02. I Will Find You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aron menatap benda tipis persegi yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia menarik napas lalu mengembuskannya dengan berat. Hal serupa sudah ia lakukan sejak setengah jam yang lalu.

Sepi.

Biasanya benda tipis itu akan rajin berbunyi. Setiap setengah jam Naya akan rajin mengiriminya pesan singkat, sekadar menanyakan kabar, apa yang ia lakukan, apa yang ia makan, pulang jam berapa, dan lain sebagainya. Terkadang bila tak sibuk, perempuan itu akan menelpon, menyapa dengan suaranya yang ceria, dan memanggil namanya dengan hangat.

Tapi sekarang, tidak lagi. Ponsel itu sepi.
Aron sendiri sudah berusaha menghubunginya, tapi nihil. Telponnya ditolak, pesan singkat yang ia kirim tak satupun yang dibalas. Ia juga sudah berusaha menemuinya, tapi tak berhasil.

Apartemennya kosong, di rumah orang tuanya juga tak ada. Naya seolah menghilang. Terakhir kali perempuan itu hanya sempat mengiriminya pesan singkat yang berbunyi: Aku butuh waktu menenangkan diri.
Hanya itu.
Dan itupun Ia kirimkan sekitar sebulan lalu.

Sebenarnya ini bukan yang pertama Aron dan Naya bertengkar. Beberapa kali mereka pernah bersitegang karena masalah sepele. Perempuan itu pernah ngambek karena sesuatu hal dan mereka akan saling mendiamkan diri selama satu atau dua hari. Tapi setelah itu mereka akan cepat berbaikan kembali.

Tak pernah mereka berantem seserius ini, apalagi sampai terucap kata putus.

"Telponlah dia lagi."

Joe muncul dari dapur membawa dua kaleng minuman dingin, lalu meletakkannya ke meja, depan sofa.
Pria maskulin dengan tubuh jangkung itu sudah lama bersahabat dengan Aron. Ia yang berinisiatif datang ke apartemen Aron setelah mendengar ia putus dengan Naya. Bahkan jika tidak ada insiden mereka putus, Joe akan tetap bolak balik mampir ke apartemen Aron. Baginya, apartemen Aron adalah rumah kedua.
Satu fakta ironis bahwa ia tak pernah merasa punya rumah sendiri.

Joe terlalu kaya untuk mengklaim sebuah rumah sebagai tempat tinggalnya secara permanen. Punya banyak apartemen dan rumah mewah yang tersebar seantero negeri, ia malah lebih sering menghabiskan waktunya di rumah teman wanita.
Terkadang sibuk berpesta, bepergian dari satu tempat ke tempat lain, tipikal anak muda kaya raya yang hobi bersenang-senang.

"Aku sudah berusaha menelponnya, tapi ditolak terus," jawab Aron.

"Perlu kusewa pasukan khusus untuk membawa Nana ke hadapanmu?" Joe meringis. Ia tahu bahwa Aron tak pernah suka jika ia memanggil Naya dengan panggilan 'Nana'.
Menurut Aron, panggilan Nana terlalu 'intim' dan ia tak suka mendengarnya.

Joe sendiri masa bodoh. Walau sering kena damprat Aron karena memanggil kekasihnya dengan panggilan 'intim' tetap saja ia akan melakukannya.
Ia suka memanggil Naya dengan Nana.

Nana-nya...

Kesayangannya...

Ngomong-ngomong, ia tak bercanda soal pasukan khusus. Jika Aron berkenan, ia akan menelpon Departemen Pertahanan untuk mengirimkan pasukan khusus dan membawa Naya kemari. Sudah dibilang, kekayaan yang ia miliki sekaligus strata tinggi keluarganya memberinya kuasa yang tak dimiliki orang biasa.

Faktanya, keluarga Joe memang bukan orang biasa. Kakek dan Neneknya pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan, sementara kedua orang tuanya punya kerajaan bisnis yang berpengaruh langsung pada perekonomian.

"Jadi... apa ini berarti kalian benar-benar akan putus?" Joe kembali bertanya sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Aron tak menjawab. Ia duduk membisu di sofa yang berada di seberang Joe. Posisinya tak berubah sejak bermenit-menit yang lalu.

"Entah." Lirih Ia menjawab.

"Jika kalian benar-benar putus, biarkan aku memiliki Nana," ujar Joe enteng.

Mendengar kalimat itu, Aron mendelik. Ia menatap Joe dengan pelototan lalu melemparkan bantal sofa ke arahnya. Sementara Joe hanya tergelak.

Ini bukan kali pertama Joe lancang mengucapkan kalimat tersebut. Tapi baginya, bagi Aron, ini tak lebih hanya sekadar candaan. Karena ia hafal betul dengan tabiat sahabatnya.

Joe Sandy, casanova level dewa yang hobi gonta-ganti cewek. Hari ini dengan si A, besok dengan si B, esoknya dengan C, dan selanjutnya entah dengan siapa lagi.
Gonta ganti kekasih ibarat ganti baju. Ambil, kenakan, jika bosan, buang dan ambil yang baru.
Sudah tak terhitung berapa kali Joe mengatakan bahwa Ia siap mengambil Naya jika mereka putus.

Walau punya tabiat seperti itu, Aron tak pernah takut bahwa Joe akan menikamnya dari belakang. Pemuda itu memang playboy, tapi hatinya tak jahat. Dan yang terpenting, lelaki itu tak memacari perempuan yang sudah punya pasangan.

"Faktanya kamu mencampakkan Nana. Jadi biarkan aku memilikinya," Joe ngeyel.
Aron memutar matanya kesal, "Aku tak mencampakkannya. Dia yang minta putus."
"Sama saja, intinya kalian sudah bubar."
"Joe..." Aron mengerang.

Joe hanya mengangkat bahu lalu menenggak bir dari kaleng yang Ia pegang.

"Lagipula, kalau dipikir-pikir, kamu memang tak adil pada Nana. Kamu berpacaran dengannya, tapi di kepalamu masih saja teringat Chaca."

Mendengar nama perempuan itu disebut, jantung Aron terasa tertohok.
Teringat akan Chaca?
Tentu, setiap hari, setiap waktu.
Melupakan perempuan itu adalah hal paling mustahil yang mampu ia lakukan saat ini.
Bagaimana mungkin ia mampu melupakannya? Chaca adalah cinta pertamanya, kekasih hatinya. Semua hal yang ada di dirinya masih terekam dengan jelas di benaknya.

Memang terdengar tidak adil untuk Naya, tapi Aron tak berdaya menata perasaannya. Hatinya terlalu lemah untuk melemparkan semua kenangan tentang Chaca ke tempat sampah.
Ia ingin menyimpannya, selamanya.

"Aron." Joe kembali memanggil. "Nana atau Chaca, pilih salah satu. Kamu tak bisa meletakkan mereka bersamaan di hatimu. Jika kamu tak ingin kehilangan Nana, maka lupakanlah Chaca. Mencari keberadaan mantan secara diam-diam, itu menyakiti perasaan orang yang berada di sisimu. Sungguh, itu tak adil."

Aron menyandarkan punggungnya lelah, lalu memejam sejenak.
"Aku masih mencoba memperbaiki hubunganku dengan Naya," gumamnya.

"Jika aku memberitahumu keberadaan Chaca, apa kamu masih ingin berbaikan dengan Nana?"

Tubuh Aron kaku. Ia menatap lurus ke manik mata Joe dengan bingung.

"Sebetulnya sudah sejak dulu aku ingin membantumu mencari keberadaan Chaca. Tapi aku tahu, jika kamu mengetahui keberadaannya, kamu pasti berlari ke tempatnya. Dan jika kamu melakukannya, Nana pasti akan menangisimu. Dan aku tak mau itu terjadi. Tapi sekarang, karena kalian sudah resmi putus, biar aku membantumu."

Joe beringsut, merogoh saku celana, lalu mengeluarkan secarik kertas dari sana. "Aku meminta detektif swasta untuk mencarinya dan inilah alamatnya."

Ia menyerahkan kertas tersebut pada Aron. Dan Aron menerimanya dengan gemetar.
Matanya berkaca-kaca manakala membaca nama Chaca di sana, dengan uraian alamat lengkap di bawahnya.

Tanpa mengatakan apapun, pria itu bangkit, menyambar jaket dan ponsel di atas meja lalu berlari ke arah pintu.

"Aron, kali ini aku serius." Teriakan Joe menghentikan langkah Aron.
Dua pria itu saling tatap.

"Jika kamu meninggalkan Nana, biar aku memilikinya," ucap Joe lagi.

Aron meremas kertas di tangannya. Datar ia berujar, "Namanya Kanaya, bukan Nana."
Lalu pria itu melesat keluar tanpa membuang-buang waktu untuk berpikir lagi, atau sekadar mencerna kalimat Joe.
Karena yang terpenting buatnya saat ini adalah, menemukan Chaca.

°°°

Berkendara sejauh 90 Mil tanpa henti dan sempat berputar-putar di blok selama hampir dua jam, akhirnya ia menemukannya.
Sebuah kedai sederhana jauh dari pusat kota.

Kedai itu tampak lengang. Entah karena memang sepi pengunjung, atau memang sekarang waktunya bukan untuk berkunjung.

Aron baru sampai di ambang pintu ketika sosok itu muncul. Ramping, cantik, namun sedikit lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Ia tampak ringkih dan... kelelahan.

"Selamat da---"
Perempuan itu menyapa ramah. Namun begitu mereka bersitatap, raut mukanya nampak terkejut seketika. Saking kagetnya, nampan berisi bahan makanan yang ia tenteng meluncur bebas ke lantai, lalu berserakan.

"Aron?" Ia mendesis.

Aron tersenyum haru. Kedua matanya berkaca-kaca.
"Cha..." panggilnya lirih.

Lelaki itu beranjak, menghambur ke arah perempuan di hadapannya lalu memeluknya erat.
Dan segalanya tumpah ruah manakala tangisnya pecah di bahu perempuan tersebut.

°°°

Naya mengucapkan terima kasih pada sopir taksi yang mengantarnya.
Setelah taksi itu melesat pergi, ia menatap kertas di tangannya yang berisi sederet alamat. Atas petunjuk sopir taksi tadi jugalah, ia bisa menemukan area ini dengan mudah.

Sempat berjalan beberapa meter memasuki sebuah blok, akhirnya ia menemukan tempat yang dimaksud.
Sebuah kedai sederhana lengkap dengan nama pemiliknya.

Siang tadi, tiba-tiba Wendy memberinya sederet alamat. Setelah berusaha keras, akhirnya perempuan itu menemukan keberadaan mantan pacar Aron, Chaca.

Setelah menumpang taksi dan menghabiskan beberapa jam di perjalanan, berikut nyaris menghabiskan sisa gajinya untuk membayar ongkos taksi, akhirnya di sinilah dia.

Naya menatap kedai mungil tersebut. Berjalan beberapa langkah mendekat, ia bisa melihatnya.
Dari balik dinding kaca yang tembus pandang, ia menyaksikam dua sosok manusia berlainan jenis tengah bersitegang sejenak -- entah apa yang mereka ributkan, lalu lelaki itu menghambur ke arah perempuan tersebut.

Naya merasakan kakinya lemas. Tak mengenal sosok wanita, tapi ia tahu betul siluet lelaki yang tengah memeluknya.

Aron.

Naya melihatnya jelas.
Melihat Aron memeluk perempuan tersebut, mengelus lembut punggungnya, dan mencium puncak kepalanya.

Buru-buru berbalik dan memutar langkah, Naya merasakan air matanya berjatuhan.
Sempat memejamkan mata sejenak, dadanya terasa sakit. Ada yang berserakan di sana.
Hatinya.

Dan perempuan itu terisak sesaat setelah sampai di ujung jalan.

°°°

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro