Sheet 7: Are You Okay?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.

.

Sheet 7: Are You Okay?

.
.
.

Zelts menghela napas resah. Entah kenapa ia merasa mood-nya hari ini benar-benar buruk.

Ia ingin segera kembali ke rumah dan memeluk bantal kesayangannya. Sayangnya, jam baru saja menunjuk angka 9 dengan jarum panjang pada angka 5. Tak lupa, matahari baru saja menampakkan dirinya dan belum berada tepat di atas kepala.

Hal itu mungkin karena hari ini akan diadakan remedial fisika atau mungkin juga karena durasi tidur malamnya yang sangat singkat.

Zelts tidak membaca buku apa pun tadi malam. Ia tak berminat membuka buku apapun, apalagi membacanya. Ia menghabiskan waktu malamnya dengan bermain bersama teman-temannya, atau kenalannya? Zelts bahkan tak tahu harus menyebut mereka apa.

Bel pergantian jam baru saja berbunyi. Beberapa anak menghela nafas lega, sedangkan Zelts tampak menaruh kepalanya di atas lipatan tangan.

Mungkin ia akan benar-benar tertidur mengingat sesi pelajaran kali ini akan kosong hingga beberapa sesi ke depan, mengingat dewan guru yang mengadakan rapat.

Biasanya akan ada guru pengganti, namun kali ini mereka hanya memberikan tugas yang cukup ringan.

"Zelts? Apa kau tidur?"

Sebuah suara mengalun lembut, namun terasa mengganggu di telinganya. Ia melenguh pelan seakan tak ingin diganggu, namun suara itu terus saja memanggilnya tanpa henti. Zelts pun menyerah dan mengangkat kepalanya.

"Apa?"

Mata Zelts menyipit saat mengetahui Sophia lah dalangnya. Gadis itu tertawa tanpa merasa bersalah sedikitpun. Zelts masih menatap datar Sophia, dan secara tidak langsung menunggu Sophia berbicara.

"Kau ada remedi fisika, kan, hari ini? Apa kau sudah belajar?"

Sophia bertanya dan menunggu Zelts menjawab, namun tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut pemuda itu. Sophia sudah menduga jika pemuda itu pasti tak akan membuka bukunya semalam.

Sophia berjalan meninggalkan Zelts, kembali ke bangkunya, dan mengobrak-abrik tasnya. Mata emas Zelts masih mengikuti gerak-gerik Sophia sampai gadis itu kembali ke hadapannya.

Dengan senyum merekah, Sophia mengangkat buku-buku fisika seraya menunjukkannya pada Zelts. Perasaan pemuda itu mulai tidak enak.

"Ayo belajar!"

Dan benar saja, kata itu keluar dengan mudahnya dari mulut Sophia. Zelts merengut dan menarik buku fisika dari tangan Sophia dengan cepat dan mengembalikannya ke atas meja Sophia.

Gadis itu melongo melihat kelakuan Zelts. Sophia berjalan dan menyambar bukunya kembali. Ia dengan kesal memukul Zelts dengan buku itu. Membuat Zelts mengaduh kesakitan.

"Apa maumu?" Zelts berseru, tetapi tak ada tanda kemarahan yang berlebihan. Ia hanya kesal Sophia memukulnya. Itu saja.

Sophia menarik napas panjang. "Zelts, kalau kau dapat merah di remedi kali ini kau akan dapat masalah. Bisa-bisa kau tidak masuk ke Kelas A tahun depan. Orang tuamu juga akan dipanggil, kan?"

Zelts menyipitkan matanya sekali lagi. "Darimana kau tahu jika orang tuaku akan dipanggil?"

"Oh, jadi benar akan dipanggil, ya?"

Zelts tersentak, ternyata Sophia hanya menebaknya saja, namun Zelts hanya diam saja.

Pemuda itu berdeham. "Apa untungnya kau mengajariku?"

Sophia tertawa dan meletakkan bukunya di atas meja Zelts. "Anggap saja jika ini sebagai utang budiku padamu. Kau sudah mau menjadi partnerku minggu lalu. Lagipula, apa Zelts memang ingin mendapatkan nilai merah? Tidak, bukan?"

Zelts diam dan menunggu Sophia melanjutkan perkataannya.

"Yah, mungkin jika kau berhasil mengerjakan 40 soal di bab ini aku akan meninggalkanmu."

"Apa hanya 40 soal saja?"

Sophia mengangguk mantap.

"Oke, jika aku berhasil mengerjakannya apa kau akan pergi meninggalkanku?" Zelts bertanya. Ia benar-benar ingin sendiri saat ini, dan ia akan melakukan apapun untuk itu.

Sophia mengangguk yakin. Akhirnya, kedua siswa itu saling sepakat. Sophia mulai mencari soal-soal yang ada di bukunya dan melingkarinya dengan bolpoin bertinta merah. Zelts tampak diam menunggunya.

Zelts mulai melepaskan hairpin-nya, membuat poninya yang cukup panjang itu jatuh berjuntaian. Ia menyatukan poninya itu di atas kepalanya dan mengikatnya dengan karet gelang berwarna merah mengkilap, membuat dahinya terlihat.

Sophia tak pernah melihat Zelts melakukan hal itu pada rambutnya.

Buku fisika itu bergerak mendekati Zelts. Sepertinya Sophia sudah menyelesaikan pekerjaannya, kali ini giliran Zelts yang mengambil alih buku itu. Pemuda itu sudah siap dengan alat tempur berupa pensil dan penghapusnya.

"Jika tidak ada yang kau pahami, tanyakan saja padaku, mungkin aku bisa membantu mengerjakannya, jika tidak kita bisa mencarinya bersama. Jangan malu untuk bertanya, ya?"

Sophia memiringkan kepalanya sedikit setelah mengucapkan kalimat-kalimat itu.

Zelts dengan cepat mengambil gerakan hormat dengan tangannya, mulutnya tersenyum lebar dan memperlihatkan giginya. Sophia tertawa dan entah kenapa dalam hatinya ia merasa lega saat melihat Zelts kembali ceria seperti biasanya.

Suara derit kayu terdengar, disambung dengan adanya buku fisika lain di atas meja. Sophia dan Zelts menoleh ke asal suara secara bersamaan dan mereka mendapati Zwart yang duduk di atas kursi yang dibawanya. Buku fisika itu sepertinya milik Zwart juga.

Dengan senyum mengembang tanpa memedulikan tatapan heran kedua rekan sekelasnya, Zwart berkata, "Boleh aku bergabung? Sepertinya menyenangkan bisa belajar bersama kalian."

Sophia terdiam dan menatap Zelts lamat-lamat seraya meminta pendapat. Bagi Sophia semakin ramai kelompok belajar maka akan semakin menyenangkan.

Zelts tampak terdiam beberapa detik, lalu mengangguk setuju. Sophia tersenyum senang dan menoleh pada Zwart.

"Boleh saja! Ayo, belajar bersama. Semakin ramai, semakin seru!"

Zwart mulai membuka buku fisikanya. Berbeda dengan Zelts, ia hanya mengerjakan soal-soal yang ia pilih sendiri. Tak hanya itu, ia juga lebih sering bertanya daripada Zelts yang terlihat lancar di setiap soal yang ada.

Zelts mengernyitkan alisnya. Gerakan pensilnya terhenti di saat ia tak dapat menemukan jawaban yang benar. Ia membuka halaman-halaman sebelumnya untuk membantu menemukan jawaban yang benar.

Beberapa menit berlalu, Zelts masih tak dapat menemukan penyebab kesalahannya, ia sudah mencoba menghitung dengan rumus-rumus yang lain, tetap tak dapat menemukan jawabannya.

Tatapannya beralih pada Sophia dan Zwart yang tengah asyik berunding. Si Zwart itu tampaknya tak begitu paham dengan pelajaran yang satu ini.

"Ada apa, Zelts?" tanya Sophia.

Kedua pasang mata yang ada di hadapannya itu menatap Zelts dengan bersamaan.

"Aku tidak dapat menemukan jawabannya," Zelts menunjukkan soal yang ia kerjakan.

"Mungkin kau kurang teliti." Zwart memberikan pendapatnya. Sophia yang setuju dengan pendapat itu segera mengecek angka-angka yang telah digoreskan Zelts di atas kertas.

Sophia terdiam beberapa saat sampai ia selesai mengecek hasil perhitungan Zelts. "Kupikir tidak ada yang salah di sini. Mungkin kau salah rumus. Bagaimana menurutmu, Zwart?"

Zwart melihat sekilas buku milik Zelts, lalu menggeleng pelan. "Itu adalah bagian yang paling tak kupahami. Aku berharap kau mengajarkannya padaku, Sophia."

Sophia menghela nafas panjang. Ia tadi hanya asal saja melingkari soal untuk Zelts, walaupun tidak sepenuhnya asal-asalan.

Zelts tak terlalu pandai fisika seperti Argia atau yang lainnya, namun ia hanya ingin Zelts membuka bukunya. Semoga saja Zelts tak marah padanya.

Sret!

Sebuah tangan tiba-tiba saja datang mengambil pensil di genggaman Zelts. Arahnya tepat di dekat bahu Sophia. Gadis itu menyadari jika ternyata pemilik tangan itu berdiri tepat di belakangnya.

Napas gadis itu tercekat, ia menatap tangan itu dengan mata yang terbuka lebar.

Brak!

Sophia terjatuh dari tempat duduknya. Ia memegang dadanya dengan nafas tersengal-sengal. Badannya sedikit bergetar. Pupil itu mengecil karena ketakutan.

Sophia berusaha mengatur napasnya tanpa memedulikan tatapan mata yang menatapnya dengan heran.

Zelts menatap Raven, pemuda yang sebelumnya berdiri di belakang Sophia, dengan tajam saat ia mengerti penyebab tingkah laku aneh Sophia.

"Hey, apa yang kau lakukan?"

Raven yang tak mengerti hanya menatap Zelts dengan menaikkan satu alisnya. "Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mengambil pensilmu."

Pemuda baby face itu terdiam. Ia sendiri juga tahu jika Raven tidak melakukan hal yang aneh.

Zwart dengan cepat mendekati Sophia dengan khawatir. "Apa kau baik-baik saja Sophia?"

Sayangnya, wajah pucat gadis itu mengatakan sebaliknya.


.
.
.
To be Continue

.
.
.

Author's Note:

Halo~

Bertemu lagi dengan saya! Apa ada yang menunggu kelanjutan part ini? *.*

Jika kalian bertanya bagaimana aku membayangkan wajah imut Zelts, aku akan menjawab jika aku membayangkan wajah-wajah imut laki-laki korea. :p Apa di sini ada yang tidak suka korea? Yah, kalian bebas membayangkan wajah Zelts, sih.

Jadi, bagaimana menurut kalian Mr. Oliver? Kira-kira apa yang akan terjadi pada sheet depan, ya? Ayo, share komentar kalian! :)

(30/08/18)
Regards,

Fukuyama12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro