8. Menerima Perjodohan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keputusanku untuk tinggal bersama keluarga Pak Hisyam di vila beliau adalah pilihan terakhir demi Aba. Demi menunaikan permintaan beliau, termasuk menerima perjodohan itu. Aku tak ingin menyesal karena tidak menunaikan permintaan Aba sebelum beliau pergi untuk menikah dengan Mas Genta. Bisa jadi, permintaan terakhir Aba adalah jawaban istikharahku. Entahlah. Aku memang belum tahu pasti tentang Mas Genta, tapi aku percaya pada ucapan Aba bahwa Mas Genta adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Apalagi keluarga Mas Genta pun menyayangiku, sudah pasti Mas Genta pun akan sama.


Pandanganku masih pada rintik hujan di luar sana, menimbulkan bayangan embun pada kaca. Sejak subuh, hujan turun membasahi wilayah kampung ini. Aku teringat saat Aba terpaksa harus ke pabrik di waktu hujan seperti ini dan keadaan masih pagi buta. Ada rindu yang terselip sehingga hatiku terasa nyeri. Amat terasa nyeri.


Aba, Umi. Rara rindu. Rara ingin seperti dulu. Ada Umi dan Aba dalam kehidupan Rara. Sekarang Rara kesepian tanpa Umi dan Aba.


Air mata lolos, mengalir di pipiku. Rasa kehilangan masih sangat membekas di hati ini. Belum hilang bekas kepergian Umi sampai saat ini, kini Aba pun kembali menebalkan bekas yang akan sulit hilang sampai kapan pun.


Ya Allah ... tempatkan kedua orang tua hamba di sisimu yang terbaik. Hanya doa yang bisa kuberikan pada mereka saat ini. Sampaikan salam maafku untuk mereka karena belum bisa menjadi anak yang baik. Semoga Umi dan Aba tenang di sana.


Aku terkesiap ketika mendengar suara ketukan pintu kamar ini. Kuusap sisa air mata yang masih tersisa di pipi. Beranjak malas dari kursi, melangkah menuju pintu. Kubuka pintu kamar untuk memastikan seseorang yang ingin masuk. Senyum terpaksa kusungging ketika melihat Kak Fani berdiri di balik pintu kamar ini. Tatapanku beralih pada sesuatu yang ia bawa. Dia membawa nampan berisi makanan dan susu putih untukku.


"Boleh Kakak masuk?" tanyanya.


Kepalaku mengangguk, membuka pintu lebar agar dia masuk. Kak Fani masuk ke dalam kamar ini, berjalan menuju sofa yang ada di sisi kamar. Dia meletakkan nampan itu di atas meja. Aku masih berdiri pada posisiku, dekat dengan pintu.


"Mama menyuruhku buat antar sarapan kamu. Kamu harus makan, Ra. Sejak semalam kamu enggak makan sama sekali. Kami khawatir nanti kamu sakit, makanya aku ke sini bawa sarapan ini buat kamu. Makan, ya," katanya mengungkapkan dengan nada perhatian.


Aku kembali tersenyum tipis, lalu mengangguk lemah.


"Aku enggak akan pergi sebelum kamu habiskan sarapan ini. Ini janji aku ke Mama." Kak Fani berjalan menuju ranjang, duduk di sana.


"Nanti saja, Kak. Aku belum lapar." Aku beralasan.


"Belum lapar? Dari semalam? Kamu enggak kasihan sama tubuh kamu?" tanyanya dengan nada serius.


Hanya bisa menundukkan kepala.


"Terserah. Yang pasti aku akan menunggu sampai makanan yang aku bawa habis." Dia masih kukuh.


Aku menutup pintu, lalu berjalan menuju sofa. Duduk di sofa, lalu menatap makanan yang ada di atas meja. Nasi goreng, roti bakar, susu, dan air putih tersaji di depanku saat ini. Aku meraih susu dan mulai mengisapnya perlahan.


Sebanyak ini harus aku habiskan?


"Kamu sekarang berbeda, ya, Ra. Dulu kamu itu aktif, cerewet, dan tomboi. Sekarang justru pendiam, kalem, dan feminim. Jauh banget dari sifat kamu yang dulu. Beda sama Genta yang masih cuek, sok gaya, dan manja." Kak Fani bercerita.


Aku hanya tersenyum menanggapinya. Apa benar yang Kak Fani katakan? Menurutku enggak. Aku biasa saja dari yang dulu sampai saat ini. Atau memang aku yang enggak merasa perubahan sama diri aku sendiri?


Kini, aku mulai akrab dengan Kak Fani. Lebih tepatnya Kak Fani yang berusaha akrab denganku. Dia tipe kakak yang perhatian. Sifatnya tak berubah dari dulu. Aku tak tahu dia sudah menikah atau belum, karena belum ada penjelasan darinya. Umurnya sudah menginjak tiga puluh tahun, seharusnya dia sudah menikah di usia yang terbilang tidak muda lagi. Ah, itu bukan urusanku dan tak seharusnya aku menilai kehidupan Kak Fani.


"Aku senang banget waktu kamu setuju buat dinikahi Genta. Kamu lebih pantas buat Genta daripada Malaya yang matre."


Perhatianku langsung tertuju pada Kak Fani mengenai kesetujuannya dengan perjodohan aku dan Mas Genta. Dia pun terlihat santai, menunjukkan rasa tidak suka dengan wanita yang disebutkan. Malaya. Aku tak tahu mengenai wanita itu. Bisa jadi mantan kekasih Mas Genta, atau wanita yang sebelumnya dijodohkan dengan Mas Genta.


Aku beranjak dari sofa setelah menyelesaikan sarapan. Sengaja menuruti perkataan Kak Fani karena sebenarnya lapar, tapi memilih untuk bertahan, dan ini pun karena paksaan dari Kak Fani. Kuraih nampan dan beranjak dari sofa. "Aku keluar dulu, Kak," kataku pada Kak Fani.


"Memang sudah habis?" Dia memastikan.


"Rara enggak mungkin makan sebanyak ini, Kak." Aku menimpali, melanjutkan langkah untuk keluar dari kamar. Kak Fani mengikutiku, berjalan di belakang untuk menuju dapur. Langkahku melewati ruang keluarga. Sepi. Entah ke mana semua penghuni rumah ini.


Rumah ini sangat luas. Sudah lama aku tak memasuki rumah ini setelah sekian lama. Terakhir, aku datang ke sini saat masih kecil. Sekarang, aku masuk ke dalam rumah ini setelah sekian lama. Banyak yang berubah. Aku hampir lupa dengan setiap ruangan di rumah ini.


"Rara."


Aku terkesiap ketika Bu Isti menyebut namaku. Baru sekarang aku melihat Bu Isti tak mengenakan jilbab. Ternyata rambut beliau sudah mulai ditumbuhi uban. Faktor usia. Mungkin Umi pun akan sama, beruban. Rasa rindu pun muncul ketika mengingat Umi.


Bu Isti meminta nampan dari tanganku. Aku menggeleng, berjalan menuju tempat cuci piring. Sebuah usapan mendarat di kepalaku. Aku bergeming, sibuk mencuci piring.


"Jangan sungkan di sini. Mama sudah anggap kamu anak sendiri. Apalagi nanti kamu mau jadi istri Genta, jadi anggap saja ini rumah kamu sendiri, Ra." Bu Isti mengingatkan.


Kepalaku mengangguk lemah. Tak ada kata-kata yang bisa kuucapkan untuk membalas perkataan beliau. Lebih tepatnya aku tak enak hati.


"Nanti siang jadi jalan, Ma? Aku lupa kasih tau Rara." Kak Fani menyambar. Dia sudah ada di ruangan ini.


"Jadi. Mama mau beli sesuatu buar Zinnirah," balas Bu Isti.


"Mau ya, Ra? Kamu enggak boleh nolak," kata Kak Fani padaku.


Aku menatapnya lalu tersenyum paksa. Menolak pun pasti akhirnya akan ikut. Hanya diam jalan satu-satunya sebagai jawaban antara iya dan tidak.


Bu Isti dan Kak Fani mengajak aku ke ruang tengah. Sejak semalam aku belum keluar dari kamar dan baru pagi ini keluar. Mereka memang tidak memaksa aku untuk keluar dari kamar, tapi aku akan merasa tidak enak hati jika hanya berdiam diri di dalam sana. Aku harus menghargai mereka.


Saat ini aku duduk di samping Kak Fani. Di sini sudah ada Pak Hisyam. Beliau terlihat senang melihat aku duduk bersama mereka. Aku justru merasa malu dan tak enak hati. Mereka saling bercerita mengenai Mas Genta. Mengenai ketidaksetujuan mereka pada hubungan Mas Genta dan Malaya. Mereka lebih memilih aku untuk menjadi istri Mas Genta. Mereka mengatakan jika Malaya matre, hanya memanfaatkan Mas Genta demi kesenangannya. Aku hanya diam, menyimak obrolan mereka. Bukan hanya tentang Mas Genta, tapi mereka pun menceritakan tentang kegagalan pernikahan Kak Fani. Aku tahu sekarang, kenapa Kak Fani sendirian saat ini. Dia ternyata sudah bercerai dengan suaminya. Aku tak tahu apa alasannya, karena mereka tidak menceritakan secara jelas. Tapi, di sini cukup jelas jika Kak Fani sekarang janda. Mereka hanya tak ingin Mas Genta mengalami hal yang sama dengan Kak Fani.


Apa Mas Genta setuju dengan perjodohan ini? Aku khawatir kalau dia terpaksa menerima perjodohan ini demi menuruti permintaan Aba atau Pak Hisyam. Apa aku harus bertanya dengannya? Tapi aku enggak pernah ada kesempatan buat ketemu dengan dia karena pertemuan kita hanya sebentar saja sejak kemarin.

***

Bersambung ...

Jangan lupa follow dan tap bintang, ya.
Aku tunggu komentar kalian. Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro