Sheet 22: Beware for the Cold

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 22: Beware for the Cold

.
.
.

"Apa-apaan tatapan kalian itu? Apa kalian tidak senang dengan kedatanganku?" tanya Mr. Oliver dengan tatapan heran.

"Anda terlambat, Mr. Graviolens!" seru Argia sebal. Mr. Oliver benar-benar telat. Dia baru saja datang setelah semuanya sudah selesai.

"Itu benar! Kenapa kau tidak datang saat kami sedang berjualan?! Setidaknya kau harus membeli beberapa kue dari kami!" seru Blue.

Mr. Oliver menggeleng, "Aku tidak tahu jika kalian merindukanku sampai seperti ini. Memangnya kalian anak menengah pertama yang harus diperhatikan? Lagipula aku tidak benar-benar meninggalkan kalian sendirian. Aku sadar dengan posisiku."

Guru berkacamata itu menatap muridnya dari atas. Ia menatap Raven dalam, "Kau bekerja dengan baik, Raven. Semua rencana yang kau lakukan berjalan baik. Kau selalu melibatkan semua anggota untuk mengambil keputusan, aku suka dengan cara itu. Kau juga selalu memperhatikan anggota yang lain, meskipun itu bukan kelompokmu. Aku harap kau lebih menjaga kesehatanmu setelah ini."

Raven tanpa sadar mengangguk. Ia tak menyangka Mr. Oliver sampai memperhatikannya seperti itu, "Than—hatchi! Thanks, Mr. Oliver."

"Untuk Zelts, kau benar-benar terlihat profesional sekali dalam menjaga meja kasir. Kau berhasil membuat pelanggan membeli apa yang kau tawarkan. Aku suka itu, terutama senyum pedagangmu," puji Mr. Oliver.

Zelts menyeringai bangga dengan tangan di depan dada, "Aku sudah bekerja seperti itu hampir setahun di toko kue ibuku. Dia juga bilang untuk tidak menyia-nyiakan wajahku ini. Apapun akan aku lakukan untuk membuat pelanggan membeli semua barangku!" cerita Zelts dan diakhiri dengan tawa sombong.

"Iris, kau berhasil menarik pelanggan dengan caramu. Pengalaman bekerjamu memang sangat penting untuk hal ini. Tidak perlu menyerah dan tetap berusaha!" nasihat Mr. Oliver. Iris tersenyum lebar dan mengangguk mantap.

"Cara Zwart dan Argia menarik pelanggan juga bagus. Aku suka saat kalian berkompetisi untuk melakukannya. Berkompetisi dalam kebaikan seperti itu sangat patut untuk ditiru." si kembar Stephanotis itu tersenyum lebar, "Tetapi jangan sampai terjadi adu mulut seperti tadi, OK? Apa kalian tidak melihat Sage sampai meninggalkan masakannya hanya untuk melerai kalian?"

Argia dan Zwart memerah saat mendengar teman sekelasnya tertawa. Mereka berdua menatap Sage dan meminta maaf kepadanya.

"Good job, too for Aida and Sage. Kalian sudah berusaha di tengah keramaian seperti itu. Kekompakan kalian membuat semuanya terasa lebih ringan, right?" Aida dan Sage saling memberikan kepalan tinju masing-masing.

Mr. Oliver menatap punggung pemuda yang duduk cukup jauh dari teman sekelasnya. Tangannya tampak sibuk menyusun batu-batu menjadi sebuah menara tak berarti. "Sive," ia berusaha memanggil. Pemuda itu menoleh sesaat sebelum kembali melanjutkan kegiatannya.

"Aku senang kau tidak berhenti di tengah pekerjaanmu. Aku senang kau mau berpartisipasi. Bertemu dengan orang asing memang bukanlah hal yang kau sukai, bukan? Tetapi ini termasuk ke dalam salah satu cara rehabilitasi sosialmu. Once again, aku senang kau mau berpartisipasi," puji Mr. Oliver. Sive tak menoleh, namun ia tahu jika pemuda itu mengangguk pelan. Ia juga menyadari tatapan bingung dari murid-muridnya.

"Terima kasih sudah mau menyisihkan waktumu, Azure. Untuk kegiatan selanjutnya, aku harap kau lebih aktif."

"Ah, aku mengerti, Mr. Oliver. Lagipula jika kau tidak memberikan surat izin orang tuaku pasti tidak akan menyetujuinya," kata Azure.

"Kniga, kau berusaha dengan keras malam ini. Kuharap kau tidak terlalu memaksakan dirimu seperti Raven. Ini juga berlaku untukmu, Blue. Aku tahu kalian sangat kelelahan karena tidak ada waktu istirahat sejak kalian membuka toko, hal ini juga berlaku untuk yang lain."

"Untuk saat ini, apa kalian merasa lapar? Aku harap kalian masih punya waktu setelah ini. Ayo, kita ke 'rumah'. Aku sudah membelikan makanan untuk kalian. Kita harus memberikan penghargaan pada kerja keras kalian," ajak Mr. Oliver dengan memamerkan kunci mobilnya. Ia mendengar sorakan bahagia setelahnya.

Blue berdiri dengan cepat. Selagi teman-temannya memakai celemek kuning berlogo A Class di dada kirinya, ia ingin mengabadikan kesempatan kali ini. Dengan mengeluarkan kameranya, ia berteriak mencari perhatian. Tepat saat mereka semua menoleh, ia menekan tombol kameranya. Satu gambar sudah diambil.

"Apa-apaan itu?! Seharusnya kau bilang dulu kalau mau mengambil gambar!" seru Zelts, "Kalau kau bilang dari tadi aku bisa memberikan pose terbaikku, kau tahu!"

Blue terkekeh. Ia menoleh pada Mr. Oliver di dekatnya yang menjulurkan tangannya. Mengerti apa maksudnya, ia segera memberikan kameranya pada gurunya dan berlari bergabung dengan yang lainnya.

"Hei, Mr. Oliver seharusnya juga ikut berfoto!" seru Sophia.

"Aku akan bergabung nanti. Ayo, berikan pose terbaik kalian," Mr. Oliver meniru kalimat Zelts. Satu gambar sudah di ambil lagi.

Blue merogoh ponselnya dari saku celemek saat ia merasakan benda itu bergetar beberapa kali. Bukan pesan atau telepon, melainkan sebuah pengingat acara. Ia berbinar saat melihat tanggal dan jam di sana.

"Sage," panggil Blue. Pemuda itu menoleh di saat yang lainnya memberikan tempat untuk Mr. Oliver, "Happy birthday!!"

Semuanya menoleh ke arah Sage dan Blue secara bergantian. Lalu mereka memeriksa tanggal hari itu. "Sekarang sudah tanggal 25, ya? Happy birthday, Sage!"

Ucapan selamat dan harapan itu diberikan secara beruntun. Sage tersenyum lebar. Sudah lama ia tidak mendapatkan ucapan sebanyak itu. Mungkin terakhir kali saat ia duduk di bangku sekolah dasar, setelah itu ia bahkan tidak mendapatkan ucapan selain dari pelayannya. "Terima kasih. Ah, untuk dua hari berikutnya, si kembar yang akan ulang tahun!"

"Ah, kau benar! Happy birthday, Stephanotis!" Aida berseru.

"Ulang tahunku masih dua hari lagi. Jangan ucapkan hari ini," protes Zwart. Aida tertawa tanpa rasa bersalah.

"Hey, kita harus cepat berfoto. Kalian bilang jika kalian lapar. Suhu juga semakin dingin. Kalian betah sekali, ya?" tanya Mr. Oliver.

"OK. Ok. Karena pria tua itu sedang menggerutu, ayo, katakan 'snowy' pada detik ketiga!" Blue berlari setelah menyetel kameranya.

"Siapa yang kau katakan 'pria tua', hah?!" protes Mr. Oliver, namun Blue tak menjawabnya dan hanya terkikik.

"Kenapa kita harus berteriak seperti itu?" tanya Raven, namun sekali lagi tak ada yang menjawabnya. Ia hanya mendengar teman-temannya menghitung mundur, lalu berteriak—

—"SNOWY!"

---

Sage membuka pintu rumahnya perlahan. Jarum pendek pada arloji di tangan kanannya sudah hampir menunjukkan angka tiga. Rumahnya itu terasa gelap dan dingin. Tak ada tanda-tanda ayahnya pulang ke rumah, ia berani bertaruh jika pria itu sedang berpesta dengan bawahannya.

Melangkah semakin ke dalam, Sage tak merasakan kehangatan apapun. Api unggun di rumahnya tidak pernah menyala. Terakhir kali menyala mungkin saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Penghangat ruangan yang terpasang pun rasanya tidak bekerja dengan baik, seperti pada hari-hari biasanya.

"Ah, Anda sudah pulang, Mr. Sage. Apa ini tidak terlalu pagi? Tidak biasanya Anda pulang pada jam segini," satu-satunya yang bertanya seperti itu tidak lain dan tidak bukan adalah wanita tua yang mengabdi di rumah ini bahkan sebelum ia terlahir.

"Ah, Anda sendiri belum tidur, Mrs. Thrift. Ah, dimana wanita itu?" tanya Sage dengan senyum andalannya.

"Mrs. Autumn belum kembali sejak sore tadi. Mr. Autumn juga belum pulang sejak pagi. Apa ada yang Anda butuhkan saat ini?" tawarnya. Sage tersenyum dan menggeleng, lalu mengucapkan 'terima kasih' sebelum melangkah menuju kamarnya.

Penghangat ruangannya menyala secara otomatis saat ia memasuki kamarnya. Tanpa berniat menyalakan lampu kamarnya, pemuda bermata heterochromia itu melepaskan bajunya dan menggantinya dengan baju tidur yang ia ambil secara asal.

Ia meregangkan badannya saat punggungnya menyentuh ranjang empuknya. Ia membalikkan badannya dan memeluk bantal besar.

Aku harap tahun depan aku bisa tinggal di tempat yang hangat, batinnya. Seketika itu juga, ia teringat dengan harapannya saat Mr. Oliver menanyakannya. Ia tertawa menertawakan dirinya sendiri.

Pelangi tujuh warna? Apa aku akan dapat melihatnya suatu saat nanti?, batinnya lagi. Jika hal itu memang ada, ia berharap rumah yang ia tinggali ini berwarna seperti itu.

---

"Hatchi!"

Raven mengusap hidung merahnya dengan selembar tisu. Ia mengganti pakaiannya dengan sweater rajut berwarna biru tua. Ia menoleh pada kasur dengan selimut tebal berwarna abu-abu yang berteriak memanggilnya. Ia akan ke sana setelah mengganti kaos kakinya.

Dengan menyembunyikan hampir seluruh tubuhnya di balik selimut, Raven dapat merasakan kehangatan. Ia memejamkan mata hitamnya. Sesekali ia membalikkan tubuhnya ke arah lain saat kesulitan untuk menarik napas. Kepalanya juga terasa pusing. Ia berusaha untuk jatuh terlelap sebelum matahari mulai menampakkan cahayanya.

.
.
.

To be continued

.
.

Hola! Terima kasih sudah mampir^^

Kayanya Raven terlalu memaksakan diri sampai sakit begitu deh 😭

Kira-kira, siapa nih yang mau jadi sukarelawan buat ngerawat Raven?? 👀

Akan sangat berharga bagiku jika kalian memberikan komentar dan vote!

See you next sheet! Byeee! ❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro