EPILOG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

S N O W D R O P

***

A/N :

Mungkin Part ini lebih cocok disebut extra chapter dibanding Epilog.

Enjoy reading~

***

"Bukalah matamu."

Suara lembut itu membuat Arthur membuka matanya, menatap kedua tangannya yang digenggam oleh tangan wanita bila dilihat dari bentuk nya.

Arthur mendongakkan kepala. Sembilan orang wanita berdiri mengelilinginya salah satunya sedang memegang tangannya. Mereka menatapnya dengan tatapan lembut dan hangat.

"Siapa kalian?"

Wanita yang menggenggam tangan Arthur membuka mulutnya, "Itu tidaklah penting. Kami menemuimu untuk mengatakan suatu hal yang penting."

"Hal yang penting? Apa itu?"

"Ini tentang permintaan kalian berdua pada Cawan Suci. Kalian sendiri sudah mengetahui bahwa permintaan kalian itu membutuhkan bayaran yang cukup besar bukan?"

"Iya, aku tahu. Semua hal yang berkaitan dengan sihir dan seharusnya hanya ada pada era para dewa akan dilenyapkan dari dunia ini."

"Benar. Termasuk Merlin. Segala hal yang berkaitan dengan pria itu harus menghilang bersamanya. Bahkan seharusnya gadis itu juga harus menghilang."

"Tapi aku juga meminta untuk membawa Rei bersamaku bukan?" Arthur menggigit bibirnya. "Apa memang permintaan itu sesuatu yang mustahil dikabulkan?"

Wanita itu melirik kepada kedelapan orang lainnya sebelum kembali menatap Arthur.

"Segala keinginan yang dikatakan pada Cawan Suci akan dikabulkan, apapun caranya itu. Dan Cawan Suci telah memerintahkan kami, peri yang menghuni Avalon untuk membantu mengubah takdir gadis itu."

Wajah Arthur seketika berubah menjadi sedikit berseri.

"Sejak awal Rei memang seharusnya tidak ada. Karena itu kami harus mengubah total takdirnya dari awal. Kelahiran, kehidupannya, segalanya. Bahkan ada kemungkinan dia tidak akan mengingat apapun dari kehidupannya yang sebelumnya. Apakah itu tidak apa untukmu?"

Arthur terdiam. Ia menundukkan kepalanya lalu memejamkan matanya dan menghirup napas dalam-dalam menenangkan dirinya.

"Tidak apa-apa. Meski hanya aku yang mengingatnya, aku yakin kami berdua akan bertemu. Entah berapa lama waktu yang kami butuhkan."

Helaan napas penuh kelegaan terdengar dari kesembilan wanita itu. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum mengangguk hampir bersamaan.

"Sebelum itu, ambilah ini." wanita itu menyerahkan sebuah benda yang ia terima dari salah satu rekannya yang lain pada Arthur.

"Ini kan--"

Benda itu berbentuk bulat dan berwarna keemasan. Dikedua sisinya terdapat gambar Bintang Lakhsmi. Arthur yakin bahwa benda itu sama seperti yang ada di pedangnya.

"Bawalah ini sebagai pengingat untukmu bahwa kehidupanmu setelah kau terbangun merupakan kesempatan keduamu. Kau tidak boleh menyia-nyiakannya." si wanita menjelaskan.

Arthur mengangguk mantap dan si wanita tersenyum.

"Kalau begitu, sudah waktunya kau pergi dari tempat ini, Arthur. Takdirmu, takdir yang mengharuskanmu menjadi raja sudah tidak ada. Sekarang bangunlah." wanita itu mengusap wajah Arthur.

Seketika pandangan Arthur makin gelap hingga akhirnya ia tidak dapat melihat apa-apa.

***

"Arthur, oi. Oi Arthur! Cepat bangun, ya ampun kau ini tidur dimana saja."

Arthur mengerjapkan matanya, mengontrol cahaya menyilaukan yang masuk ke matanya. Ketika penglihatannya sudah jelas, ia melihat sosok anak kecil berambut coklat muda mendekati pirang tengah berkacak pinggang tengah berdiri disampingnya.

Matanya membelalak, sontak Arthur bangkit dari posisinya. Menatap anak kecil dihadapannya itu dengan mata melebar dan mulut terbuka.

"Kak Kay?"

"Iya ini aku. Cepatlah bangun, pak tua itu mencarimu." Kay berbalik badan lalu berjalan menjauh.

Arthur mengangguk. Dia melihat kedua tangan dan lalu seluruh tubuhnya. Dia menjadi anak kecil lagi.

Ia melihat kesekitar. Hanya ada hamparan bunga berbagai macam warna sejauh mata memandang. Arthur menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak ingat ada taman bunga seluas ini di Camelot. Tunggu memangnya ini di Camelot?

Dia kemudian melihat benda yang ada di genggamannya.

--"Oh, perkataan wanita itu benar ternyata."

"Mau sampai kapan kau bengong? Ayo cepat!"

"I-iya!"

***

Sesuai dengan apa yang wanita itu katakan, dunia tanpa adanya hal-hal yang bersangkutan dengan sihir tercipta.

Di dunia ini Camelot tidak pernah ada. Artinya Uther pun tidak pernah menjadi raja. Arthur dengar orang tuanya meninggal saat mereka berlayar ke negeri seberang. Ector mengadopsinya karena orang tua Arthur merupakan teman lamanya dan pria itu berhutang budi pada mereka.

Tapi jujur saja, Arthur masih sedikit ragu kalau orang tuanya sama seperti kehidupannya yang sebelumnya. Toh, Ector tidak pernah menyebutkan secara jelas nama mereka.

Dan sekarang, mereka bertiga tinggal di Northumberland. Kerajaan damai yang dipimpin oleh Canor.

Ector meninggal sewaktu Kay dan Arthur menginjak usia remaja. Keduanya kemudian diangkat menjadi kesatria kerajaan.

Arthur cukup kaget ketika melihat dua wajah rekan kesatria-nya yang tidak asing, Percival dan Bors.

Tahun demi tahun berlalu, sekali lagi takdir--atau mungkin, Jousting Tournament--kembali mempersatukan Kay dan Andrivete.

Beberapa bulan kemudian, pesta pernikahan dan pengangkatan Andrivete dan Kay sebagai raja dan ratu diadakan. Acara berlangsung sangat meriah dan penuh sukacita. Arthur sendiri menikmati acara itu dengan menikmati hidangan dan sekedar bersenda gurau dengan Bors dan Percival.

Berselang beberapa bulan, tabib istana mengabarkan bahwa Andrivete tengah mengandung.

Semuanya berjalan lancar, hingga akhirnya saat kandungan Andrivete menginjak usia tujuh bulan, Andrivete jatuh sakit.

Kay, Arthur, tabib, bahkan seluruh kerajaan langsung dibuat kalang kabut oleh berita itu. Arthur bertanya pada tabib istana, namun tabib itu berkata bahwa proses persalinannya akan sulit bahkan berbahaya baik untuk Andrivete atau bayinya.

Tapi tabib itu memberitahu sebuah solusi pada Kay. Ia bilang ada seorang pria bernama Emrys yang sangat ahli dalam masalah-masalah seperti ini. Namun masalahnya, pria itu tinggal disebuah tempat yang jauh dan tersembunyi.

Merasa tidak ada pilihan lain, Kay dan Arthur pergi mencari pria bernama Emrys itu dengan bermodalkan informasi seadanya, sedangkan kerajaan ia titipkan pada Canor.

Mereka berdua mencari kemana-mana. Ke desa bahkan kerajaan lain. Hanya ada sebagian kecil orang yang mempunyai informasi yang cukup membantu keduanya meski sedikit.

Hingga pada suatu hari, bertepatan satu bulan setelah mereka meninggalkan Northumberland. Ketika mereka sedang beristirahat, dari kejauhan mereka melihat seorang anak kecil.

Anak itu berjalan dengan mata yang tidak lelah untuk menatap sekitar. Arthur dan Kay juga mendengar anak itu meneriakkan sesuatu.

"Kak? Kakak? Oh, maaf mengganggu. Apa kalian melihat perempuan memakai gaun berwarna hijau lewat kemari?" anak itu menghampiri Arthur dan Kay.

Saat itulah, Arthur langsung dibuat membatu begitu ia melihat sosok anak kecil itu lebih dekat.

Rambutnya berwarna putih bersih menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang berwarna keemasan menatap penuh harap akan jawaban yang akan dilontarkan dua orang dihadapannya. Bahkan suaranya pun sangat mirip dengan orang yang Arthur pikirkan.

Tidak salah lagi, Arthur tahu siapa anak itu.

"Galahad?"

Kay dan anak itu langsung melirik Arthur. Anak itu melihat ke sekelilingnya, dirasa tidak ada orang lagi dia menunjuk dirinya sendiri.

"Namaku bukan Galahad. Ya meski namaku memang hampir mirip."

"Lalu siapa namamu?" Kay bertanya.

"Namaku Theo, Theodore Casta Galeas," jawabnya.

"Theo, ya. Apa kau tersesat? Maksudku, terpisah dari kakakmu?"

Pertanyaan Arthur dijawab oleh gelengan kepala Theo.

"Tidak, justru kakakku itu yang tersesat. Lagipula rumah kami ada didekat sini." Theo menambahkan.

Kay dan Arthur saling bertukar pandang. Pemikiran mereka hampir sama, yaitu : Mungkin kita bisa mendapatkan informasi dari mereka.

"Bagaimana jika kami ikut mencarinya? Pasti akan lebih mudah bukan?"

Mendengar tawaran Kay, wajah Theo terlihat bersinar.

"Terimakasih!"

Singkat cerita, ketiga orang itu memutuskan untuk memasuki hutan. Theo bilang dia memang tahu kakaknya sering pergi ke hutan, tapi Theo sendiri tidak berani untuk menyusuri hutan sendirian.

Saat didalam hutan, Theo tidak lelah untuk memanggil sang kakak sementara Kay dan Arthur melihat sekitar siapa tahu ada ancaman mendekat.

"Gyaa--!"

Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang yang berasal tidak jauh dari mereka. Didengar dari suaranya, si pemilik suara adalah seorang perempuan.

Ketiganya sontak menoleh ke asal suara saat itulah Theo memekik pelan, "Itu suara kakak!"

Theo berlari disusul oleh Kay dan Arthur. Semakin dekat dengan asal suara, semakin jelas suara dan entah perasaannya atau bukan--

--"Jangan-jangan."

Arthur kenal betul dengan suara itu.

"Kakak!"

"Theo lari! Cepat!" masih berlari, ia memperingati Theo.

"Huh? Kena--"

Belum sempat Theo menyelesaikan kata-katanya, sosok perempuan yang Theo panggil kakak tadi menyambar anak itu.

Dilihat dari reaksinya, Kay dan Arthur tahu jika dia tengah lari dari sesuatu. Keduanya lekas berdiri didepan Theo dan kakaknya dengan posisi waspada. Tidak lama kemudian, dua ekor serigala terlihat berlari dari balik kegelapan.

Dua serigala itu berlari kearah Arthur dan Kay yang sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa takut di wajah mereka. Serigala-serigala itu melompat kearah Arthur dan Kay namun hal itu justru membuat dua orang dibelakang mereka ketakutan.

Dalam sekali ayunan pedang, Kay dan Arthur berhasil melukai dua serigala itu, membuat mereka jatuh ke tanag sebelum akhirnya berbalik badan dan kembali menghilang dibalik kegelapan.

"Apakah kau baik-baik saja nona?" Arthur mengulurkan tangannya pada perempuan yang masih memeluk Theo dengan erat itu.

Perempuan itu menyambut uluran tangan Arthur, "Terimakasih karena sudah menyelamatkanku, aku berhutang budi pada tuan-tuan."

"Tidak apa nona..."

Perempuan itu terkekeh geli. "Maafkan ketidak sopananku. Saking paniknya hampir saja aku lupa memperkenalkan diri."

Perempuan itu merapikan rambut putihnya dan mengusap wajahnya dengan punggung tangan asal. Dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, ia mengangkat sedikit gaunnya yang tidak kalah kotor itu sambil membungkuk.

Nafas Arthur tercekat begitu perempuan itu membersihkan wajah, memperlihatkan wajahnya lebih jelas pada Arthur dan Kay.

--"Tidak salah lagi, dia--"

"Namaku Reina, Reina Vivianne Avalonia. Kakak perempuan Theo."

Bahu Arthur melemas, lega. Pada akhirnya, orang yang dia cari selama bertahun-tahun lamanya itu kini ada dihadapannya. Namun Arthur buru-buru menggelengkan kepalanya, ia masih mempunyai satu tugas yang amat penting. Mengesalkan memang, tapi ia harus melakukannya.

"Bolehkah kami bertanya sesuatu nona?"

"Tentu saja. Aku akan menjawabnya sebisaku." Reina menjawab dengan cepat.

"Apa kau tahu seorang pria bernama Emrys? Kami sedang mencarinya. Kami dengar dia seorang tabib yang amat handal."

Mendengar nama Emrys disebut, mata Reina dan Theo melebar. Keduanya saling bertukar tatap sebelum Reina kembali buka suara.

"Emrys itu ayah kami."

***

Singkat cerita, Arthur dan Kay dibawa oleh Reina dan Theo kesebuah rumah sederhana. Rumah itu tidak terlalu kecil maupun terlalu besar. Meski begitu, tetap saja keberadaan rumah itu amat mencolok mengingat hanya ada satu rumah ditengah padang rumput yang cukup luas itu.

Disana, mereka bertemu Emrys. Seorang tabib handal yang sering sekali dibicarakan oleh orang-orang.

Tentu saja Emrys mengetahui apa maksud kedatangan Arthur dan Kay. Tapi sebagai tuan rumah yang baik, Emrys menawarkan Kay dan Arthur untuk bermalam barang satu malam saja ditempatnya yang tentu saja disetujui oleh Kay setelah dirinya ditenangkan oleh Arthur dan diyakinkan oleh Emrys.

Barulah setelah selesai makan malam, Kay dan Emrys mengobrol sementara Arthur memilih untuk menunggu diluar, mencari udara alasannya.

Arthur merebahkan tubuhnya diatas rerumputan. Matanya menatap langit berhias bintang sambil memikirkan apa-apa saja yang terjadi padanya hari ini sukses membuat kedua ujung bibirnya terangkat.

Ia ingat janji Galahad tepat sebelum ia menghilang bersama Merlin.

--"Di dunia yang baru itu, mari kita bertemu lagi."

Dia menepati janjinya dan terlahir kembali sebagai anak lelaki bernama Theodore--berkah dari tuhan artinya, sama seperti Galahad.

Dan Theodore adalah adik dari Reina, sosok Rei yang telah terlahir kembali sebagai seorang manusia seperti yang dijanjikan oleh wanita-wanita itu dan Cawan Suci.

Arthur memejamkan mata dan menarik napas dalam, mengatur perasaan senangnya agar tidak meledak secara tiba-tiba.

"Perasaanmu sedang sangat baik sepertinya."

Mata Arthur kembali terbuka, menatap sepasang manik aquamarine yang berada diatasnya.

"Reina..."

Reina tersenyum dan melambaikan tangannya. Gadis itu kemudian mengulurkan tangannya kedepan wajah Arthur.

"Buka mulutmu." titahnya yang langsung dituruti oleh Arthur.

"Ini... kue?" ucap Arthur disela kunyahannya. Reina mengangguk. "Sekali-kali memakan cemilan malam sambil menatap bintang tidak apa kan?" guraunya sambil mengambil posisi duduk tepat disamping Arthur.

Arthur bangkit, menatap Reina dalam diam. Gadis itu benar-benar tidak mengingat apa-apa namun selain itu dia tetaplah Rei yang Arthur kenal. Seulas senyum kembali terukir diwajahnya sambil ia menatap Reina yang tengah mengunyah kue yang ada di tangannya.

"Ini, kau mau lagi?" tawar Reina.

"Terimakasih kalau begitu." Arthur kembali mengambil satu potong.

"Apa yang sedang kakak lakukan?"

Arthur dan Reina menoleh, mendapati Theo yang berjalan kearah mereka dengan membawa beberapa jubah ditangannya. "Kau belum tidur Theo?"

"Aku belum mengantuk." Theo berkata sambil menyerahkan sepotong jubah pada Reina dan Arthur. "Ayah yang menyuruhku mengantarkan ini, dia bilang diluar dingin." Theo menambahkan.

"Terimakasih. Oh, kau bilang kau belum mengantuk kan? Bagaimana kalau kau disini dulu?" tawar Arthur sambil menepuk-nepuk tempat kosong diantara Reina dan dirinya.

Theo mengerutkan wajah. Dia melirik Reina yang dibalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan pelan.

"U-um."

Singkatnya, mereka bertiga mengobrol banyak hal. Mulai dari pekerjaan sang ayah, berbagai jenis obat hingga akhirnya mereka malah mengobrolkan sesuatu yang tidak terlalu penting.

Tapi Arthur tidak keberatan. Baginya ini merupakan kebahagiaan yang tidak bisa dia dapatkan di kehidupan sebelumnya.

"Hei, tuan kesatria, apa kau punya sebuah cerita yang menarik?"

Perkataan Theo membuat Arthur menaikkan sebelah alisnya. "Cerita yang menarik?"

Theo mengangguk. "Kau tahu, namamu itu mengingatkanku pada seorang raja. Siapa namanya ya?"

"Lucius Artorius Castus. Aku juga berpikiran begitu awalnya, apa lagi kau juga mempunyai benda dengan simbol itu bukan? Aku dengar Raja Artorius juga mempunyainya." Reina menambahkan.

Arthur mengedipkan matanya sebelum sebuah kekehan kecil keluar dari mulutnya. Dirinya yakin bahwa raja bernama Artorius itu pasti merupakan sisa-sisa dirinya sebagai raja di dunia ini.

"Apakah ada yang salah?" Reina bertanya.

Arthur menatap Reina beberapa saat. Sepasang mata aquamarine yang amat ia rindukan itu terasa begitu menenangkan.

"Kalau begitu--"

Arthur mengangkat tubuh Theo, membuat anak itu kini duduk di pangkuannya dan menyuruh Reina agar lebih mendekat.

Sambil menatap bintang, Arthur pun melanjutkan kata-katanya--

***

"--biarkan aku menceritakan padamu kisah dari seorang raja..."

***

(Epilog : END)

https://www.youtube.com/watch?v=1lhvTF2S5oM


Bonus from Ryze95

--Reina Vivianne Avalonia--
.

.

.

Bikin spin-off nya ga nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro