09. Evertything Isn't the same anymore

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pulanglah." Naya berujar lembut. Ia menoleh ke arah jam di dinding. "Ini sudah jam empat pagi," lanjutnya.

Aron yang duduk tak berdaya di sofa, tak menyahut. Semalam ia menginap di sini, di apartemen Naya.
Tak terjadi apa-apa. Pria itu hanya menyeruak masuk, menumpahkan semua perasaannya hingga tak tersisa, lalu duduk meratapi nasib, menangis tergugu. Tak mengira semua akan serumit ini.

Mereka sempat ribut, namun sekejap. Setelahnya, Aron menghabiskan waktunya menangis, Naya juga. Hampir semalaman mereka bertangis-tangisan. Menangisi semuanya.

Cinta yang melelahkan.

"Pulanglah. Chaca pasti mengkhawatirkanmu." Naya kembali berujar.

Aron mematung, tak membuka suara, tak pula menatap Naya.

"Kita ... tidak mungkin bersama lagi." Naya menunduk, meremas jemarinya sendiri. "Sudah selesai," lanjutnya.

Aron ikut menunduk, air matanya kembali berjatuhan. Betapa ia telah menjadi pecundang sekarang.
Menyesali semua keputusan yang telah terlanjur ia buat.

Naya bangkit, memberanikan diri duduk di sebelah Aron, lalu memeluk pria tersebut. Untuk yang terakhir kali.

"Aku merelakanmu, tulus. Jadi untuk selanjutnya, hiduplah bahagia dengan Chaca. Mari tidak saling menemui lagi agar tak ada yang tersakiti." Ia berbisik dengan suara tercekat.

°°°

Belum ada pukul enam ketika tiba-tiba Joe sudah menyeruak ke apartemen Naya dengan wajah semringah.

"Good morning, Sayang." Ia berucap riang.

Naya yang tengah merapikan sofa tergagap.
Aron baru saja pergi sekitar sejam yang lalu. Memang tak terjadi apa-apa di antara mereka, tapi fakta bahwa pria itu menginap, diam-diam, rasanya Naya telah berkhianat pada Joe.

"Joe, uhm ...."
Ragu. Ingin ia ceritakan tentang Aron, tapi akhirnya tak jadi. Biarlah.
Toh, Aron hanya duduk-duduk di sofa.

"Ada sesuatu?" Joe menangkap kegundahan di wajah Naya. Perempuan itu menggeleng.
"Bagaimana makan malammu?" Ia mengalihkan pembicaraan.

Dan hal itu sukses membuat binar di mata Joe semakin terang.
"Aku datang ke sini pagi-pagi sekali karena sudah tak sabar untuk bercerita."

"Kalau begitu duduklah. Akan kubuatkan sarapan dan kita bisa sambil mengobrol."

"Tentu." Joe berjingkat menemani Naya membuat sarapan dan teh hangat. Tak henti mulutnya bercerita tentang makan malam luar biasa yang ia lakukan bersama papa dan mamanya.

"Aku bahagia sekali, Na. Ini benar-benar momen yang langka. Ngomong-ngomong, aku menceritakan tentang dirimu pada mereka."

"Oh ya?" Naya yang menyimak semua cerita Joe menimpali.

Joe mengangguk.

"Lalu?"

"Mereka ingin bertemu denganmu dan aku iyakan. Jadi ayo kita buat janji untuk makan malam lagi, bersama, kita berempat. Kau, aku, ayah dan ibuku."

Naya menatap pria itu dengan sorot keberatan.
"Aku ... tidak terlalu percaya diri bertemu dengan orang tuamu. Kupikir, ini terlalu dini mengingat kita, yeah, begitulah. Baru saling mengenal."

Joe tersenyum.
"Mereka akan sangat senang sekali menyambut dirimu." Ia memastikan.

"Percayalah," ucapnya lagi.

Naya menggigit bibir. "Baiklah." Akhirnya ia berucap.

Joe tersenyum girang seraya mencubit pucuk hidung perempuan di hadapannya.

"Ngomong-ngomong, hari rabu nanti kamu ada acara?" tanya Naya setelah mereka selesai membereskan dapur.

"Kenapa?"

"Bantu aku beres-beres, ya? Aku ingin mengecat ulang ruangan ini?"

Joe menatap sekitar. "Kenapa dicat ulang? Ruangan ini masih bagus?"

Naya menarik napas pelan lalu ikut menatap sekitar.
"Hanya ingin suasana baru," jawabnya.

"Baiklah. Mau diganti cat warna apa? Nanti aku belikan."

"Apa saja. Asal bukan biru." Naya menjawab lirih.

°°°

Aron sampai di apartemen lima puluh menit kemudian. Nyaris terlambat setengah jam dari waktu yang seharusnya.

Setelah pulang dari apartemen Naya, Aron memutuskan menyetir tanpa arah sekadar untuk membuang sesak di dada. Meratapi diri.
Sungguh, tak pernah ia kira bahwa berpisah dari Naya akan terasa sesakit ini.
Harapan untuk bisa menjalin kembali hubungan itu sekarang lenyap.
Naya tak mau menerimanya lagi.

"Oh, kamu sudah pulang." Chacha menyapa lembut ketika Aron memasuki ruang tamu.
Pria itu tersenyum lalu mengangguk pelan. Ia berjalan gontai menuju kamar.
"Aku akan mandi dan berganti baju dulu." Ia berujar.
"Kutunggu di meja makan, ya. Aku sudah membuatkanmu sarapan favorit."

Aron tersenyum tipis, mengangguk, lalu bergerak.
Ia datang ke meja makan setengah jam kemudian.

"Terjadi sesuatu?" Chacha bertanya ketika menyadari bahwa Aron lebih banyak berdiam diri.
Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum tipis dan menggeleng.

"Semua baik-baik saja?"

Kali ini Aron mengangguk.

"Apa urusanmu semalam lancar?"

Aron mengangguk lagi. Ia menyuap makanan dengan pelan.
Menyadari bahwa Chacha menatapnya dalam, tapi ia tak tertarik untuk membuat obrolan. Entah, padahal biasanya ia tak begini. Dengan Chacha, ia selalu bisa bersikap manis.
Tapi sekarang Ia lelah.

Jiwanya lelah.

"Kamu ... sedang memikirkan sesuatu?" Pertanyaan itu terdengar ragu. "Kamu sepertinya sedang banyak pikiran."

Aron menggeleng.
"Aku baik-baik saja. Setelah ini aku akan kembali ke kantor, ada janji dengan kolega." Kali ini ia buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ketika ia telah selesai dan bangkit dari tempat duduk, Chacha kembali memanggil namanya.

"Aron..."

"Hm?"

"Jangan berbohong padaku."

Tubuh Aron membeku.

"Apa?"

"Aku tahu kamu sedang berbohong padaku."

"Kamu ini bicara apa, Cha?"
Mereka bersitatap.

"Kamu berbohong tentang perempuan itu."

Kening Aron mengernyit. "Apa maksudmu?"

Chacha bergerak menuju laci di samping meja makan, membukanya, lalu mengambil sesuatu.

"Jelaskan apa ini?"
Ia menyodorkan benda melewati permukaan meja ke arah Aron.

Aron menatap sekilas, tapi sejurus kemudian ia tersentak.
Itu adalah sebuah potret.
Potret dirinya dan Naya yang tengah berpelukan mesra.

Aron ingat bahwa ia sudah membuang semua kenangan tentang dirinya. Bagaimana mungkin fotonya masih ada yang tertinggal?

"Tadi aku bersih-bersih dan kutemukan itu di antara lipatan buku. Jadi, tolong jelaskan apa sebenarnya ini?" Suara Chacha bergetar.
"Apa hubunganmu dengannya?"

Aron menelan ludah, tak mampu menjawab.

Chacha terduduk kembali dengan lemas.
"Tak bisa jawab?"

Aron mematung. Ia memberanikan diri menatap Chacha, dan ia lihat kedua mata perempuan itu berkaca-kaca.

"Itu---" Kalimatnya ragu.
Hening menghinggapi ruangan.

"Harusnya aku tahu ada yang tak beres sejak awal. Ketika kamu menemukanku di kedai, beberapa waktu kemudian perempuan itu datang, menolongku. Aku memintamu mencari tahu tentang sosoknya tapi kamu selalu menolak. Dan ketika pada akhirnya aku bertemu dengannya ...." Air matanya berjatuhan. Ia menarik napas berat. "Semuanya tampak begitu kebetulan."

"Kami berpisah karena aku memutuskan mencari dirimu." Akhirnya Aron berucap.

Chacha tertawa getir. "Kenapa kamu menyembunyikan kenyataan ini? Dan ... kamu bertingkah seolah-olah tak mengenalnya padahal kalian adalah mantan kekasih?"

"Lalu kamu ingin aku bagaimana? Jika aku menceritakan tentang dirinya padamu, apa itu akan merubah keadaan?" Aron berujar.

"Kenapa tak kamu ceritakan semua dari awal? Kenapa kamu membuatku seolah-olah aku yang egois karena telah merebutmu darinya?" Chacha menjawab sengit.

"Bukan begitu, Cha..."

"Lalu apa?!" Suara Chaca melengking. "Aku bahkan bertemu dengannya, bercerita panjang lebar tentang dirimu. Aku benar-benar layaknya orang tolol. Dia pasti berpikir bahwa aku adalah perempuan tak tahu malu yang merebut pacar orang."

Aron menggeleng. "Cha, bukan begitu. Naya tidak akan berpikir seburuk itu."

Chacha menutup muka dengan kedua tangan.

"Faktanya, aku memang mencarimu dan memilih melepaskannya." Aron berujar pasrah.
"Aku berkhianat darinya. Aku mencari tahu keberadaanmu, bertahun-tahun. Dan bagaimana aku tega meninggalkanmu sekarang?"

Chacha mendongak, lalu lagi-lagi terkekeh getir.
"Karena aku sakit." Ia manggut-manggut. Air matanya jatuh berderaian. "Jadi, kamu memilihku karena aku sakit?"

Aron tak menjawab, dan itu sudah cukup menjawab pertanyaan Chacha.

"Cha ... everything is just not the same anymore."

Chacha terisak, lalu beranjak ke kamarnya. Mengurung diri di sana, sambil menangis.

Dan Aron diam, tak tahu harus berbuat apa.

°°°

Naya tertegun. Perempuan itu sudah berdiri di sana, di depan pintu apartemennya, pagi-pagi sekali.

"Hai." Naya menyapa ragu. Ada perasaan khawatir menderanya. Sosok di depannya terlihat tidak baik-baik saja. Wajahnya pucat.

"Ada yang bisa saya bantu?" Naya berujar lagi.

Keduanya bersitatap.

"Tidak lelah bermain drama?"

Mendengar kalimat itu, kening Naya mengerut. "Maaf?"

"Aku sudah tahu semuanya. Bahwa ternyata selama kamu dan Aron punya hubungan. Bahwa kalian adalah mantan kekasih. Kenapa kalian berpura-pura tak saling mengenal? Kenapa kalian memperlakukanku layaknya orang tolol!" Chacha berteriak.

"Woa, sebentar. Aku tak tahu tujuanmu datang ke sini. Tapi apapun yang baru kamu ketahui tentang aku dan pacarmu itu, aku tak peduli." Naya menjawab sengit.

Chacha tampak frustrasi. Ia menutup wajah dengan telapak tangan lalu terisak. "Kalian bedebah. Kalian mempermainkanku."

"Tidak ada yang berniat mempermainkan siapapun." Naya hilang kesabaran. "Pacarku memilih untuk bersamamu dan kami putus. Tak ada yang harus dijelaskan lagi."

"Kita bahkan bertemu beberapa kali, kan? Dan kamu bertingkah layaknya orang asing." Air mata Chacha berderaian.

"Itu langkah terbaik yang bisa kami ambil. Lantas apa yang kamu harapkan? Apa kita harus saling jambak karena mencintai pria yang sama?"

Chacha tak bersuara. Ia terus saja terisak. Dan Naya tak berniat untuk menenangkannya. Atau bahkan sekadar menyuruhnya masuk ke rumah.

"Di antara kami sudah selesai. Tolong jangan dibahas lagi. Jadi sekarang pulanglah dan---"

"Kalian membuatku seperti tokoh antagonis di sini!" Chacha berteriak.
"Seolah aku yang menghancurkan kebahagiaan orang lain!"

"Memang begitu, kan?" Kali ini Naya berujar sengit. "Faktanya, karena dirimulah---" Suara Naya tercekat. "Karena dirimu ... aku nyaris hancur."

Chacha tercengang. Air matanya berjatuhan tak terbendung.
Ia menggeleng lirih. "Kalian benar-benar ... bedebah!" Ia berbalik, memilih meninggalkan tempat tersebut.

"Jangan ke sini lagi! Aku tak ingin melihatmu dan pacarmu lagi!" Kali ini Naya yang berteriak. Hatinya lelah.
Ia sudah nyaris merelakan Aron dan Chacha, membiarkan mereka bersama. Sekarang, kenapa bisa seperti ini?

Chacha tak berbalik, dan merespon teriakan Naya. Ia belum sempat mencapai anak tangga ketika tiba-tiba tubuhnya limbung dan ambruk.

Naya tersentak kaget.
"Hei ..." Buru-buru ia bergerak mendekati sosok tersebut. Dan akhirnya ia tahu, Chacha tak sadarkan.

"Hei, kamu kenapa?" Naya menepuk pipi Chacha, panik.
"Sadarlah," ulangnya.

"Tolong!" Naya berteriak menatap sekelilingnya. Berharap ada orang yang bisa memberikan bantuan.

"Tolong!" Ia kembali berteriak berulang. Rasa cemas menghantui, terlebih ketika ia lihat wajah Chacha makin pucat.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro