( WaF - 22. Momen Ketika Pasangannya Menjatuhkan Air Mata )

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir semua laki-laki tak menyukai momen ketika pasangannya menjatuhkan air mata. Rey adalah salah satu dari jenis pria seperti itu. Dengan wajah sarat kebingungan, Rey menatap Seva yang sesegukan. Riasan tipis gadis tersebut sudah berantakan.

Tadi Seva meneleponnya sambil menangis. Dara itu meminta untuk segera dijemput. Tentu saja membuat Rey jadi panik dan penasaran. Namun, gadis di depannya masih belum ingin bercerita. Hingga akhirnya Rey memilih diam. Terus mengulurkan tisu untuk Seva sambil menjalankan mobilnya ke suatu tempat.

Sesampainya di tempat tujuan, tangis Seva mendadak berhenti. Gadis itu perlahan menoleh ke arah Rey dengan wajah sembap. "Kenapa kita ke sini?"

Rey tersenyum sebelum menjawab, "Karena saya pikir, kamu perlu tempat tenang."

Mendengar sepenggal kalimat Rey, Seva membeku di tempatnya. Gadis itu tak kunjung turun dari mobil, sampai akhirnya Rey membuka pintu di sebelahnya.

"Ayo, turun. Kita ke atas sekarang," ajak Rey. "Kamu kuat, kan, atau mau saya gendong?"

Setelah mendengar pertanyaannya, Rey dapat melihat pipi Seva memerah. Membuat senyum Rey semakin mengembang karena gemas. Apalagi Seva tak menjawabnya. Cuma menuruti setiap perkataan Rey seperti anak ayam.

Setelah berada di atap gedung kosong─tempat mencari ketenangan ala Seva dan Deon─mereka segera duduk di sofa. Masih tak ada yang membuka suara sejak pertanyaan Rey tadi. Lebih tepatnya, Rey menunggu Seva untuk bercerita.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

Lima menit.

Seva masih diam. Seolah mengaplikasikan mode hening pada tubuhnya. Tangisannya memang sudah berhenti sedari mereka sampai di tempat ini.

Melihat tak ada tanda-tanda dari Seva untuk membuka pembicaraan, Rey pun mengalah. Sebelum suaranya keluar, Rey menyempatkan diri untuk menarikembuskan napasnya. "Kenapa kamu nangis?" tanyanya, sangat lembut seakan jika salah memilih intonasi, Seva akan histeris.

Bukannya menjawab, Seva justru balik bertanya, "Om nggak kerja?"

"Saya izin jemput kamu se─"

"Dan sekarang Om udah jemput Seva. Harusnya Om balik kerja lagi," potong gadis itu. Pandangannya masih tak mau bersobok dengan Rey.

"Nggak pa-pa. Saya masih mau nemenin kamu."

Tawa hambar Seva terdengar. "Nggak perlu. Dengan adanya Om di sini, semuanya makin terasa buruk."

Kedua alis Rey menukik. Sedikit rasa tersinggung tercipta dalam dirinya. "Maksud kamu?"

Si gadis tak langsung menjawab. Diam lagi selama beberapa menit. Sampai kemudian memutuskan untuk membalas tatapan Rey. Binar kesedihan di matanya sangat kentara. Lalu setetes air mata turun ketika Seva berkata, "Seva nyusahain Om lagi─" isakannya kembali, "─Seva ..., Seva ... cuma jadi beban buat Om doang, iya, kan?"

Helaan napas Rey terdengar pelan. Matanya melihat Seva dengan nanar. "Kenapa kamu mikir kayak gitu lagi?"

Seva semakin terguguk. Mukanya sangat merah dan basah karena air mata. "Om jujur aja. Nggak pa-pa .... Nggak pa-pa, Om. Seva terima kok. Seva emang nyusahin Om. Maafin Seva."

"Seva ...," tegur Rey agar gadis itu berhenti menyalahkan diri sendiri. Pelan ia menyentuh bahu Seva agar lebih tenang.

"Seva nggak pernah bisa ngimbangin Om Rey. Seva nggak pernah ngebantu." Seva memandang Rey penuh nelangsa. "Maafin Seva, Om Rey. Seva nggak nepatin janji .... Seva bilang mau jadi lebih dewasa ta-tapi─"

Ucapan Seva tak selesai karena Rey lebih dulu mendekat dan merengkuhnya. Pada awalnya semua itu sangat canggung. Seva tampak terkejut dan tubuhnya sedikit tegang, sementara Rey merasa asing.

Dulu, perempuan yang dipeluknya memilih tubuh sedikit lebih besar daripada gadis di hadapannya.

Dulu, harum yang memasuki indra penciumannya beraroma bunga. Namun, sekarang berbau melon yang bercampur susu.

Dulu, helaian rambut yang ditangkap oleh matanya panjang bergelombang dan berwarna sedikit kecoklatan. Namun, sekarang pendek lurus dan memiliki warna hitam pekat.

Dulu, yang direngkuhnya adalah Atika. Namun, sekarang Seva. Jelas semua terasa berbeda karena keduanya bukan orang yang sama.

Lama-kelamaan Rey terbiasa. Pelukan itu menjadi nyaman. Apalagi ketika Seva sedikit membalasnya. Gadis tersebut masih menangis─membasahkan kemeja yang Rey pakai─tapi tak sehisteris tadi. Dengan telaten, Rey mengelus pelan punggung Seva. Harap-harap agar gadisnya berhenti menangis.

"Saya nggak menuntut kamu untuk segera berubah. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik butuh waktu. Jadi, saya ngerti dan saya minta, jangan pernah mikir kayak gitu lagi. Saya nggak pernah merasa disusahin sama kamu."

"Kemarin, Om bilang, Om terganggu," sela Seva pelan.

"Iya, kemarin saya merasa terganggu tapi saya nggak pernah bilang saya keberatan. Sekarang juga begitu." Tanpa sadar, Rey mengeratkan pelukannya. "Sekali lagi saya bilang, kamu nggak pernah nyusahin saya. Saya ikhlas ngelakuin ini semua buat kamu. Jangan pernah nganggap diri kamu beban lagi, saya nggak suka." Rey merenggangkan dekapannya untuk memandang wajah Seva. "Bukan cuma kamu yang harus ngimbangin saya, tapi saya juga harus ngimbangin kamu. Namanya kerja sama dan semua hubungan perlu itu. Mungkin, sekarang kamu belum pernah kelihatan bantu saya, tapi saya yakin, kamu akan ngelakuin itu nanti. Saya percaya sama kamu."

Tetes demi tetes air mata Seva semakin deras. Namun, tidak ada sedu yang ia keluarkan. Anak dara itu lalu berujar, "Seva nggak bisa janji lagi tapi Seva bakal usaha, buat jadi pasangan kayak yang Om mau."

Rey terkekeh pelan. Kepalanya menggeleng. "Kamu nggak perlu jadi pasangan kayak yang saya mau. Itu nggak adil dan saya belum tentu bisa ngelakuin hal yang sama. Yang saya mau, kamu jadi diri sendiri dan eratin kecocokan sama saya. Kita berjuang sama-sama di sini."

( WAF - 22. Momen Ketika Pasangannya Menjatuhkan Air Mata )

Mau sebelum revisi dan setelah revisi, M suka banget chapter 22. (๑♡∀♡๑) Sayangnya yang setelah revisi jadi dua kali lebih pendek. Hikhik.

The simple but weird,
MaaLjs.

6 Oktober 2019 | 03:07

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro