3 - Jauh, Jauh Sekali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kakak! Tas kakak isinya apa?"

"Pakaian, obor, tenda, pisa-- Kalau kamu buka, kujitak."

"Kakak mau pergi ke mana?"

"Ke ujung dunia."

"Ujung dunia itu di mana, Kak?"

"Di ujungnya dunia."

"Jauh ya, Kak?"

"Jauh." Vea memandang ke awang-awang. "Jauh banget."

Claire menyulut lampu minyak gantung, membiarkan jilatan api dalam tabung kaca tersebut menerangi ruangan kecil bekas gudang yang kini dipergunakan sebagai tempat para anak asuhnya tinggal. Lima hingga enam bocah dengan berbagai varian tinggi dan warna rambut berkerumun dan bercanda ria mengelilingi Vea yang duduk bertopang dagu di tengah. Si remaja dengan rambut ungu tersebut memanyunkan bibir, tas lusuh di punggungnya penuh sesak dengan persediaan untuk perjalanan tanpa ujung.

"Claire, Johnny kapan pulang?" tanya Vea untuk yang entah keberapa kalinya dalam satu jam ini. Wajahnya terlihat kesal, sedangkan tangannya mencubit gemas pipi salah satu bocah yang usil menarik tas di punggungnya.

"Sebentar lagi, Kak. Sebentaaar lagi." Claire mengulum senyum. Ia pernah mendengar dari Johnny kalau Vea lemah terhadap anak kecil. Namun, dari apa yang dilihatnya, tekad gadis itu tidak melemah sama sekali walaupun ia sudah mengerahkan adik-adik terimutnya untuk menahan Vea.

Awalnya, Vea hampir tidak memedulikan Claire dan ingin segera pergi sebelum matahari terbenam. Namun, ketika Claire menyebutkan nama Johnny, Vea seketika memutuskan untuk menunggu.

Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Johnny yang kini sudah beberapa sentimeter lebih tinggi dari Vea muncul dari ambang pintu. Kaus putih berkerah yang digunakannya ternoda hijau dari pekerjaannya memotong rumput dan merawat taman para bangsawan.

"Hei," Vea menyapa, setengah sebal karena ia harus menunggu begitu lama. "Bel kota sudah berbunyi sejak lama. Lama sekali. Sekarang jelaskan kenapa aku sudah menunggu selama ini dan jangan bilang kalau kau cuma ingin bilang selamat tinggal."

"Tentu saja tidak," jawab Johnny. Ia memberikan kode kepada Claire dan gadis itu segera pergi ke ruangan belakang untuk mengambil sesuatu.

Vea mengangkat alis. Ia mendengar suara gedubrak dan memicingkan mata membayangkan apa yang terjadi di sana. Claire memang sering begitu sejak kecil, akibatnya ia sering harus memasangkan perban pada lutut dan sikunya. Setelah beberapa kali lagi suara gedubrak tersebut berulang, Claire muncul dengan membawa sebuah tas yang terlihat penuh sesak. Ia menyerahkannya kepada Johnny yang menerima dengan senyum lebar.

"Yuk, berangkat," kata Johnny polos kepada Vea.

"Hah?" Vea mengerutkan dahi. "Berangkat? Apa-apaan– Ke mana?"

"Ujung dunia katamu, kan?"

"Sejak kapan aku mengajak?" Vea bertanya keheranan.

"Wow. Kukira kita teman?" Johnny mengangkat alis, lagaknya pura-pura tersakiti.

"Ini dan itu adalah hal yang berbeda. Tidak ada kaitannya. Kau gila. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal." Vea naik pitam. Ia menghentakkan kaki keras-keras, membuat para bocah yang menempel padanya mundur ketakutan sebelum beranjak dari tempatnya duduk.

"Hei, tunggu sebentar!" teriak Johnny. Ia mencengkram selempang tas Vea.

Vea menarik tasnya paksa, tetapi tidak berguna. Genggaman Johnny terlalu kuat. Ia sudah bukan bocah cengeng yang dikenalnya dulu. Vea menoleh, menembakkan tatapan sinis pada Johnny. Bocah tukang mengadu itu kini telah menjadi lebih tinggi, lebih kuat dan... Lebih menyebalkan. Ia mendesis. "Lepaskan."

"Tidak mau," kata Johnny.

Vea melihat sebuah kilatan pada di mata Johnny. Kilatan yang sama dengan yang sering kali dilihatnya pada cermin. Barangkali belasan tahun mereka bersama telah membuat sifat keras kepalanya ikut menular pada boca–bukan, pria itu. Menyebalkan. Sungguh menyebalkan.

"Ini bukan perjalanan buatmu yang tekadnya setengah-setengah," tukas Vea dingin.

"Tekadku tidak setengah-setengah," ucap Johnny.

"Oh, iya? Kalau begitu kenapa aku tidak mendengar kalau kau ingin mencari Alemos sebelum aku mengatakannya, hah? Kau cuma ikut-ikutan. Selalu dan selalu begitu. Dasar bocah cengeng yang tidak pernah bisa membuat keputusan sendiri. Sekarang, lepaskan tasku dan duduk manislah seperti anak baik-baik. Aku mau pergi," cecar Vea.

"Tidak," Johnny kukuh pada pendiriannya. Ia tahu benar sifat Vea. Kalau ada sesuatu yang sulit, ia lebih suka menanggungnya sendiri. Hukuman, kesakitan, apalah itu. Kalau ada sesuatu yang menyakiti orang lain, ia akan melakukan apa saja untuk menerimanya sendiri. Apa saja. Termasuk menggunakan mulutnya yang berbisa itu untuk melukai temannya sendiri.

Namun, tidak kali ini. Johnny akan terus memaksa, atau... Atau...

Mereka tidak akan pernah melihat satu sama lain lagi.

"Aku ikut. Titik," ucap Johnny lugas.

Vea terhenyak. "Kau... sama sekali tidak mendengarkanku, ya? Kubilang ini bukan perjalanan untuk bocah cengeng sepertimu."

"Memangnya kenapa?"

"Ini berbahaya, jadi..." Vea menarik selempang tasnya dengan paksa, hampir-hampir merusak jahitannya. "...lepaskan!"

"Aku tahu itu berbahaya. Aku tidak peduli."

"Kau bodoh. Kau sudah punya pekerjaan bagus di sini, tahu. Banyak bangsawan yang memuji hasil tamanmu. Tinggal lakukan itu selama beberapa tahun lagi dan kau akan punya tempat tinggal sendiri. Kau akan bisa hidup enak, jadi–" Vea merasakan rasa panas menjalar di pelupuk matanya yang mulai berair, entah kenapa. Ia menggertakkan gigi dan berteriak. "Jadi, lepaskan dan lupakan aku, Sialan!"

"Dan meninggalkanmu pergi ke misi 'berbahaya' itu? Lalu tidak pernah mendengar kabar darimu lagi?" tanya Johnny. "Tidak mau."

"Aku akan kirim surat. Puas?"

"Kalau suratnya tiba-tiba berhenti? Kau mau aku hidup selamanya memikirkan apa yang terjadi kepadamu?"

"Kalau aku tiba-tiba menghilang, ya sudah. Bukan urusanmu!" teriak Vea sambil menarik tasnya sekali lagi, kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.

"Aku juga tidak mau kau mati, Bodoh!" teriak Johnny memenuhi ruangan. Jelas dan lantang. Ia mencengkram selempang tas Vea erat-erat ketika gadis itu menariknya. Hasilnya, jahitan yang menghubungkan selempang robek dan membuat tas penuh sesak itu jatuh ke lantai.

Johnny tidak pernah berteriak. Dua belas tahun Vea telah ada bersamanya dan ia sama sekali tidak pernah mendengar Johnny menaikkan suaranya lebih dari yang diperlukan. Gadis itu menatap Johnny lekat-lekat sebelum menggigit bibirnya dan melanjutkan. "Aku pergi."

"Kau akan pergi sendiri dan membuatku melanggar janjiku pada Kak Rosa?" tanya Johnny.

"Hah, janji apa?" Vea terhenyak. Ia paling tidak suka kalau ada yang membawa nama kakak kesayangannya secara sia-sia. "Jangan membual."

"Dulu, kakak pernah berpesan padaku. Katanya, Vea itu keras kepala sekali, ia akan membahayakan dirinya untuk hal-hal aneh sendirian, jadi..." Johnny memotong kalimatnya, mengintip reaksi Vea sebelum melanjutkan. "Jadi, kakak berpesan agar aku tidak meninggalkanmu sendiri. Oh, dia juga berpesan agar tidak membiarkanmu tahu tentang hal ini, tapi aku tidak punya pilihan lagi."

"Kau bodoh. Bodoh sekali. Dungu. Imbisil." Vea mendecakkan lidah. Ia memukul pundak Johnny sebelum berpaling dan mengambil tasnya sebelum melanjutkan, kali ini dengan suara yang terdengar seperti hampir menangis. "Aku akan menunggu di kandang kuda gerbang sebelah utara kota. Mandi, sana. Aku tidak mau kau digigit kuda karena pakaianmu bau rumput."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro