09. Bertemu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oleh Schyler_, ArlenLangit, redlotus11, dewisty692, kth_nisa, titizkyla

Perkataan Narendra masih terekam jelas di memori Azkiya. Ia benar-benar tidak mengerti apa maksud lelaki itu. Jika hanya untuk menjahilinya, maka itu sangat berlebihan karena dapat menyebabkan gelombang baper dari pihak yang mendengar.

Karena tidak ingin memendam kebingungan itu sendiri, ia pun memutuskan untuk bertanya pada pihak yang—mungkin—menggombal. Namun, tanggapan berupa pertanyaan balik yang menunjukkan sok polos berhasil membuatnya kesal. Narendra menanyakan pertanyaan mana yang dimaksud olehnya.

Meskipun enggan serta malu, mau tak mau Azkiya menjawab, “Yang ini, loh. Tadi Bapak bilang, ‘Mending kamu fokus sama yang ada di sebelah kamu, contohnya saya’ gitu.”

Tak disangka, jawaban itu membuat telinga Narendra memerah karena malu. Namun, dengan cepat ia menetralkan ekspresi wajahnya yang menunjukkan keterkejutan. Makin malu nanti kalau ketahuan salting.

“Maksud saya, kamu seharusnya lebih fokus sama pekerjaan dan rapat saya nanti,” jelasnya hingga Azkiya mengangguk. Ia bersyukur gadis itu percaya begitu saja tanpa menaruh curiga sedikit pun. Entah terlalu polos atau bodoh.

Keheningan kembali menyelimuti mereka untuk beberapa saat sebelum Azkiya memecahkannya dengan meminta ponsel. Hal itu lantas membuat Narendra melempar tatapan tajam hingga ia meringis ketakutan.

“Lebih penting ponsel ini atau saya?” tanya Narendra sembari menunjukkan ponsel di tangannya hingga Azkiya tergiur untuk merampas benda tersebut.

“Jelah lebih penting handphone saya, Pak. Dia udah nemenin saya dari kuliah, loh. Kenangannya banyak banget, dia tuh kayak pacar yang selalu ngertiin saya.”

Lancar dan tanpa penyesalan. Azkiya mengucapkan kalimat itu secara spontan karena Narendra kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku ketika aksi perampasan nyaris dilakukan.

Gadis itu menyilangkan tangan di depan dada kemudian mengalihkan pandangan. Niatnya sih ngambek, biar kemauannya dituruti sama Narendra meskipun mustahil. Namun, pertanyaan lelaki itu kembali membuatnya terdiam.

“Apa saya nggak akan pernah jadi orang penting di hidup kamu?”

Mungkin karena masih kesal ponselnya tak kunjung dikembalikan, Azkiya—untuk kedua kalinya—secara spontak menjawab, “Saya nggak tau, lihat aja nanti ke depannya gimana.”

Narendra berusaha keras untuk mengendalikan ekspresinya agar tidak terciduk sedang bahagia. Ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati Azkiya. Oleh karena itu, ia akan menaklukkannya.

Ia tiba-tiba tersenyum karena membayangkan Azkiya menjadi istrinya. Biasa, bayangan seorang jomblo itu seluas alam semesta. Jadi, jangan heran jika mereka membayangkan sesuatu bahkan yang tidak masuk akal sekalipun.

Azkiya yang melihat hal itu langsung bergidik ngeri. Ia bertanya apakah Narendra baik-baik saja hingga lelaki itu melebarkan senyuman. Tidak waras. Itulah yang ia pikirkan tentang lelaki di sebelahnya saat ini.

Sikap bosnya ini sangat mudah berubah. Detik sebelumnya marah-marah, detik selanjutnya jadi seperti anak kecil yang berbahagia karena mendapatkan permen. Azkiya tentu merasa aneh, terlebih lagi setelah mengingat pertanyaan tentang posisi lelaki itu untuknya.

Apakah Narendra menyukainya? Tidak mungkin, ia harus pergi sekarang juga dari mimpi yang terlalu tinggi. Jangan pernah berharap lebih pada malaikat palsu. Bukankah itu prinsip yang harus dipegang  ketika berhadapan dengan bosnya? Tentu saja. Kenapa ia sempat melupakan hal penting itu?

Jika tidak ingin terjatuh dari ketinggian, maka jangan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Memang sih bahagia rasanya kalau harapan itu terwujud. Namun, sakit rasanya jika harapan itu kandas begitu saja.

Bukannya senang, jatuhnya malah jadi baper terus sakit hati karena orang yang niatnya tidak ada sama sekali untuk membuat baper. Seorang wanita biasanya suka kebablasan seperti itu, makanya sering dianggap lemah. Sedikit menyedihkan sih sebenarnya.

“Azki, habis ini kamu temenin saya rapat, ya.”

“Baik, Pak.”

Narendra sebenarnya tidak terlalu membutuhkan Azkiya dalam rapat yang akan dilaksanakan, tapi hatinya meminta. Entah sampai kapan dua sejoli ini saling tarik ulur seperti bermain layangan. Eum, sebentar. Memangnya sejak kapan mereka main tarik ulur? Baiklah, lupakan.

Tak lama setelahnya, mereka berdua tiba di Singapura, bahkan sekarang telah duduk manis di dalam ruangan persegi panjang. Rapat kali ini mendadak sedikit canggung bagi Narendra serta Azkiya, tapi peserta yang lain pasti juga merasakan hal sama.

Azkiya berusaha mengusir kecanggungan dengan cara mengajak Narendra untuk berdiskusi. Tidak hanya untuk menghilangkan perasaan aneh itu, tapi juga demi kelancaran rapat yang jauh-jauh mereka datangi.

Narendra berkali-kali mencuri pandangan ke arah Azkiya. Ketika mata mereka saling bertemu, ia segera berpaling dan mencari alasan. Please, deh. Mereka ini seharusnya cukup sadar diri dengan usia agar tidak bersikap malu-malu seperti anak sekolahan.

Pikiran Narendra saat ini tak berjalan selancar rapat bersama Thisan Group. Fokusnya melayang entah ke mana seperti kupu-kupu yang kini sedang terpampang di layar. Pembahasan rapat kali ini adalah tentang perumahan hijau.

“Bagaimana, Pak? Apa bisa kita mulai ke poin akhir?”

Seluruh pasang mata lantas terarah pada Narendra ketika salah satu peserta melemparkan pertanyaan. Setelah mendapat tatapan tersebut, ia pun berucap, “Baik, sepertinya saya memerlukan waktu untuk memberi keputusan. Sekretaris saya akan menghubungi kalian Jumat pagi.”

***
A

zkiya dengan cepat memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Sembari menyanyikan sebuah lagu, gadis itu melirik ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Ia kemudian meraih benda tersebut setelah melihat nama sang pengirim pesan.

Brokoli Shin-Chan
Kamu lihat jingga di langit sana?

CutiePie
Ada apa dengan jingga?

Brokoli Shin-Chan
Indah! Namun, dirinya kini pasti terluka

Azkiya memiringkan kepala karena bingung sebelum mengetikkan balasan. Jingga itu warna. Jadi, apakah sebuah warna bisa terluka? Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Tuan Brokoli. Atau mungkin dirinya yang terlalu bodoh?

CutiePie
Kenapa?

Brokoli Shin-Chan
Karena ada kamu yang jauh lebih indah

Anj … tidak, maksudnya Azkiya tersedak ludahnya sendiri setelah membaca kalimat tersebut. Gombal, tapi dia senang. Jadi, gimana dong? Image tentunya harus tetap dijaga ketika kita berhadapan dengan gebetan. Rasa senang jangan ditunjukkan, nanti gebetannya besar kepala.

CutiePie
Kantong keresek mana, ya? Pengin muntah

Brokoli Shin-Chan
Sini, di tangan aku aja. Pasti muntahnya seindah wajah kamu atau mungkin seindah pelangi

Muntah pelangi? Azkiya tertawa membayangkan wajahnya diedit dengan muntah berwarna pelangi. Ada-ada saja teknologi zaman sekarang. Baiklah, tetap bersikap santai dalam berkirim pesan dengan sang gebetan meskipun aslinya ingin jungkir balik.

CutiePie
Nggak punya receh

Brokoli Shin-Chan
Kalo bayarnya sama ketemuan mau nggak?

Azkiya terkejut setelah membaca pesan tersebut. Bertemu? Dengan Tuan Brokoli? Sejujurnya ia belum siap dan takut jika lelaki itu tidak menyukainya. Bagaimana jika Shin-Chan kecewa setelah bertemu dirinya? Ia terlalu naif untuk bisa legowo.

Brokoli Shin-Chan
Gardens By The Bay, 21.00

Azkiya melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 19.45 setelah membaca pesan tersebut. Mungkin ia tidak bisa mengubah takdir, tapi ia bisa menyusunnya agar bisa mendapat takdir yang baik. Ia juga yakin, takdir baiknya ada di tempat itu.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro