Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

Summary : Orang bilang Kelas A adalah kelas unggulan yang berisi anak-anak yang cerdas penuh keberuntungan, namun pada kenyataannya, kelas A hanya berisi anak-anak malang yang penuh dengan kesengsaraan, yang membutuhkan perhatian melebihi kelas lainnya.

.
.
.

Prolog

.
.
.
Ini adalah kisah tentang mereka yang berusaha beradaptasi.
.
.
.

"Good Morning, all! My name is Sophia Rosewood, nice to meet you, guys!" Seorang gadis dengan rambut sewarna dengan coklat kayu itu berdiri di depan kelas dengan senyum merekah, namun tak sesuai dengan bayangannya, tak ada seorang pun yang membalas ucapannya, mereka hanya menatap Sophia datar.

Gadis itu memiringkan kepalanya setelah menyebarkan pandangannya ke penjuru kelas. Ia tersadar seketika saat wali kelasnya menyuruhnya untuk duduk di salah satu bangku kosong.

Ia berjalan menuju bangkunya, melewati siswa-siswa yang bahkan terlihat seperti tak tertarik dengannya. Sembari mengeluarkan buku-bukunya, Sophia membatin,

--'berapa lama aku akan bertahan di kelas ini, ya?'

.
.
.
Tentang mereka yang telah berusaha keras melebihi siapapun.
.
.
.

Seorang pria dengan kemeja berwarna biru memasuki kelas A, ia tampak asing di mata siswa-siswi itu. Umurnya mungkin baru sekitar 25 tahun, namun Aura yang ia miliki tampak berkharisma. Ia berdiri di depan papan tulis dengan tegap dan penuh percaya diri.

Pria itu menuliskan dua kata yang mungkin adalah namanya. Setelah menuliskan namanya, ia berbalik dan menatap mata setiap siswa satu-persatu, "Saya adalah pengganti Mrs. Suzanne yang sudah pensiun beberapa waktu yang lalu. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Mata coklat pria itu mengamati sekeliling kelas sekali lagi, "Kelas ini seperti kuburan, ya, benar-benar hening. Atau mungkin kalian memang sudah mati? Kalau begitu, ini tugas saya untuk kembali menghidupkan kelas ini. Saya akan mengajarkan kalian cara sukses bersama."

.
.
.
Tentang mereka yang berjuang melawan persepsi masyarakat.
.
.
.

Gadis berambut cepak itu menatap sepatunya lamat-lamat, bukan hanya sepatunya saja yang menjadi obyek penglihatannya, tetapi juga tetesan air yang terus menetes dari ujung rambut maupun pakaiannya. Gadis itu menghela nafas panjang sementara telinganya mendengar suara tawa sekelompok anak perempuan.

Lagi-lagi ia dikerjai. Ini sudah entah yang keberapa kalinya sejak ia diterima di sekolah ini. Ia tak bisa marah atau membalas kelakuan mereka, ia bisa saja dituntut dengan beribu alasan, ia tak mau adik-adiknya hidup sebatang kara.

Gadis itu lagi-lagi menghela nafas panjang. Ia menyampirkan tasnya di bahunya. Ia menatap jalan di depannya dengan tatapan tegar, ia kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda seraya tak ada kejadian apapun yang terjadi sebelumnya.

.
.
.
Tentang mereka yang ingin diperhatikan oleh orang-orang terdekatnya.
.
.
.

Seorang pemuda berwajah imut memasang kembali helm full-face-nya. Angin malam yang menusuk sampai ke tulang sama sekali tak berpengaruh padanya. Ia memakai kaos flannel berwarna merah dengan rompi berhoodie berwarna kuning.

Ia menaiki motor balap miliknya, sorak-sorak terdengar dan semakin membahana saat bendera dinaikkan. Ia menyeringai di balik helmnya. Kebanyakan orang-orang meneriakkan nama samarannya dengan tambahan kata 'yang tercepat' di akhir namanya.

"GO!!"

Pemuda bermata emas itu segera mengegas sepeda motornya. Jantungnya menggebu-gebu. Semangat mudanya rasanya menjadi api yang semakin membara. Matanya berbinar. Ia tampak tak mempedulikan musuh-musuhnya yang tertinggal jauh di belakang. Ia membelah angin malam dengan kecepatannya yang luar biasa.

"KARENA AKU ANAK NAKAL!!" Ia meneriakkan kalimat itu, entah ada yang mendengarnya atau tidak, ia tak peduli. Karena saat ini ia benar-benar bahagia.

.
.
.
Tentang mereka yang ingin memilih jalan hidup mereka sendiri.
.
.
.

Gadis berambut hitam lurus nan panjang duduk di hadapan kedua orang tuanya, tampak pelayan-pelayan tengah meletakkan menu makan malam di atas meja makan yang terbuat dari marmer itu.

"Bagaimana sekolahmu? Kau pasti bisa melalui semuanya dengan baik, kan?" Wanita berumur 40 tahunan itu membuka suaranya, "Kalau kau terus menuruti kami, kami akan menjamin kehidupanmu baik-baik saja. Ingat, anakku, kau hanya perlu berjalan pada jalan yang sudah kami tentukan."

Gadis itu meraih pisau dan garpunya, "Aku mengerti, mom. Kalian berdua tenang saja. Aku akan serahkan semuanya pada kalian. Aku akan berjalan pada jalan yang sudah kalian tentukan, kalian tak perlu khawatir."

.
.
.
Tentang mereka yang ingin lebih mengenal satu sama lain.
.
.
.

Sepasang mata hitam menatap tajam sepasangan mata aquamarine di sebelahnya. Pemuda pirang yang ditatap dengan tatapan tajam itu hanya membalas dengan tatapan meremehkan. Mereka sedang adu batin sekarang.

Pemuda berambut hitam tersentak saat namanya dipanggil, "Bukankah kau kakaknya? Kenapa kau mendapat nilai lebih rendah dari adikmu? Kalau begini terus bisa-bisa kau akan tertinggal jauh darinya. Belajarlah lebih giat lagi!"

Wajah pemuda berambut hitam dan berwajah asia itu memerah, entah karena menahan kesal atau menahan malu. Sedangkan pemuda bermata biru itu tersenyum mengejek sembari melambai-lambaikan kertas hasil nilai sepanjang perjalanan mereka menaiki anak tangga.

"Berhenti mengejekku. Kau dulu juga dapat nilai 86 saat pelajaran geografi, kan?"

"Heeh, itu adalah masa lalu, pada ulangan berikutnya aku akan dapat nilai yang lebih bagus darimu!"

.
.
.
Tentang mereka yang memberontak.
.
.
.

Pemuda berkacamata menggenggam erat besi dingin yang ada di depannya. Matanya tertutup rapat, tak hanya itu, ia juga tengah menahan air matanya. Matanya selalu saja menutup saat ada tali sabuk yang di arahkan ke kedua tangannya. Ia tengah menahan rasa sakit.

"Bukankah sudah aku katakan padamu?! Berapa kali kami harus mengatakannya?! Berhenti melakukan hal yang sia-sia! Apa kau ingin menjadi seperti pamanmu?! Tidak ada pekerjaan kecuali ada orang yang memanggilnya!" Pria itu berteriak di samping pemuda berkacamata sembari tangannya terus menyambuk kedua tangan putranya.

Pemuda berkaca mata itu melirik salah satu sudut ruangan, sebuah perapian yang apinya tengah menyala dan melahap semua kertas tak berdaya itu. Ia meringis kesakitan. Kali ini bukan hanya tangannya yang sakit, tapi juga hatinya.

.
.
.
Tentang mereka yang mencari naungan di tengah badai.
.
.
.

Pemuda jangkung itu memasuki rumahnya dengan menenteng tas di salah satu tangannya. Ia menatap seorang wanita dengan seorang pria sedang asyik berbincang-bincang tanpa memedulikan kedatangannya. Pemuda dengan mata heterochromia itu menatap datar pasangan di depannya.

"Ah, apa itu anakmu? Tidak menyambutnya pulang?" pria yang ada di depan wanita itu menatap dengan pandangan menilai pada pemuda jangkung itu, sesaat kemudian ia bersiul, "Dia terlihat mirip denganmu."

Pemuda jangkung itu mendecih dalam hati. Hatinya terasa sangat sakit, ia tak mau dan tak akan pernah tertarik untuk disamakan dengan wanita itu. Pemuda jangkung itu tersenyum pada si Pria maupun si Wanita dan kembali berjalan menuju kamarnya.

Dia menutup pintu kamarnya perlahan dan menyandarkan punggung tegapnya di sana. Tas sekolahnya ia jatuhkan begitu saja di sampingnya. Dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya, ia membatin, Berapa lama aku harus tetap berada di tempat ini?

.
.
.
Tentang mereka yang tidak ingin dibanding-bandingkan.
.
.
.

"Kenapa kau pulang lama sekali?! Apa kau tidak tau ini sudah malam? Ini sudah lewat jam malammu! Ugh, coba saja kau seperti anak Mrs. Eve, apa kau tau? Dia selalu pulang ke rumah tepat waktu," wanita berambut sebahu itu berkacak pinggang di depan pintu masuk, seraya menunggu anaknya pulang.

Anak gadis itu memasang raut masam, "Kau pikir aku pergi bermain? Aku baru saja pulang kursus, kalau ibu tidak ingin aku pulang terlambat, tidak usah daftarkan aku kursus segala," tak mempedulikan ibunya yang berdiri di hadapannya, gadis blonde itu berjalan menuju kamarnya begitu saja.

"Apa?! Jadi kau menyalahkan ibumu?!" Wanita yang dipanggil 'ibu' itu menyusul langkah putrinya dengan cepat.

Gadis itu berbalik dan menatap ibunya tajam, "Kalau begitu siapa yang harus aku salahkan?! Guru pembimbingku?! Atau tempat kursusku?!" setelah berteriak seperti itu, ia membanting pintu kamarnya.

"Bagaimana makan malammu?" tak ada jawaban, "Ck. Anak itu. Coba saja kalau dia lebih penurut seperti anak Mrs. Rose," sembari mengomel, wanita itu pergi meninggalkan kamar anaknya.

Di dalam kamar itu, gadis berambut blonde itu mengacak-acak rambutnya sebal. Ia berteriak sembari melempar boneka-boneka kelincinya ke sembarang tempat. Ia berdiri dan meraih tasnya dengan kasar. Ia merogoh botol kecil dan mengeluarkan beberapa tablet berwarna putih dan meminumnya. Ia menyambar boneka kelinci super besar dan memeluknya erat. Ia sedang bersiap untuk tertidur dan melupakan segalanya.

.
.
.
Tentang mereka yang tidak ingin dianggap berbeda.
.
.
.

Sepasang mata itu menatap sekelompok anak kecil dari kejauhan. Ia tak berniat menginterupsi mereka. Ia hanya mengenang masa lalunya.

--Bukan, bukan kenangan indah, melainkan sebaliknya. Pasalnya, sekelompok anak itu tidak terlihat sedang bermain walaupun hampir seluruh dari mereka tertawa, sedangkan salah satu anak menangis.

Ia tak peduli dan tak akan peduli. Ia tak mengenal mereka. Ia juga tak mau menjadi pahlawan kesiangan seperti dalam komik-komik super hero yang ia baca saat ia masih kecil. Ia lebih memilih untuk segera melanjutkan perjalanannya menuju pusat rehabilitasi.

Semoga saja hal itu tidak terjadi padaku lagi.

.
.
.
Tentang mereka yang mencoba keluar dari jurang yang dalam.
.


.
.

"Hipotesis yang telah dibuat oleh John Dalton yang lahir pada 1766 dan meninggal pada 1844, adalah: Satu, Unsur tersusun atas partikel yang sangat kecil dan tidak dapat dibagi lagi yang disebut dengan--"

"Hey, bisakah kau berhenti? Aku sudah lelah menemanimu belajar. Kau sudah mengulangi materi itu lebih dari tiga kali!" Seru seorang gadis yang menjadi partner belajar gadis bergaun biru, sesuai dengan namanya, "Lagipula, kenapa kau belajar? Kau kan sudah diterima di Seasonal Leaves Academy."

Gadis itu menunduk penuh dengan rasa bersalah, ia sadar jika sebenarnya ia sudah mengulangi materi itu berkali-kali, namun ia tetap cemas. Ia takut jika saat pelajaran berlangsung ia tak dapat memahami materinya.

"Sudahlah. Lebih baik kau berhenti saja, beristirahatlah dan nikmati waktu liburmu," teman gadis bergaun biru itu bangkit dari duduknya dan meninggalkan gadis itu sendirian.

Gadis bergaun biru itu menatap temannya khawatir, namun tak lama kemudian ia kembali berkutat dengan bukunya dan berulang kali membaca materi yang bahkan belum dipelajari di kelasnya.

--Memangnya apa salahku? Aku hanya tidak ingin salah menjawab saat guru-guru itu bertanya.

.
.
.
Dan tentang mereka yang menyayangi orang terdekatnya lebih dari siapapun.
.
.
.

"Kak, apa kau sudah menentukan tujuanmu setelah lulus dari SL Academy?" seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun dengan buku pelajaran kelas 3 junior high school bertanya pada kakak laki-laki yang sedang membaca di depannya itu.
Kakak laki-lakinya itu mengangkat salah satu alisnya dan berhenti membaca, "Entahlah, aku baru saja lulus dari junior high school. Aku belum menentukan langkah selanjutnya. Tapi mungkin aku akan masuk ke Stanford, atau mungkin Harvard?"

"Sama seperti pilihan Mom and Dad? Apa kakak tidak punya pilihan sendiri?" bocah itu menatap kakaknya khawatir, "Seharusnya kakak pilih tujuan kakak sendiri, dong! 'Kan jadi lebih semangat kuliahnya. SL Academy juga pilihan Dad, kan?"

"Hm? Untuk apa? Lagipula memangnya mereka mau mendengarkan ucapanku?" Pemuda itu menatap adiknya dengan seksama, kemudian sebuah senyum muncul di wajahnya, "Tapi mungkin aku akan pilih sendiri tujuanku nanti."

"Really?" Mata bocah itu berbinar, ia bahkan membetulkan posisi duduknya.

Pemuda bermata onyx itu mengangguk mantap, "Entahlah? Mungkin ke tempat yang jauh ?" Senyum itu berubah menjadi senyum penuh misteri, dan entah kenapa hal itu membuat bulu kuduk adik laki-kakinya berdiri.

.

.
.

Ini adalah tentang mereka yang ingin membuat perubahan dan menjadi lebih dewasa. Dengan melewati berbagai macam tantangan. Inilah kisah tentang kehidupan 12 pemuda-pemudi spesial yang menempati kelas spesial. Dengan pembimbing yang spesial, mereka akan diajarkan tentang arti kehidupan dan pentingnya kerja sama.

.
.
.

To be continue

Author's note :

Halo, semua~ Jumpa lagi dengan saya, Fukuyama12, dengan cerita baru.

Sebenarnya sudah lama mau buat cerita genre teenfiction yang ada sedih-sedihnya, gitu. Dan baru dapat feelnya akhir-akhir ini.

Harapanku untuk cerita ini tentu saja agar para pembaca dapat merasakan perasaan para tokoh yang ada dalam cerita ini.

Bagi yang tidak asing dengan nama tokoh, tertama yang sudah baca Roses, gak usah bingung. Ini beda cerita dan gak ada hubungannya sama sekali. Aku memang suka menggunakan nama tokoh-tokoh itu. Jadi aku gak bingung mau nentukan nama tokohnya, apalagi kalau tokohnya banyak kayak cerita ini.

Sesuai harapanku, aku harap kalia. Merasakan perasaan tokoh pada prolog ini. Jika memang tidak, mari kita saling share pendapat. Vote, comment, and share, ok?

See you next chapter~

(。・ω・。)ノ♡

Tertanda,
Fukuyama12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro