Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku cinta nenek. Makanya aku tidak marah saat kata-kata tidak pantas keluar dari mulutnya.

"Bebasan itu penting! Kalau kamu masih saja nggak bisa, mertua mana saja ogah ngambil kamu jadi menantu."

Aku tersenyum walau ludah nenek lari ke mana-mana. "Nenek lupa, ya?" kataku. "Aku, kan, nggak mau menikah."

Setelah mengatakan kalimat itu untuk ke sekian kalinya, pantatku kena tampar kipas bambu sambil ditertawakan Bapak dan Kakak.

"Aja ngomong maning. Pamali!"

"Yang pamali itu mukul pantat pakai kayu."

Mulutku memang tidak bisa diam di hadapan nenek. Seharusnya aku tahu bahwa kebiasaanku dapat membawaku pada ceramahan panjang dan memusingkan.

Kuliah pasal Bebasan menjadi panjang sekali. Walau kata guru-guru aku ini pintar, jika dihadapkan dengan sesuatu yang sangat tidak kuminati, ilmu itu tidak akan bertahan lama di dalam kepalaku. Berkali-kali otakku dijejalkan dengan bahasa daerah sendiri, tetapi aku bahkan tidak bisa mengalahkan si Aisyah, gadis kebanggaan para tetangga.

Nenek menggoyang-goyangkan kakinya, mengisyaratkan agar aku memijitnya. "Belajar dari sekarang, Lian. Kalau sudah besar nanti, kamu bakalan menyesal. Apalagi Nenek sudah tua—"

"Iya." Aku menyela, benci setiap kali nenek membicarakan usianya. "Aku selalu belajar bareng Nenek, 'kan? Walau nggak bisa-bisa, seenggaknya aku sudah berusaha."

Helaan napas panjang nenek membuatku menghentikan pijatan di kakinya. Katanya, "Dulu Nenek tidak bisa belajar. Sekolah tidak ada ...."

Kendati aku menyukai nenek, bukan berarti aku tidak muak dengan kisah Zaman Dulu-nya.

Bagiku, untuk apa cerita panjang lebar pasal lampu minyak dan sayuran sawah sementara zaman sudah berkembang?

Sampai saat di mana aku menyesali pemikiran pendekku.

Ternyata, hal yang mampu membuatku duduk lama sambil memijat kaki nenek adalah materi membosankan pasal Bebasan dan dongeng masa kecilnya. Aku terbiasa mengeluh akan segala sesuatu yang keluar dari mulut nenek. Sekarang, aku sudah tidak akan bisa lagi menikmati semua itu.

Rumah menjadi sepi. Motivasiku dalam belajar sudah berpamitan. Air mataku diproduksi banyak sekali sampai pipiku bengkak. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini, aku membasahi baju kakak dengan ingusku selama hampir satu jam sementara otakku terus menolak fakta bahwa: nenek sudah pergi untuk selamanya.[]


Bebasan: Bahasa Jawa Banten halus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro