06. Kekasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

We Got Married © HeraUzuchii

Naruto © Masashi Kishimoto

A NaruSasu Fanfiction

Romance, Humor, sedikit bumbu Hurt

YAOI, OOC, TYPO(S), AU

Happy Reading

.

.

.


Di tinggalkan begitu saja oleh Naruto dan Sasuke, membuat Sai dan Karin berakhir di sebuah Kafe yang tidak jauh dari tempat kejadian perkara antara Naruto dan Sasuke. Rencana yang masing-masing telah dibuat akhirnya batal.

Sebenarnya Karin maupun Sai menunggu Naruto dan Sasuke di halte itu, tapi keduanya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga matahari berada di atas kepala. Karena, lelah, haus dan lapar juga sebuah tanda tanya besar yang membingungkan keduanya, akhirnya mereka memutuskan untuk memasuki Kafe di seberang jalan.

Mereka membahas soal hubungan Naruto dan Sasuke serta

Kaouro

"Aku.... Jadi, bingung." Karin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sai menatap cangkir kopi yang isinya tersisa seperemat di atas mejanya, berpikir.

"Itu artinya, Naruto sudah punya kekasih dan akan menikah dengan kakakku," ucap Sai, mengalihkan pandangan dari cangkirnya ke Karin.

Karin juga menatap Sai tanpa berkata, menunggu Sai melanjutkan ucapannya.

"Kakakku akan menikah dengan orang yang mencintai orang lain," lanjut Sai.

"Hal ini sudah biasa terjadi dalam perjodohan. Tidak saling mencintai," ujar Karin seraya menyendokkan Cake strawberry-nya ke dalam mulut.

"Iya. Tapi, kenapa Naruto-nii tidak menolak saja?" Sai memperhatikan Karin yang asyik menghabiskan Cake-nya. Tidak seperti dirinya yang hanya memakan separuh kue miliknya, Sai mendadak tidak nafsu.

"Naruto sulit untuk menolak Ji-san ku," jawab Karin disela kunyahannya, lalu ia menelan habis kue di mulutnya sebelum melanjutkan, "dan, Sasuke, kenapa tidak menolak?" tanya Karin balik.

"Sama seperti Naruto, Aniki tidak bisa menolak Tou-chan." Sai menunduk, kembali menatap cangkirnya. Mendadak ia kembali merasa bersalah pada Sasuke, seperti saat pertama kali pembicaraan perjodohan itu.

"Dia punya alasan kuat untuk itu," ucap Sai pelan.

Karin memandang heran pemuda di depannya yang mendadak sedih.

Karin mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan wajahnya pada Sai yang menunduk, ingin melihat jelas wajah pemuda itu.

"Hei, kau kenapa?" tanya Karin.

Sai tetap menunduk.

"Aku hanya khawatir pada Aniki-ku. Dia belum pernah merasakan jatuh cinta...." Sai menoleh ke samping kirinya, memandang jalan dari kaca jendela kafe.

"....cinta bisa datang kapan saja, kita tidak tahu di mana sekarang mereka, sedang apa, bisa saja saat ini Aniki jatuh cinta pada Naruto-nii hanya karena melihat senyuman Naruto-nii. Sedangkan, Naruto mencintai orang lain, Aniki akan sakit hati."

"Berapa usiamu?" tanya Karin lari dari topik.

Sai kembali menoleh pada Karin dengan mimik bingung ditanya hal berbeda dari pembahasan.

"15," jawab Sai singkat.

"Kau masih muda, tapi bicaramu mengalahkan orang dewasa sepertiku." Karin kembali menyuap potongan kue terakhir di piringnya.

"Tidak perlu dewasa untuk tahu soal cinta."

Karin tersedak kue di mulutnya mendengar perkataan Sai. Dia tidak menyangka akan bertemu orang seperti Sai. Ini pertama kalinya, ia biasa hidup dalam lingkungan manusia sulit-dimengerti, Naruto contohnya.

Karin meneguk minumannya untuk meredakan rasa tidak nyaman di tenggorokannya akibat tersedak.

"Aku saja tidak pernah berpikir sampai segitunya," katanya seraya meletakkan kembali gelasnya.

"Mungkin otakmu tidak sampai," Sai berujar santai dengan wajah polos.

Sementara Karin melotot tidak percaya dirinya telah dihina oleh seorang bocah. Ia membuka mulut, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata. Karin ingin memaki bocah di depannya, namun melihat wajah poslosnya, Karin jadi tidak tega. Karin menghela napas, kembali mengatupkan bibirnya. Anak di depannya ini sepertinya anak polos. Sepertinya.

"Jadi, kau mau apa? Membatalkan pernikahan mereka karena takut Aniki-mu jatuh cinta dan sakit hati?" tanya Karin, mengembalikan topik pembahasan. Berusaha melupakan kata Sai yang menohok hati.

Sai mengangguk ragu. Ia memang ingin membatalkannya setelah tahu Naruto sudah punya kekasih. Tetapi, ia tidak tahu cara menyampaikan pada ayahnya.

Karin dapat melihat keraguan di wajah Sai.

"Cobalah berpikir positif, mungkin saja Naruto juga akan jatuh cinta dengan Sasuke. Seperti di film dan novel."

Sai menatap Karin lama, mencerna setiap kata yang Karin ucapkan. Tak lama ia tersenyum hingga menampakkan deretan gigi-giginya.

"Aku punya ide!" seru Sai semangat. Ia baru saja mendapatkan sebuah ilham yang baginya sangat menakjubkan.

Sai mendekatkan diri pada Karin dan menyampaikan idenya, "bagaimana kalau kita membuat mereka saling jatuh cinta?"

"Maksudmu menjadi cupid mereka begitu?"

Sai mengangguk, menyandarkan diri pada punggung kursi.

"Bagaimana? Setuju?" Sai menatap Karin, menunggu gadis dengan rambut merah tersebut menyetujuinya.

Karin mengetukkan telunjuknya di meja, sebalah tangannya ia gunakan untuk menopang dagu, ia juga menatap wajah antusias Sai.

Sai menaikkan kedua alisnya, bertanya pendapat Karin yang masih menimang ajakannya.

"Sebenarnya, aku tidak mau ikut campur dalam urusan percintaan Naruto. Siapa pun yang ia pilih, aku akan mendukungnya," jawab Karin.

Wajah antusias Sai perlahan berubah kecewa.

"Kau juga harus memikirkan nasib kekasih Naruto."

Ucapan Karin sukses membuat Sai meragukan idenya. Ia jadi merasa menjadi orang egois.

"Kalau begitu, kita harus membatalkan pernikahannya," kata Sai pelan.

Karin menyandarkan punggungnya pada kursi sambil memijat pelipisnya, ia mendadak pusing. Berniat untuk menghadiri pernikahan sepupunya sekaligus liburan, malah menjadi mengurus masalah rumitnya perjodohan dan percintaan, dengan anak sekolah pula.

Karin mengibaskan tangan seraya berkata, "sudahlah. Aku tidak ingin ikut campur."

Karin beranjak dari kursinya dan memakai tas kecilnya. Sai memperhatikan Karin yang bersiap pergi.

"Aku yang bayar semuanya," ucap Karin lalu berjalan menuju kasir. Sebelumnya ia berhenti di hadapan Sai. "Jangan terlalu memikirkan hal itu, kau masih terlalu muda." Kemudian melangkah pergi.

Sai hanya diam di tempatnya, tidak ada niatan untuk pulang ke rumah. Ia masih berpikir tentang Sasuke. Dirinya sungguh tidak mau jika Aniki-nya tersakiti nanti. Baginya, sudah cukup Sasuke membuang mimpinya karena dirinya.

***

Matahari sudah kembali ke peraduannya dan di gantikan oleh bulan ketika Sai tiba di rumahnya. Sehabis dari kafe, ia tidak langsung pulang ke rumah, lebih memilih berjalan-jalan sendiri untuk menenangkan pikiran.

"Tadaima!" teriak Sai tidak bersemangat.

Ketika memasuki rumah ia disambut oleh ibunya dengan senyum hangat seperti biasa. Sai membalas dengan senyum lemah, membuat ibunya bingung. Ditambah dengan Sai tidak pulang bersama Sasuke.

"Di mana Aniki-mu?" tanya Nyonya Uchiha."

"Aniki belum pulang?" Sai balik bertanya. Mendapatkan gelengan dan tatapan bingung dari ibunya.

"Dia bersama Naruto-nii," jawab Sai.

"Oh!" Nyonya Uchiha sedikit terkejut, tapi sedetik kemudian ia tersenyum. "Baguslah, mereka berusaha mengakrabkan diri tanpa diminta. Dengan begini, semua bisa berjalan lancar."

Sai ikut tersenyum kecil. Ia ingin memberi tahu ibunya, tapi ia tidak mau menghancurkan senyuman kebahagian itu. Setelahnya, Sai pamit untuk membersihkan diri.

Sai tidak bisa menghentikan dirinya untuk berhenti memikirkan apa yang sedang dilakukan Sasuke dan Naruto di luar sana. Ia berharap kakaknya baik-baik saja.

***

"Ini bukan arah jalan ke rumahku, Dobe." Sasuke memperhatikan jalan, memastikan jika perkataannya benar.

"Memang," balas Naruto singkat.

Mendengar balasan Naruto, Sasuke langsung menoleh cepat pada pemuda itu dan menatapnya tajam.

"Kau mau bawa aku ke mana?"

Tanpa mau repot-repot untuk menoleh, Naruto menjawab santai, "aku lapar. Jika harus mengantarmu dulu lalu pulang ke rumah, aku bisa mati di jalan."

Sasuke mendengus sebal seraya berbalik menghadap ke depan.

"Berlebihan," gumamnya pelan.

"Bersyukur aku masih mau mengajakmu makan, daripada ku turunkan di jalan."

"Turunkan saja, kalau kau mau Madonna dapat hadiah baru."

"Pengancam."

***

Sai berbaring di ranjang milik Sasuke, sehabis membersihkan tubuh dan makan malam ia memilih menunggu Sasuke di kamar Aniki-nya tersebut. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan, persoalan yang ia bahas bersama Karin di Kafe tadi siang.

Hampir satu jam Sai menunggu hingga ia merasakan kedua matanya memberat, Sasuke tidak kunjung pulang. Sai melirik jam kecil di meja Sasuke, sudah nyaris waktu tidurnya, ia bahkan melewatkan masa belajarnya.

"Apa yang mereka lakukan sampai malam begini?" tanya Sai entah pada siapa. Rasa khawatir mulai menghampirinya.

Sai beranjak dari kasur Sasuke, berniat untuk mengambil ponsel di kamarnya. Ia baru akan menyentuh gagang pintu, namun pintu berwarna cokelat itu terbuka lebih dulu dan menampilkan sosok Sasuke yang sedikit terkejut mendapati Sai di kamarnya.

Sai juga sedikit kaget, tapi kemudian ia tersenyum lega melihat Sasuke pulang dalam keadaan utuh. Dan sepertinya, Aniki-nya baik-baik saja, malah terlihat biasa saja. Sejenak rasa khawatir yang sempat ia rasakan menghilang.

Tetapi, Sai baru menyadari sesuatu. Selama Sasuke bertemu Naruto, setelahnya Aniki-nya akan berwajah kusut dan kesal, namun sekarang....

'Apa dia benar-benar jatuh cinta?!' batin Sai histeris, sekarang ia kembali khawatir.

Sasuke menatap bingung adiknya yang berdiri melamun di hadapannya. Ia menggerakkan tangan di depan wajah Sai sambil menyerukan nama pemuda itu, tapi tidak mendapat respon apa pun.

"Sai!" panggil Sasuke lebih keras dan menepuk bahu adiknya.

Sai terlonjak kecil merasakan tepukan di bahunya, berkedip beberapa kali karena baru tersadar dari lamunannya.

"Kau kenapa?" tanya Sasuke sedikit cemas.

Sai menggeleng pelan dan tersenyum kecil. "Aniki ke mana saja sampai lupa waktu? Apa bersama Naruto-nii sangat menyenangkan?"

Sasuke berjalan mendekati meja samping tempat tidurnya, melepaskan tas selempang yang ia gunakan dan meletakkannya di meja itu.

"Aku pergi ke panti asuhan," jawab Sasuke seraya melepaskan jaket birunya dan kali ini ia melangkah ke almari untuk menggantung jaketnya.

Sai memperhatikan setiap gerakan Sasuke, masih dengan berdiri di depan pintu yang kini sudah di tutup.

"Hanya itu?"

Sasuke menghadap pada Sai lalu mengangguk. "Kau tidak tidur? Ini sudah jam tidurmu, kan?"

Sai tidak menjawab. Ia hanya diam melihat setiap hal yang dilakukan Sasuke. Kini, aniki-nya itu mengambil handuk dan menuju kamar mandi yang ada di ruangannya.

"Aku akan menunggumu di sini. Ada yang ingin aku bicarakan." Sai duduk di pinggiran ranjang.

Sasuke menoleh, menatap Sai dengan alis bertaut, seolah bertanya 'kenapa?' tetapi Sai hanya diam. Sasuke mengedikkan bahunya dan masuk ke kamar mandi. Ia ingin segera merasakan air menyentuh tubuhnya yang terasa lengket.

***

"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" tanya Sasuke. Mengambil posisi duduk menghadap Sai di kursi belajarnya sembari mengerikan rambut dengan handuk.

"Aniki... Yakin menyetujui perjodohan ini?" tanya Sai dengan wajah serius.

Sasuke menghentikan gerakan menggosok rambutnya dan menatap Sai.

"Kenapa bertanya begitu lagi? Aku sudah menerima ini dan aku yakin dengan keputusanku," jawab Sasuke tak kalah serius.

Sebelum Sai kembali membuka mulutnya, Sasuke telah berbicara lebih dulu, "bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membahas ini lagi?"

Sai hanya diam membalas tatapan Sasuke, kemudian ia mengangguk perlahan.

Sasuke beranjak dari duduknya, menaruh handuknya begitu saja di sandaran meja lalu berbaring sembari menarik selimut menutupi tubuhnya. Bersiap tidur yang seolah memberi isyarat pada Sai untuk segera pergi.

"Naruto-nii sudah punya kekasih. Aku harap Aniki mengerti. Oyasumi."

Setelahnya, Sai pergi meninggalkan Sasuke yang terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.

Naruto sudah mempunyai kekasih.

Kalimat itu terus berputar di otaknya. Sasuke kecewa, bukan karena ia mencintai Naruto dan merasa dikhianati. Ia kecewa dengan rencana perjodohan ini juga dirinya.

Naruto sudah memiliki kekasih dan akan menikah dengannya. Bukankah artinya ia merusak kebahagiaan orang lain. Tetapi, jika tidak dengan cara seperti ini, keluarganya akan kesulitan.

Sasuke dilema.

***

Naruto menatap wanita di depannya sebal. Tubuhnya lelah, ia ingin segera beristirahat, apalagi besok harus bangun pagi dan kembali bekerja. Tapi, wanita dengan piyama yang tengah duduk di sofa --yang tidak jauh dari ranjangnya-- terus menatapnya meminta penjelasan.

Naruto bisa saja mengabaikan wanita itu dan segera mengarungi dunia mimpi. Jika dua detik setelah menutup mata tidak ada teriakan melengking dari wanita itu.

Naruto mengerang kesal, menarik helaian pirangnya frustrasi.

"Aku ingin tidur! Masih ada hari esok, Karin!" ucap Naruto menahan emosi.

Akhirnya Karin berdiri dari duduknya tapi belum melangkahkan kakinya, matanya juga tetap memandang Naruto.

"Putuskan segera Naruto. Kalau kau mencintai Kaouro, perjuangkan. Tapi, jika hanya untuk kesenangan, tinggalkan dan belajarlah mencintai Sasuke."

"Aku baru tahu kalau kau tumbuh menjadi wanita pengurus urusan orang," kata Naruto datar.

"Aku hanya ingin kau bahagia. Bersikaplah sesuai umurmu, Naruto. Jiisan semakin tua meski wajahnya tetap muda, dia juga ingin melihatmu berdiri di altar dan mempunyai keluarga," ucap Karin panjang lebar.

Naruto menanggapi dengan menguap lebar. "Iya, iya," jawab Naruto malas. Kemudian berbaring terlentang dan menutup matanya. Ia benar-benar mengantuk dan lelah.

Karin ingin melempar Naruto dengan sandal putih berbulu miliknya, namun ia urungkan ketika mendengar dengkuran Naruto. Sebelum berlalu dari ruangan Naruto ia tersenyum geli melihat wajah tidur Naruto dengan mulut terbuka.

"Dia benar-benar lelah," gumamnya pelan lalu membenarkan selimut Naruto dan pergi.

***

Naruto sudah rapi dengan jas kerjanya ketika ia turun untuk bergabung bersama Ayahnya dan Karin. Ia memberikan senyuman lebar serta sapaaan bernada riang. Dibalas tak kalah semangat oleh Karin, sedangkan ayahnya tersenyum dan mengangguk pelan.

"Naruto, setelah jam makan siang nanti, pergilah jemput Sasuke." Minato memecah keheningan di tengah sarapan pagi.

"Untuk apa? Aku harus bekerja, Touchan," tanya Naruto dan memandang touchan-nya bingung.

"Tidak usah, biar touchan yang menggantikan. Kau pergilah bersama Sasuke ke toko perhiasaan dan pilih cincin pernikahan kalian."

"Secepat itu?" Naruto histeris.

"Pernikahanmu kan satu bulan lagi. Semua harus sudah dipersiapkan, Naruto." Karin ikut menimpali.

"Hah?" Naruto semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua orang yang tengah menyantap sarapan bersamanya.

"Coba kau pikir, untuk apa Karin datang cepat ke sini? Tentu untuk membantu persiapan pernikahanmu."

***

Dengan berat hati Naruto menuruti perintah ayahnya. Sudah kesekian kalinya waktu untuk kekasihnya tersita karena harus menemui Sasuke. Tetapi, kali ini ia tidak mau membuang waktu berduaannya begitu saja, dengan begitu ia membawa serta Kaouru bersamanya.

"Kenapa kita ke sini, Naruto?" tanya Kaouro bingung.

"Menjemput seseorang, sayang," jawab Naruto lembut.

"Oh." Kaouro mengangguk paham, tidak ingin bertanya lebih lanjut.

"Nah, itu dia datang." lalu Naruto menurunkan jendela mobil, memanggil sosok yang jalan mendekat ke mobilnya.

"Sasuke, bisakah kau lebih cepat? Aku sampai lumutan menunggumu!" teriaknya dengan kepala menyembul dari dalam mobil.

Sasuke hanya diam tanpa mau repot-repot membalas perkataan Naruto. Ia mempercepat langkahnya, sesampai di mobil Naruto, baru saja tangannya akan menyentuh pintu mobil, Naruto kembali berteriak, "jangan di situ, di belakang. Kekasihku ada di sini."

Sasuke diam di tempat, mencerna perkataan simpel Naruto, "kekasih?"

Teringat perkataan Sai semalam, Sasuke mendadak merasa tidak nyaman.

TBC

MAAF MENGECEWAKAN, SESUNGGUHNYA HERA SEDANG DALAM MASA SULIT MENDAPAT IDE :')

Fyi, Chap depan akan ada keributan. Spoiler dikit, pernikahan terancam gagal uhuyyy!! SAYA TIDAK AKAN MUDAH MEMBERIKAN MEREKA KENYAMANAN HIDUP! HAHA

Terima kasih untuk vote dan komennya, ily'all :*

301217

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro