First and Last

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

For:

Group: WFantasyClub

Owner: YEMIMALIEZ

Admin:

>>shianacaa
>>edge79
>>ale_xi99
>>TaeMadein95
>>SmallTown_
>>RevengarRay
>>Ndftl_qtsyh

***

Cahaya mentari berpendar lembut menyentuh pipiku. Angin dingin berkesiur ke pepohonan, menimbulkan desis pelan, lalu menyapu manja kulit. Kuhirup mesra aroma khas pagi hari itu. Aroma damai yang selalu kusukai.

Tanpa sadar seseorang menepuk pelan bahuku. Aku menoleh--tepatnya menengadah--ke arah seorang pemuda berwajah melankolis yang berdiri tepat di hadapanku kini. Poni hitam jatuh tepat di atas keningnya yang putih kecokelatan. Hidungnya menukik tajam bak perosotan kanak-kanak. Kedua sudut bibir tipisnya terangkat. Ya, dia adalah kekasihku, Juna.

"Kamu udah sarapan?" tanya Juna sambil mengusap lembut anak rambut yang jatuh di keningku. Tangannya terasa lembut dan hangat yang membuat diriku merasa nyaman saat berada di dekatnya.

Aku menggeleng kecil, lalu tersenyum. Kutempatkan tangan tepat di pundak baju berwarna putih dan berlogo OSIS di dadanya. Kudekatkan wajahku perlahan diikuti bibir, yang mengarah tepat di bibir Juna. Akan tetapi nampaknya Juna sama sekali tidak siap, pipinya bersemu merah jambu. Ia buru-buru menutup matanya, menunggu detik-detik hal yang mungkin tak akan terlupakan dalam memorinya.

Lima detik berlalu, bibir Juna sama sekali merasakan kecup halus yang telah ditunggu-tunggunya. Ia lantas membuka mata dan melihat aku yang kini tengah menahan cekikikan. Lucu sekali saat menjahilinya.

"Kantin bareng yuk." Aku berujar masih setengah menahan tawa.

Wajah Juna menekuk masam. Tangannya ia silangkan di dada dan pandangannya ia buang ke samping.

"Ululu ..., Pangeran Arjunaku jangan ngambek dong," godaku sambil tersenyum lebar. Sebenarnya aku masih tetap menahan tawa, tapi aku tak menunjukkannya pada Juna. Takut-takut nanti dia malah benar-benar merajuk.

Juna kini kembali tersenyum. Hatinya sepertinya luluh oleh godaanku. "Oke, apapun demi Tuan Putri Adeeva," balas Juna sambil mencubit pelan pipiku. Gemas.

Aku sangat menyukai sifat Juna yang suka merajuk. Menurutku, melihat wajah Juna saat merajuk bagai melihat rajukan Shawn Mendes. Sifat gampang luluhnya juga salah satu yang paling kusuka. Aku benar-benar bahagia memiliki cowok sesempurna Juna.

Terima kasih, Tuhan, batinku.

***

Kala itu suasana kantin masih tampak agak lengang. Mungkin karena masih pagi. Tapi kami dapat melihat lima-enam meja kantin yang telah di duduki siswa lain. Kami berjalan ke arah meja yang berada di sudut, di dekat tanaman-tanaman hias. Juna yang mengusulkannya, karena ia bilang, suasananya sangat khas untuk pagi hari.

Juna lalu memesan mi instan rebus pada ibu penjaga kantin. Mereka melayani Juna dengan baik, bahkan terkadang menunjukkan ekspresi yang agak centil. Memang pacarku itu bisa dibilang sangat tampan, bahkan ibu kantin pun suka menggodanya. Aku hanya bisa tertawa kecil saat melihat ekspresi jijik Juna.

"Mau pesen apa, Mas ganteng, unyu-unyu samlehoy?" ujarku mengikuti cara bicara ibu kantin tadi saat Juna telah kembali ke meja kami. Aku menahan tawa, sedang Juna memajukan bibirnya beberapa senti.

Kami lalu menyantap sarapan mi instan masing-masing. Aku paling tak suka dengan keadaan yang lengang, jadi dengan iseng kumasukan saus sambal yang cukup banyak ke dalam mangkuknya.

"Eh, eh," kata Juna saat melihat tingkah jahilku. "Ah, kamumah jail terus, deh," lanjutnya sambil menuangkan saus ke dalam mangkukku.

Mataku terbelalak, "Ih! Jangan dong, Yang!"

"Just kidding, baby," jawabnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.

Kami melanjutkan memakan mi instan pedas itu. Tak jarang aku mendesah kepedasan saat menyuap mi, namun Juna terlihat semangat memakannya. Kami saling bersuapan setelahnya, membuat seolah-olah dunia hanya milik berdua.

Juna kini merogoh isi tasnya, ia lantas mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati dan berwarna merah muda, lalu menyodorkannya ke arahku.

"Happy Valentine Day, My Sweetheart," ujar Juna sambil tersenyum amat manis. Aku tentu tak dapat menahan rasa bahagiaku saat itu.

"Thanks, my honey bunny." Aku berkata sambil beranjak dari meja. Lantas langsung memeluknya yang juga ikut beranjak dari kursinya. Sepertinya dia sudah tahu aku akan melakukan hal itu, Juna memang selalu peka.

Aku bisa merasakan kecupan bibir hangat di kening. Hidungku juga dapat mencium aroma khas tubuh Juna saat memeluknya. Ibu-ibu kantin dan beberapa siswi yang ada di kantin tampak iri denganku. Aku benar-benar mencintai pemuda ini.

Terima kasih telah mengirimkan pria sepertinya untukku, Tuhan, batinku.

***

Hari itu adalah minggu pagi, tepatnya waktu kami untuk date. Aku kini masih sibuk menyiapkan barang-barang bawaanku. Diriku lalu berdandan cukup lama. Tentu saja, 'kan? Perempuan paling tak bisa disuruh cepat-cepat, laki-laki mana pernah mengerti hal itu?

Setelah semuanya benar-benar seratus persen siap, aku beranjak keluar kamar dan menuruni tangga. Diriku dapat melihat mama yang kala itu tengah berduduk di meja makan sambil menyantap sepotong roti.

"Pagi sayang," ujar mama, "duh, putri mama pagi-pagi gini mau ke mana nih?" lanjutnya saat melihat sekujur tubuhku yang telah rapih.

Aku tersenyum, lantas menjawab, "Aku mau jalan sama Juna, Mah."

Namun tanpa diduga-duga, ekspresi mama berubah menjadi datar. Perlahan air mata mulai terjun bebas dari pelipisnya. Aku tak mengerti ada apa dengan mama.

"K-kenapa, Mah?"

Mama beranjak dari kursinya dan langsung memelukku erat. Aku dapat merasakan air mata yang mengenai pundak bajuku.

"Kamu, kamu..." ujar mama sambil sesengukan.

"Aku kenapa, Mah?" jawabku sambil mengernyitkan kening.

"Kamu harus tabah, Deva. Juna udah pergi untuk selamanya, Sayang. Maafin mama yang ngga bisa ngebuat kamu ngelupain dia. Mama tau dia emang pemuda yang baik, kamu juga sangat mencintainya. Mama tau itu, tapi kamu harus mulai nyoba untuk ngelupain dia. Dia udah tenang di sana, Sayang."

Kakiku serasa menjadi amat lemas. Dadaku terasa pedih saat mendengar kalimat-kalimat yang di lontarkan mama. Entah mengapa rasanya benar-benar sakit. Bagaikan seongok luka yang disriam air cuka.

"M-Mama becanda, 'kan? Ngga mungkin, Mah! Juna masih ada! Dia ngga mungkin udah meninggal!"

Mama menggeleng, lalu memegang pundakku untuk menenagkanku. "Mama ngga bercanda, Sayang. Dia udah meninggal dua minggu lalu. Mama tau kamu ngerasa kehilangan, tapi kamu harus bisa lupain dia, Nak."

Aku menggeleng tak percaya.

"Mama bisa kok bawa kamu ke makam, Juna. Jangan sedih yah," lanjut mama sambil mengusap air mataku.

Aku tak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Semua ini benar-benar di luar nalarku. Aku tahu mama tak berbohong, tapi kenapa aku merasa tak terima? Mungkinkah selama ini aku hanya Berhalu?

Ya Tuhan, kenapa engkau membuat hidupku serumit ini?

***END***

Sabtu, 8 Februari 2020

[989kata]


[Published: 07/02/20]

-Protezye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro