Mordred. Dingin. Tangan ibunya itu dingin sekali.

"Ingat ini baik-baik, posisi Arthur lah yang harus engkau incar. Rebut takhtanya bagaimanapun caranya. Kau bisa melakukannya, Mordred?"

Kata-kata Morgan tidaklah terdengar seperti sebuah pertanyaan bagi Mordred. Wanita itu memerintahnya, nada bicaranya saja sudah menunjukkan bahwa ia tidak menerima sedikitpun kegagalan.

Mordred berkedip, menatap wajah ibunya yang tersamarkan kegelapan dengan sorot mata dan raut wajah datar.

"Kupikir itu hal yang mustahil." jawabnya enteng.

"Maksudku, dilihat dari sosok dan julukannya saja, bukankah Raja Arthur itu sempurna? Tidak akan ada yang bisa menandinginya." lanjut Mordred.

"Bukankah Mama sendiri yang berkata seperti itu."

Mordred masih memasang ekspresi yang sama. Dia tahu apa yang ia katakan itu benar--sangat benar dan akan membuat Morgan marah.

Mendengar perkataannya, tangan Morgan semakin erat memegang pipi Mordred. Sangat erat sehingga Mordred merasa kedua tangan itu akan menghancurkan wajahnya.

"Dua--tidak setahun lagi kau sudah bisa menjadi seorang kesatria. Dengan segala hal yang kau punya, aku yakin kau bisa mengalahkan bahkan melampauinya."

--ah, Mama mulai meracau lagi.

Tanpa disadari, kuku ibu jari Morgan menekan pipi Mordred terlalu dalam. Darah mengalir membentuk sebuah garis merah dari pipi hingga ke dagunya.

"Jadilah raja yang dapat melampaui raja bodoh itu, Mordred."

Kening Mordred berkerut. Nada bicara Morgan membuat bulu kuduknya berdiri. Belum lagi dengan tatapan gelap penuh ambisi di wajahnya, Mordred menundukkan kepalanya. Ia takut.

Bocah itu menganggukkan kepalanya pelan. Lalu dengan suara pelan dan bergetar, Mordred berkata,

"Baik, Ibu."

***

Lenguhan pelan keluar dari bibirnya seiring dengan terbukanya kedua mata. Hal yang kedua manik biru langit itu pertama kali lihat adalah taman bunga yang disinari cahaya emas--

"Huh? Ini--ah, aku menangis, ya?"

--dan sedikit kabur karena air mata.

Rei yang sudah terbangun dari tidur lelapnya, buru-buru mengusap air matanya. Ini semua karena rune yang ia rapal sebelum tidur.

Perthro : Skuld.

Dengan kata lain, rune penunjuk takdir seseorang di masa depan. Rune yang tidak sempat Freya tunjukkan sewaktu di Hodmimis, ia mencoba untuk menggunakannya sendiri. Tentu saja tentang masa depan Arthur namun bukan dengan perantara air, melainkan mimpinya sendiri.

Mimpi yang ditunjukan oleh Skuld terasa amat panjang. Dan dilihat dari kondisi Rei saat bangun, sudah dipastikan bahwa mimpi itu tidak berakhir dengan bahagia.

"Apa yang kau tangisi? Eve?"

Suara seorang wanita menggema di telinganya atau bahkan di Avalon. Suara yang merdu namun tidak ada sedikitpun emosi di setiap kata yang ia ucapkan.

Indah namun mematikan. Itu yang sering Merlin bilang untuk mendeskripsikannya.

"Sudah lama sejak kita terakhir berbincang ya, Dewi Danau--Vivianne."

"Aku tidak pernah ingat kalau aku menyuruh Incubus itu mengajarimu tentang perasaan seperti halnya manusia."

Rei bungkam. Ia selalu tidak berani berkata-kata ketika Vivianne sudah membahas soal ini.

Di mata Vivianne, Rei hanya sebatas sirkuit sihir atau mana Avalon yang mengambil bentuk seorang gadis--yang faktanya adalah identitas aslinya. Vivianne tidak senang saat tahu bahwa Rei mulai mempunyai keinginan, perasaan, dan hal-hal lain yang dianggapnya abstrak yang hanya dimiliki manusia. Vivianne menganggap hal-hal itu hanya akan membuat Rei--Avalon rusak.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu? Dewi?" Rei membuka mulutnya.

"Apa yang ingin kau tanyakan."

"Soal masa depan Arthur, kau sudah tahu itu sejak awal, bukan?"

"Ah, tentang raja ternyata. Tentu saja. Aku juga yang membantu Incubus itu mewujudkan ramalannya."

"Kalau begitu, kau tahu kalau bagaimanapun Arthur maupun Camelot tidak akan pernah menemukan akhir yang bahagia?"

"Benar sekali."

Rei menghirup nafas dalam, mengontrol emosinya sejenak. Ia pikir Vivianne akan menyangkalnya namun nyatanya ia malah menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat dan tegas.

"Seseorang dengan jantung naga yang terkutuk tidak akan memiliki akhir yang bahagia."

--Naga terkutuk, katanya?

"Naga terkutuk itu, mungkinkah--" Rei spontan berdiri, gadis itu mengedarkan pandangan mencari sumber suara Vivianne.

"Kau tidak perlu tahu. Tidurlah lagi sana."

"T-tunggu, Dewi! Naga terkutuk itu--apa maksudmu itu Fafnir?"

"Sudah kubilang kau tidak perlu ta--"

"Jawab aku! Idunn!"

Rei geram, teriakan penuh amarah itu menggema memecah keheningan Avalon. Tangan gadis itu terkepal, bibirnya ia gigit dan matanya berkaca-kaca lagi. Saat ia pikir Vivianne tidak mendengarnya, suara wanita itu kembali terdengar.

"Kenapa--kenapa dan darimana kau tahu nama itu?"

Nada itu. Rei baru pertama kali mendengar nada bicara Vivianne yang seperti itu. Sang Dewi Danau terdengar marah dan kaget, seolah rahasia terbesarnya yang tidak boleh diketahui oleh orang lain atau tidak pantas diketahui oleh makhluk semacam Rei.

"Jawab aku, Idunn."

Rei mengulangi kata-katanya. Sudah terlambat untuk takut, ia sudah mengatakan nama itu lantang dan jelas tepat pada orang yang dimaksud.

"Jawab pertanyaanku terlebih dulu, darimana kau tahu nama itu?"

"Temanku yang memberikan tahuku. Ia juga memberiku sebagian pengetahuannya. Seharusnya kau sudah menyadarinya." jawab Rei.

Hening sejenak, sebelum sebuah hembusan nafas tanda bahwa Vivianne sadar akan sesuatu terdengar.

"Ah, kau benar. Kau mengetahui masa depan raja, padahal aku yakin kau tidak punya clairvoyance. Rune, ya? Jadi, kau masih hidup, ya? Freya?"

Ada nada tidak percaya dan lega pada kata-katanya. "Begitu ya, jadi Freya memberitahumu tentang Fafnir. Apa lagi yang dia beritahu padamu?" tanya Vivianne.

"Tentang Sigurd, Gram, Excalibur dan dia juga mengajariku cara menggunakan rune."

"Dia memberitahumu segala intinya ternyata. Kalau begitu pembicaraannya akan mudah."

"Jadi, kenapa kau memberikan pedang itu pada Arthur?" Rei bertanya tanpa pikir panjang lagi.

"Untuk menghancurkannya tentu. Lagipula kau sudah tahu bukan? Excalibur--Gram itu hanya sebuah pedang terkutuk dengan penampilan suci. Sementara Fafnir sendiri, jantungnya ada berada didalam diri Arthur. Kau sudah tahu apa kelanjutannya, bukan?"

"Karena kau tahu akhir dari Camelot dan Arthur, kau bermaksud untuk menghancurkan Gram dan jantung Fafnir secara bersamaan?"

"Kau pintar juga ternyata."

"Saat Sigurd mati, kami para dewa baru sadar. Seharusnya Gram hancur bersama dengan hancurnya jantung Fafnir. Nyatanya, jantung itu bersatu dengan darah daging Sigurd.

Dan jantung itu diwariskan pada keturunannya. Salah satu anak Sigurd dan Brynhildr, Putri Aslaug merupakan leluhur dari Uther dan Arthur Pendragon--"

"Jadi, jika Arthur mati, maka Excalibur juga akan hancur?"

"Tepat sekali. Terlebih, keadaan raja saat ini adalah kesempatan emas kita. Raja Arthur belum memiliki keturunan, jantung Fafnir itu akan hilang selamanya bila Arthur bisa mati tanpa keturunan."

Rei menelan ludahnya. Mendengar rencana Vivianne sudah cukup membuatnya takut. Ternyata menjadikan Arthur seorang raja dan memberinya Excalibur hanyalah sebuah kedok Vivianne untuk membunuhnya.

"T-tapi, Guinevere--Ratu Guinevere! Bagaimana bila dia sedang mengandung anak Arthur?" Rei bertanya dengan suara bergetar.

"Jika memang Arthur akan ataupun sudah mempunyai keturunan, aku tidak tahu pasti kapan jantung itu akan berpindah.

Apakah saat jantung bayi itu berdetak untuk pertama kalinya atau saat pemilik sebelumnya mati. Tidak ada pilihan lain selain membunuhnya juga. "

"A-apa tidak ada pilihan lain lagi? Tidakkah bisa Excalibur dihancurkan tanpa membunuh Arthur?"

"Sayangnya, Gram tidak akan hancur sebelum jantung itu benar-benar hilang. Jika ada cara lain, aku juga pasti sudah melakukan itu sejak dulu.

Aku, aku ingin mengakhiri garis terkutuk ini..."

Mendengarnya, jiwa Rei seakan terbang meninggalkan raga-nya.

"Kalau begitu, kita sudahi perbincangan sampai sini. Sampai jumpa, Eve." setelah itu, suara Vivianne tidak terdengar lagi.

Seakan sudah tidak sanggup menopang tubuhnya, Rei jatuh bertumpu pada lutut dan lengannya. Tatapannya yang kosong menatap bunga beraneka warna yang bermekaran di bawahnya.

--Sejak awal keinginannya memang mustahil ternyata.

Tangan Rei yang gemetar itu terangkat lalu memegang kepalanya. Tanpa suara, tanpa ia sadari air mata kembali membasahi pipinya.

"Apa yang harus kulakukan?"

Nah lo nah lo~
Tadinya ini chap mau aku pub tanggal 31 kaya tahun-tahun kemarin tapi karena udah selesai aku publish aja wkwk.

Btw yang baca atau tahu mitologi nordik, tahukan siapa itu Idunn?
Tanya google aja sana.

Kalau keburu ntar tahun baru aku pub chap baru. Tapi ga janji loh ya :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro