Sheet 8: Do Not Touch

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Welcome to The A Class © Fukuyama12
Genre : Teenfiction, drama, Psychology
Rate : T+

.
.
.

Sheet 8: Do Not Touch

.
.
.

Masih dengan usaha mengatur nafasnya, Sophia mengangguk perlahan dan mencoba untuk bangkit. Sophia melihat Zelts ingin sekali mengulurkan tangannya, namun pemuda itu terlihat menahan keinginannya.

Sophia tersenyum dan berdiri tegak seraya tak ada hal yang perlu dikhawatirkan, walaupun sebenarnya badannya masih gemetar.

Sophia menatap mata Zelts dan Zwart yang penuh dengan kekhawatiran, lalu tatapannya berhenti pada sepasang mata onyx yang tampak dingin. Sophia segera mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Ini semua salahmu, Raven."

Zelts menatap tajam Raven dan menendang tulang kering Raven pelan.

"Kau datang tiba-tiba dan membuat Sophia ketakutan! Apa kau tidak tahu jika Sophia punya phobia pada laki-laki?"

Raven mengernyit tak suka, pemuda itu meletakkan kembali pensil yang dipegangnya di hadapan Zelts dengan kasar.

"Mana aku tahu hal itu. Dan satu lagi, berhenti menatapku seperti itu. Padahal aku ke sini untuk membantumu. Sepertinya kau tak memerlukannya, ya?"

Zelts tersentak saat melihat Raven mulai berjalan melewatinya. Ia dengan cepat menarik lengan Raven, bahkan sampai memeluk lengan Raven erat.

"Aku butuh bantuanmu, Mr. Windblows! Tolong maafkan hambamu ini!"

Raven memutar bola matanya saat melihat kelakuan Zelts. Ia menarik tangannya kasar agar Zelts melepaskannya. Tangan kirinya mengambil kembali pensil berwarna merah dengan titik berwarna hitam dan berdiri di tempatnya sebelumnya.

Gadis berambut coklat wavy itu sedikit menggeserkan kursinya seraya mempersilakannya.

Raven mulai menerangkan sedikit demi sedikit. Tak hanya soal yang tak dipahami oleh Zelts, namun juga oleh Sophia atau Zwart.

Bahasa yang digunakan pemuda itu cukup membuat ketiganya mengerti, mungkin karena pemuda itu menggunakan bahasanya sendiri, bukan dari buku atau yang lainnya.

Sophia mengangguk paham saat Raven menjelaskan bagian yang ia juga tak mengerti. Gadis itu cukup takjub dengan cara mengajar Raven, ternyata di balik sifat dinginnya, pemuda itu menyimpan bakat terpendam.

"Ah, jadi seperti itu? Aku paham sekarang!" seru Zwart senang.

Ia yang paling tak paham tentang fisika sekarang merasa bahwa dirinya paling paham tentang fisika, untuk saat ini.

Raven memandangi teman sekelasnya sekilas. "Untuk soal seperti ini, gunakan cara yang sama dengan ini."

Semuanya mengangguk paham. Raven membalikkan beberapa halaman dan melingkari beberapa soal dengan tinta merah.

"Kemungkinan soal-soal ini yang akan keluar."

Raven mengakhiri penjelasannya. Ia kembali ke tempat duduknya selagi ketiga teman sekelasnya mengecek soal-soal yang ia berikan. Ketiganya tampak sibuk menyalin dan berdiskusi.

Zelts mengangkat kepalanya saat merasakan dinginnya minuman kaleng di kepalanya. Ia menatap Raven selaku pelakunya. Zelts tersenyum lebar dan meraih minuman kaleng yang ada di atas kepalanya.

Mata emas Zelts berbinar. "Woah, cokelat dingin! Bagaimana kau tahu minuman favoritku?!"

Raven mendengus sombong. "Memangnya sudah berapa tahun aku mengenalmu?"

Senyum Zelts semakin melebar. Ia membuka minuman coklat dingin itu dan segera meminumnya. Ia merasa senang saat mengetahui Raven selalu memperhatikannya.

"Ini untuk kalian."

Raven meletakkan sebuah keripik kentang dengan perisa sapi panggang yang cukup besar untuk dimakan bersama. Sophia dan Zwart mengucapkan 'terima kasih' dengan mata yang tak kalah berbinar dengan Zelts.

Sophia mulai memakan keripik kentang yang sudah dibuka oleh Zwart. Gadis itu berbisik pada Zelts saat melihat Raven mulai sibuk membaca buku dengan earphone yang terpasang pada kedua telinganya.

"Aku tak menyangka jika dia sebaik ini. Aku pikir dia sombong dan cuek."

"Aku juga berpikir seperti itu."

Zwart menyahut dengan tangan yang terus memasukkan keripik kentang ke dalan mulutnya. Untuk sejenak mereka melupakan pelajaran Fisika.

Zelts memutar-mutar kalengnya. Minuman itu sudah habis setengahnya. "Sebenarnya aku juga heran. Ini pertama kalinya dia mentraktirku. Tapi sepertinya dia tidak sesombong yang kalian pikirkan."

"Apa kalian sudah saling mengenal sebelumnya?" Zwart bertanya sekali lagi.

Zelts tampak berpikir. "Sejujurnya aku selalu satu kelas dengannya dari TK hingga saat ini."

Sophia menghentikan jarinya yang sibuk menulis. "Sejak TK?! Kalian sudah mengenal selama itu? Jadi kalian cukup dekat, ya?"

Zelts mengalihkan pandangannya. "Jika dikatakan dekat aku tidak yakin. Aku hanya berbicara dengannya saat penting saja. Ke rumahnya pun saat mengerjakan tugas kelompok, selain itu tak ada lagi. Tapi sepertinya orang tua kami berteman."

Sophia dan Zwart mengangguk paham. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan apapun selain tentang fisika. Mereka mulai serius, bahkan Sophia yang tak mendapatkan nilai merah pun tampak asyik belajar seperti yang lainnya.

***

Bel pulang berbunyi. Bagi sebagian siswa mungkin bel itu tidak selalu bertanda mereka akan pulang ke rumah. Beberapa dari mereka ada yang mengikuti kegiatan tambahan seperti ekstrakurikuler ataupun kelas tambahan berupa remedi. Zelts dan Zwart ada dalam opsi kedua.

"Ingat, Zelts! Kau pasti bisa! Kau dapat mengerjakan soal-soal latihan dengan benar, jangan sampai kau kalah dengan soal remedinya! Zelts anak pintar!" seru Sophia sesaat sebelum ia pergi meninggalkan kelas.

Anak pintar? Zelts membeo dalam hati.

Tak lama kemudian, Zelts tersenyum lebar seperti biasanya. "Akan aku perlihatkan kemampuanku yang sesungguhnya, Sophia!"

"Aku juga!" Zwart ikut berseru.

Tangannya mengepal penuh semangat. Sophia mengangguk dan tersenyum saat melihat wajah keseriusan pada keduanya.

Pemuda berambut pirang tiba-tiba saja datang dan mendengus seraya meremehkan perkataan Zwart. "Sekalipun kau menggunakan seluruh kemampuanmu, aku tak yakin kau akan dapat nilai sempurna."

Zwart memicingkan matanya tajam. "Aku tak peduli dengan nilai sempurna, dapat nilai di atas rata-rata sudah cukup bagiku, Argia. Ah, bukan, mendapatkan nilai di atas nilaimu akan membuatku bahagia."

Argia mengangkat kedua bahunya tak peduli dan berjalan meninggalkan Zwart, meninggalkan kelas. Sophia menatap punggung pemuda pirang itu heran.

"Aku heran dengan kalian. Tak ada satupun dari kalian berdua yang mirip. Kalian tak seperti anak kembar," komentar Sophia.

Zwart menghela napas. "Aku bersyukur dia tak mirip denganku."

Sophia menggeleng heran. Ia menoleh ke arah pintu saat mendengar suara langkah kaki. Mrs. Garnet. Sophia segera berjalan cepat menuju pintu kelas. Sebelum ia benar-benar pergi, ia memberikan kepalan semangat pada keduanya.

***

"SOPHIAA!!!"

Gadis yang namanya dipanggil itu tersentak saat mendengar namanya terpanggil dengan suara kencang. Ia menoleh bersamaan dengan telinganya yang mendengar suara derap kaki yang saling bersautan, namun sebelum ia sempat melihat orang yang memanggil namanya, tubuhnya terangkat dan terputar.

Mata emerald itu terbelalak saat melihat tangan kekar yang melingkar di pinggangnya.

"Kyaa! Lepaskan aku!!" Sophia mulai histeris.

Bruk!

Lengan itu melepaskan pelukannya dari pinggang Sophia. Sophia terjatuh setelah beberapa detik gagal mencoba menyeimbangkan diri. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat merasakan mual.

"Apa yang kau lakukan, Zelts?! Sophia, apa kau baik-baik saja?"

Zwart menatap tajam Zelts yang ikut panik. Ia dengan cepat mengeluarkan botol minumannya dan meminta Sophia untuk meminum air lemon itu.

Sophia meneguk air lemon segar itu beberapa kali, setelah itu ia mengatur napasnya sembari menatap kedua temannya yang memandangnya khawatir. Khusus Zelts, ia melihat tatapan penyesalan pada mata emasnya.

"Aku minta maaf, Sophia!"

Sophia menggeleng dan tersenyum, "Tidak apa-apa, Zelts. Jangan diulangi lagi, ya?"

Zelts mengangguk mantap.

"Jadi, apa yang membuat kalian berlari ke arahku.

Zelts dan Zwart secara bersamaan saling melemparkan pandangan seakan-akan mereka melupakan sesuatu. Mereka berdua tersenyum bangga dengan mengeluarkan secarik kertas.

"Kita dapat nilai tinggi di remedi!" seru kedua pemuda itu bersamaan. Mereka memandang kertas remedi itu dengan tatapan berbinar.

"Aku dapat nilai yang hampir sama dengan Argia, walau hanya selisih dua poin," cerita Zwart. Dia terlihat sangat gembira, terlihat dari wajah yang memerah.

"Aku juga lolos. Tidak akan ada kelas tambahan lagi setelah ini, yeay!!" seru Zelts kegirangan.

Zwart menatap Zelts datar. "Kau bahkan tidak pernah mengikutinya, Zelts."

Zelts menjulurkan lidahnya seperti anak kecil tanpa rasa bersalah. "Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya. Karena itu, Sophia, aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Hari ini aku akan mentraktirmu kemanapun kau mau!"

"K-kau tidak perlu melakukan itu, Zelts."

Sophia menolak dengan halus. Ia merasa tak berhak menerimanya, rasanya yang lebih berhak adalah Raven. Pemuda itu sudah banyak membantu.

"Aku tidak menerima penolakan!"

Tangan Zelts bergerak untuk menarik tangan Sophia, namun pemuda itu menghentikannya sesaat sebelum ia sempat menyentuhnya. Pemuda itu meringis.

Sophia menyerah. Ia menuruti apa yang pemuda babyface itu inginkan. Zelts tampak gembira melihatnya, seperti anak kecil. Sophia berkata, "Aku ingin pergi ke Golden House Cake. Apa tidak apa-apa?"

"Apa kau yakin? Kenapa tidak pergi ke tempat lain saja?"

Sophia menggeleng, "Sudah lama aku tidak pergi ke sana. Aku ingin mencicipi kuenya sekali lagi. Pasti ada menu baru di sana, kan?"

"Kami selalu mengeluarkan menu baru tiap bulan. Kudengar pattisier sudah membuat menu baru lagi," jelas Zelts. Ia tampak bersemangat dalam segala hal.

Sophia menoleh saat mereka mulai melangkah. Pasalnya Zwart tampak tak mengikuti mereka. Zelts pun ikut menoleh saat Sophia tak melanjutkan langkahnya. Zwart tampak melambai dan berbalik meninggalkan mereka.

Sophia melemparkan pandangannya pada Zelts, "Apa kau tak mengajaknya juga?" Zelts tersenyum kaku dan memalingkan pandangannya. "Kau seharusnya mengajaknya juga."

"Untuk apa aku mengajaknya? Aku tak punya utang apapun padanya," jawab Zelts sembari mengangkat kedua bahunya.

Sophia terdiam. Lagi-lagi sifat A Class muncul. Gadis itu merasa tidak nyaman dengan sikap tidak peduli itu.

"Jika aku berkata Zwart selalu mengingatkanmu dengan kelas tambahan, sedangkan kau selalu menghindarinya. Apa kau tak tahu jika dia selalu dapat omelan karenamu?"

Zelts menghela napas menyerah. Ia menatap punggung Zwart dan berteriak, "ZWART, KAU MAU KEMANA?! KEMARILAH, JIKA KAU TIDAK KEMARI DALAM LIMA DETIK AKU TIDAK AKAN MENTRAKTIR—akh!"

Sophia memukul pinggang Zelts dengan tasnya. Pemuda itu mengaduh kesakitan dan mengelus pinggangnya yang sakit. Sophia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.

"Apa tidak apa-apa aku ikut?" tanya Zwart tiba-tiba. Zelts tak menjawab apa pun selain merangkul pundak Zwart dan menyeretnya keluar gedung. Sophia mengikuti mereka dari belakang.

"Ayo, makan sepuasnya!"

.
.
.

To be Continue

.
.
.

Author's note:

Halo, semuaaa! ヾ(≧▽≦*)o

Senang bertemu kalian di sini? Sudah baca sampai akhir, kan? Ayo beri vote dan komentar!

Apa ada yang mau menebak kepribadian Mr. Oliver di sini?

(07/04/18)
Regards,

Fukuyama12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro