Stony 《 Elegi-Romance/Angst 》

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Napasnya memburu dalam dekap gelora malam
Dia tak mengeluh.
Tubuhnya dirasuki rasa sakit yang menghujam
Dia tak mengeluh.
Detik waktu terus berlari pergi menyeret jiwanya yang kian rapuh.
Ada sosok yang bergeming, menjaga dan tak pernah menjauh.

.
.

Banyak hal yang berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu.

Siang pergi, dan malam menjelang datang. Lalu dewi malam bersembunyi, pertanda hari berganti.

Selalu, setiap kali misi yang ia kerjakan berakhir, Steve Rogers tidak sabar untuk menginjakkan kaki lagi ke Menara Avengers. Ia tak pernah merindukan tempat itu selama misinya, satu-satunya alasan untuknya kembali adalah untuk menemui seseorang yang selalu membuatnya ingin kembali mengijakkan kakinya disini.

Ia menyapa Bruce yang berada di ruang depan, juga Clint dan Natasha yang sedang berbincang tentang misi mereka sebelum ini. Thorpun juga sedang sibuk dengan poptarts yang ia makan sambil menonton TV yang ada didepannya. Sebuah kegiatan yang biasa dilakukan semua orang disini jika tidak ada misi yang membebani.

Natasha menyuruhnya beristirahat, namun ia tidak lelah.

Satu-satunya tujuan ia kembali kemari.

Menemui Tony Stark. Secepatnya.

.
.

Seperti biasa suara mesin-mesin yang bekerja beriringan terdengar. Tony sesekali bergerak memijat pundaknya sendiri dan menggerakkan lehernya karena pegal. Ia tidak pernah keberatan untuk menghabiskan harinya dengan anak-anaknya ini tanpa beristirahat. Hanya saja, beberapa bulan ini ia merasa tubuhnya cepat letih. Bahkan hanya untuk mengerjakan beberapa proyek yang biasa ia bisa lakukan belasan kalipun, sudah cukup untuk membuatnya menarik napas dalam.

Bukan karena rasa kantuk yang diakibatkan oleh kurangnya jam tidur yang ia miliki, tetapi karena hal lain.

Matanya mengerjap beberapa kali, langkah kaki tegas yang tidak pernah berubah itu sangat khas membuatnya tidak perlu berpaling untuk mengetahui siapa yang memasuki ruangan kerjanya. Pria itu akan selalu melangkah mendekatinya--

"Hei Tony..."

--dan ia akan mendapatkan sebuah dekapan dari sepasang tangan yang kini melingkari lehernya dari belakang.

"Kau sudah kembali?" Ia memegang tangan itu dan hanya terkekeh pelan tanpa berbalik. Steve Rogers mendekatkan dirinya dan menaruh kepalanya diatas bahu pria itu.

"Aku merindukanmu."

"Bagaimana kalau aku mengatakan aku tidak merindukanmu?"

Pria itu kembali terkekeh melihat sang terkasih merengut, dan setelah itu hanya desiran angin dan suara mesin-mesin yang terdengar beradu. Mereka menjadi saksi, saat sepasang bibir bertautan, bertukar napas dalam kehangatan.

Semakin dalam,
Dan waktu menyaksikan.

.
.

Beberapa hari ini tidak ada sama sekali misi yang mengikat semua anggota. Mereka menjalankan aktifitas seperti biasa, seperti orang-orang normal pada umumnya. Tidak ada sama sekali hal berbahaya yang terjadi, satu dari sekian hari yang langka untuk didapatkan mengingat mereka adalah sekelompok superhero juga agen profesional.

Steve mengajak Tony--memaksanya untuk keluar dari bengkel kerjanya untuk beberapa hari saja menuruti kemauannya. Steve tidak akan menyiakan waktu saat Tony setuju meski hanya untuk dua hari saja.

Memang bukan waktu yang lama, hanya 48 jam dikurangi waktu di perjalanan. Tapi itu adalah waktu yang lama untuk mereka bersama tanpa ada gangguan apapun. Disibukkan dengan beberapa misi juga pekerjaan dari Stark Industry, membuat masing-masing dari mereka tidak memiliki waktu banyak untuk dihabiskan berdua.

Tony awalnya terlihat enggan untuk meninggalkan mesin-mesin kesayangannya, masih memasang wajah cemberut saat mereka tiba di sebuah Villa dari kayu yang berada di tepi danau tersebut.

Namun, Tony sama sekali tidak keberatan dan menolak saat sepasang tangan kembali mendekapnya dalam kehangatan. Karena belum tentu setelah ini mereka akan memiliki waktu untuk bertemu kembali dalam jangka waktu yang cukup lama.

Kayu di perapian menimbulkan bunyi gertakan pelan, cengkraman di baju mengerat saat sapuan basah menyentuh kulitnya. Deru napas bersatu dibawah cahaya bulan keperakan yang mengintip dibalik celah bingkai jendela kayu di sudut ruangan.

.

Suara decit ranjang yang bergetar pelan memecah gema kebisuan.

.
.

Sakit yang menyusup kian terasa, seperti menusuk seluruh tubuhnya dengan jarum panas yang dapat melelehkannya. Beberapa kali pandangannya menggelap dan seolah segalanya berputar dengan tak karuan, wajahnya semakin terlihat pucat saat ia merasakan tubuhnya lelah. Bukan lelah yang biasa.

Berkali-kali semua orang menanyakan keadaannya, dan ia selalu menepisnya mentah-mentah. Mereka selalu keras kepala hanya untuk menyerah dan mengangguk cemas mengerti atas jawaban dari Tony meski tidak sesuai dengan harapan mereka. Dan setelah itu, Tony akan kembali menjalankan kesehariannya seperti biasa.

Mengabaikan rasa sakit yang semakin hari menjadi semakin nyata.

Hingga suatu hari, dia tak bisa lagi menahan beban tubuhnya itu. Yang ia dengar hanyalah teriakan memanggil Tony dari Clint dan suara panik dari Pepper juga Rhodey. Kesadarannya sepenuhnya menghilang, saat iris mata biru itu menatapnya cemas berkelebat diatas sosoknya.

.

Rasa sakit menggerogoti tubuhnya.

Berbulan-bulan terabaikan dan kini mencuat secara tiba-tiba ke permukaan.

Dia tak lemah, namun rasa sakit ini tak tertahankan.

.
.

Apa yang dapat dilakukan, saat takdir telah menunjukkan jalan yang tak dapat diingkari?

Apa lagi yang dapat dirasa, jika indera terasa tidak berfungsi sebagai mana mestinya?

.
.

Dia tidak sepenuhnya pingsan.

Tes... tes... tes...

Dia bisa mendengar semuanya, hingga tetesan infus beraturan yang terjatuh setiap tiga detik sekali. Desir angin yang memainkan dedaunan dapat ditangkap oleh gendang telinganya.

Dia tak sepenuhnya pingsan, tapi kelopak matanya terlalu lelah hingga ia terus terpejam. Dia memejamkan mata, tetapi ia tidak tertidur.

Dia mendengar apa yang orang lain katakan.

"Aku sudah mendapatkan hasil pemeriksaan Tony..."

Apa yang dikatakan Bruce? Ia yakin ia salah mendengarnya.

.
.

"Steve," Pepper menyentak kedua bahu Steve, saat ia melihat pupil Steve yang melebar. Bahkan Natasha tidak berani untuk menyentuhnya yang hanya diam tanpa ekspresi. Seolah jiwa tak ada lagi untuk mengisi tubuhnya. Seolah jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat.

.

Steve ingin tertawa. Dia ingin menertawai Bruce yang baru saja mengajaknya berbicara dan memberitahu hasil diagnosa. Ini pasti lelucon. Lelucon yang sama sekali tidak ingin didengarnya. Lelucon yang membuatnya merasa tubuhnya kaku hingga rasanya seluruh tulangnya melunak dan tak mampu menompang berat tubuh.

Ada kesalahan di kalimat yang baru saja ia dengar. Itu pasti hanya manifestasi semu yang tak dapat dibuktikan kebenarannya.

Sayangnya...

Kenyataan terkadang terlalu menyakitkan, jika dibandingkan dengan asa yang diharapkan.

Tidak mungkin seorang Tony Stark yang merupakan pahlawan super, berhasil lolos dari banyak hal yang nyaris membunuhnya, juga terlihat sehat bahkan sangat keras kepala bahkan hanya untuk tidur kini berbaring di ranjang rumah sakit. Pasti ada kesalahan dengan pendengarannya. Tidak mungkin Tony-nya akan kalah dengan hal semacam ini. Pasti ada kesalahan--

"Steve--" Natasha memanggilnya dengan nada cemas, dan Thor menepuk pundaknya terasa seperti hantaman keras di kepalanya. Dia tidak sedang bermimpi. Telinganya masih cukup tajam untuk mendengarkan. Dia masih cukup sadar untuk mengenal... bahwa ini adalah kenyataan.

Dia kuat. Dia kuat. Dia tidak lemah.

Dia tak akan kalah pada takdir, hingga batas kemampuannya untuk tetap bertahan.

.
.

"Apa yang sedang kau lakukan Tony?"

Steve menghela napas dan menggelengkan kepalanya saat melihat Tony sudah berada di dalam bengkelnya lagi bahkan belum satu minggu setelah ia pingsan. Tony menoleh dan menatap Steve yang sudah berada di belakangnya, merebut kunci inggris di tangan Tony dengan cepat.

"Aku hanya bosaaan," Tony merengek, ia menghela napas dan menyenderkan badannya pada senderan kursinya dan juga tubuh bidang Steve, "aku akan menemanimu. Bagaimana jika kita menonton saja?"

Steve tersenyum, menatap Tony yang terdiam sebelum menyunggingkan senyuman dan bergerak berdiri. Ia memeluk Steve dan menatap iris mata biru itu.

"Aku akan setuju jika kau menggendongku."

Steve tidak perlu berpikir dua kali, saat Tony membiarkan kedua kakinya melingkar di pinggang Steve, dan dua bibir itu kembali bertautan dalam hening yang kembali tercipta.

.

Satu, dari sekian banyak waktu yang tercipta.

.
.

Adakah yang menyadari bahwa di balik wajahnya yang tersenyum, sekujur tubuhnya berteriak dan menangis?

.

Wajahnya semakin pucat dan terlihat lelah.

"Hei, pagi Tony..."

Matanya menatap sayu pada Steve yang tersenyum ke arahnya sambil mendekatkan wajahnya.

"Tidur nyenyak?"

"Aku mau pulang." Steve tampak berhenti saat akan akan mencium Tony. Ia menatap Tony dan menghela napas.

"Kalau kau sudah sembuh kau boleh pulang."

"Aku tidak sakit-" Tenggorokannya tercekat dan terasa kering saat dirinya terbatuk beberapa kali. Menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya yang terasa seperti membakar habis dirinya hingga tak bersisa.

Matanya menatap datar pada kedua tangannya.

Merah menodai telapak tangannya yang putih. Dia tahu dia tidak baik-baik saja.

.
.

Steve selalu menungguinya, hingga dapat terlihat jelas setiap kali dia menatap wajah sang Kapten Amerika itu bayang hitam yang semakin kentara di bawah mata. Wajahnya terlihat tak seperti biasanya, tapi dengan mudahnya tertutupi tawa. Fury mengizinkan hal itu dengan berat hati dan ancaman dari Natasha. Membebaskan mereka berdua dari tugas. Anggota yang lain sering datang, meski harus pulang lagi karena meski Tony tidak mengatakannya, mereka tahu ia tidak suka terlihat lemah.

Dia tidak menyukai tempat ini. Dia ingin segara pergi dari sini. Keinginan untuk menyerang perawat yang datang ke ruangan tempat ia beristirahat terhalang oleh rasa sakit setiap kali ia menggerakkan tubuhnya.

Sejak kapan dia jadi selemah ini?

.
.

"Hei Steve," matanya terpejam dengan tenang seolah tertidur.

"Hm? Ada apa Nat?"

"Makanlah, kau belum makan sejak kemarin. Clint membuatkanmu makanan," suara lembut yang dikenalnya terdengar nyaring meski terselip nada khawatir yang jelas kentara.

"Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya nanti."

.
.

Getaran sakit terasa riuh menggelegak. Menyebar memenuhi spasi dan menggigit pori-pori. Tak ada lagi yang terasa selain perih yang menikam sanubari. Terlalu dalam hingga sekujur tubuhnya gemetaran. Lelah, itulah yang ia rasakan.

Iaa terbaring tenang, Steve menyelimutinya. Sama sekali tak memperhatikan ringisan tertahan yang tersembunyi di balik kelopak mata yang mengatup dalam dekapan malam.


Dia tak ingin bergeming di sini sementara waktu terus berlari dan tak berhenti berotasi. Dia tak ingin mematung di sudut hampa sementara cakrawala terus berganti warna.

Tapi takdir memaksanya untuk menyadari bahwa dirinya tak bisa melepaskan diri dari jerat ini.

Ia bukan dewa, ia bukan seorang super soldier seperti Steve.

... Dia hanya manusia.

.
.

"Apakah kau tidak bosan datang kemari Steve? Aku bahkan bosan melihatmu datang dan pergi terus menerus," Tony berkata dengan nada yang ia coba terdengar menebalkan sambil meletakkan cangkir yang masih mengepulkan asap tipis di sebelahnya.

Steve hanya tersenyum tipis mendekati Tony yang tengah menatap keluar melalui jendela yang ada di sisinya. Menikmati waktu sore. Mengamati warna biru dan merah yang tercampur menghasilkan warna lembut lembayung senja di cakrawala.

"Sedang bersantai, Tony?" Steve mendudukkan diri di sisi kanan Tony. Tangan kanannya mengusap pelan kepala Tony dan mengecup keningnya. Tony mengernyit tanpa menjawab.

"Hari ini hari yang cerah. Bagaimana kalau kita berkencan?"

"Kau bodoh."

"Kau tampan, sekaligus manis." Steve tersenyum lebar,
. Tony bergeming tak menanggapi, hanya memalingkan wajahnya. Senyum geli menghiasi wajah Steve menatap garis rona samar di wajah sang terkasih.

"Jadi, mau berkencan?"

"Kurasa tidak."

Napasnya tak akan terbuang secara percuma.
Selama dia masih mampu untuk tetap terjaga.

.

.

Hari-hari panjangnya di rumah sakit hanya diisi dengan rangkaian kemoterapi. Berapa kali pun ia memaksa untuk pergi, Steve menggenggam tangannya erat, memaksanya agar tetap di sini. Karena dia tak punya cukup tenaga untuk menghantamkan repulsornya pada siapapun yang berani menjamah dan menyentuhnya.

Berkali-kali dengan kasar dia menepis nampan berisi obat yang disodorkan padanya. Untuk apa tetap meminum butiran pahit itu, jika rasa sakit yang mendera tak juga sirna. Tatapan tajamnya tampak melunak beberapa saat melihat Steve memungut butiran obat yang berserakan di lantai dan menyuruh perawat untuk pergi.

Tak dapat ditolaknya lagi...

Tubuhnya tak setegap dulu, semakin kurus dan selalu kelelahan. Wajahnya pucat, bibirnya kering dengan kulit yang sering mengelupas pecah. Benang-benang cokelat yang menghiasi kepalanya perlahan berjatuhan, hanya tinggal helaian tipis yang tersisa. Matanya masih tetap tajam seperti dulu, hanya saja jika ada yang mengamati lebih dalam, akan dapat terlihat pupil mata itu seringkali bergetar menahan rasa sakit.

Seolah dirinya adalah kepingan mozaik rapuh yang akan hancur luruh dengan sekali sentuh.

.
.

Apalagi yang dapat dipertahankan, jika dia tahu napasnya akan segera padam?

Dia tak pernah mengeluhkan rasa sakit.

Dia hanya diam dan duduk dengan tenang menikmati kehangatan yang menyelimuti tangannya yang digenggam.

.
.

Tak ada air mata meskipun terkadang lebih ekspresif dari untaian kata.

Dia tidak lemah. Dia terlalu kuat untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya. Dia terlalu kuat untuk sekedar menahan rasa perih yang menyerang seluruh indera di tubuhnya.

.

Apakah waktunya sudah dekat?
Berikan sedikit waktu lagi, karena dia masih ingin melihat datangnya musim semi.

.

Puluhan hari terus berdiam diri, hanya memperhatikan hujan dari bening kaca jendela yang dihiasi aliran air atau berbincang bersama dengan anggota lainnya juga Pepper dan Rhodey, dia juga bisa menghirup udara segar. Semua anggota datang menengoknya di hari kepulangannya.

Steve tersenyum dan menggenggam tangannya, sesekali membenahi topi yang menutupi kepalanya.

.

Sampai di sini...
Biar ia terbawa senyap jika harus saatnya terlelap.

.

Duduk menikmati susu hangat di rumahnya yang nyaman, betapa ia merindukannya. Menikmati desau angin yang menyanyikan dedawai merdu penyambut malam. Memperhatikan rona jingga yang menghiasi petala langit saat datangnya senja.

Pelukan hangat dari Steve menyamarkan rasa sakitnya.

Terabaikan begitu saja, tersimpan di celah hatinya yang terdalam. Afeksi yang merasuki tubuhnya dengan kehangatan. Saat bibir pucatnya dipagut lembut sarat kasih sayang.

Saat gulita menyelimuti sudut-sudut sepi, nyala lilin keemasan menemaninya lelap dalam mimpi. Cahaya temaram terlihat menghiasi mega di angkasa, dewi malam bersinar ditemani gemintang yang berkelip di hamparan permadani kelabu.

Tubuhnya terbalut oleh rasa hangat yang begitu membuatnya terbuai. Rasa sakit yang abadi, perlahan pergi saat ia mengatupkan kelopak matanya disertai napasnya yang berdesah beraturan. Dia tersenyum tipis saat terlelap, dalam dekap hangat halimun malam yang senantiasa berdendang bersama lullaby.

Jika waktunya telah tiba...

.
.

Tony tertidur terlalu lelap. Terlalu lelap, hingga Steve tak dapat membangunkannya saat pagi tiba.

Kematian menjemputnya tanpa isyarat. Dia tertidur nyenyak malam harinya. Guncangan pelan pada tubuhnya tak segera membangunkannya. Kecupan di bibirnya yang dingin dan memucat dengan sempurna tak juga menghapus kebisuannya.

"Hei sayang..." Steve mendesah, dalam satu sentakan frustasi memeluk tubuh Tony yang bergeming semakin erat.

"Tony..." Dia ingin menjawab jika dia mampu. Dia ingin bergerak jika dia bisa.

"Kau tidak sedang bercanda 'kan?" Sosoknya bergeming. Tenang. Tertidur dengan mata memejam dan berbalut selimut dan kehangatan.

Bibir yang masih terus mengatup rapat menjadi pertanda bahwa Tony Stark tak akan pernah menjawab.

Napasnya berhenti berdesah. Detak jantungnya berhenti berirama.

Di luar sana, angin hangat berhembus dalam dekap gelora belenggu buana.
... Musim semi telah tiba.


Gerbang itu telah membukakan jalan.

.
.

Tak banyak yang menghadiri upacara penghormatan terakhir Tony meski media mencerca penonton dengan berita tentang kematian sang pahlawan. Hanya anggota inti, Pepper, Rhodey, juga beberapa agent SHIELD beserta dengan pemimpin mereka juga wakilnya.

Namanya terukir dengan sempurna. Isakan samar terdengar bersahutan di sela angin muson yang menderu semakin kencang.

Jejak langkah berderap menjauhi, saat tetesan hujan berjatuhan dari langit menghantam permukaan bumi.

Hanya Steve yang tidak terlihat sepanjang hari.

.
.

Langit masih saja kelabu. Tak nampak kerlip kartika yang menghiasi angkasa.

Steve bergeming, tanpa ekspresi. Diam menatap hampa pada nama yang terukir sempurna di batu pualam meski tak terlihat jelas karena kepekatan malam. Memoar itu kembali berputar, menyinggahi relung hatinya hingga dadanya terasa sesak. Bukan karena udara dingin yang menusuk tulang, tapi karena jantungnya terasa berdetak tak beraturan.

Kenangan berai melodi sunyi. Desah napasnya mengalun berat dalam gulita sepi. Komposisi nada malam hipnotis waktu. Semua kenangan yang pernah ada terkumpul dalam batas semu.

Saat seikat mawar melambai oleh sentuhan angin, riak air berduyun-duyun datang dan berjatuhan. Dia berdiri di bawah tarian hujan. Menatap kosong dengan tubuh basah berlatarkan kegelapan. Satu kalimat terlontar sebagai salam perpisahan.

"Selamat malam, Tony."

-bertetes kristal bening berjatuhan dari sepasang iris mata yang mengatup dalam diam.

.

Saatnya telah tiba-
Selamat tidur, Tony.

-untuk mengistirahatkan diri dalam tidur panjang yang abadi.

Dia pergi. Dia mati. Namun dia hidup, dalam banyak hati.

.

Perih menghujani tubuh

Mengalun tenang di dalam keluh
Kenangan yang tersimpan dalam kotak emas tak kan pernah luruh

Meski eksistensinya semakin menjauh

Dia tinggalkan sosok lain dalam tidur panjang
Bergeming diam sebagai korban perpisahan

Meredup cahaya dalam kebisuan
Hati tertinggal di masa silam


Elegi bersenandung dalam sunyi

Simbolisasi dari afeksi yang selalu abadi

Memori indah tak terbawa pergi
Tersimpan rapat dalam pundi hati

.
.

Sampai jumpa.
Mimpi indah 'kan menyertai lelapnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro