Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya Gusion tidak terlalu suka pesta dengan banyak orang.

Ia lebih suka dalam kelompok kecil, atau sendirian menikmati minuman dan kudapannya. Melihat keadaan di luar, khususnya malam hari. Ia lebih suka melihat taburan bintang dan langit gelap daripada keberisikan dalam perayaan. Melihat langit rasanya membuat rileks dan tenang.

Kalau sendiri, ia bisa memikirkan banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang dirinya sendiri dan tentang seorang perempuan yang masih mengisi hatinya.

Dia adalah mantan pacarnya sejak SMA. Tidak bisa juga disebut mantan, karena ia tidak mengatakan putus secara resmi. Meski begitu, dulu ia memilih menghilang sementara waktu agar bisa menjernihkan pikiran. Namun, ia tidak menyangka bahwa dalam seminggu itu juga ia ditransfer keluarganya ke lembaga persiapan kuliah di luar negeri. Belum sempat ia mengatakan akan pergi, ponselnya diambil orang tuanya, berdalih ia harus fokus agar lolos ujian masuk dan tidak boleh mengurus hal-hal yang tidak berguna, termasuk menghubungi pacarnya. Ketika ia baru tahu media sosial, ia mencari nama pacarnya, tetapi nihil. Oleh karena itu, ia pun menyerah.

Sampai di luar negeri, ia berhasil mendapatkan ponselnya lagi. Namun, ia diberi tahu temannya saat menanyai kabar tentang sang pacar. Katanya, ia sangat membencinya dan tidak ingin tahu tentangnya lagi. Hatinya nyeri, penyesalan menusuknya berkali-kali. Andai saja semua ini tidak terjadi.

Setiap hari adalah penyiksaan karena kerinduan. Sudah tak terhitung ia marah dan menyakiti diri sendiri karena kebodohan yang ia lakukan. Namun, akhirnya ia mulai menerima dan fokus pada studi. Saking pedihnya rindu pada perempuannya, ia harus menekan rasa itu dengan belajar dan belajar. Didaftarkan untuk kuliah manajemen, ia malah membelot ke jurusan Desain Grafis dan membuat keluarganya gempar. Ia berkata ia akan meneruskan hobinya lebih serius dan berfokus pada desain visual atau ia tidak kuliah sama sekali dan menjadi deadwood di luar negeri. Keluarganya pun tidak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan ia kuliah di sana.

Setelah lulus, barulah ia mengambil diploma untuk Manajemen dan Bisnis. Hal ini membuat keluarganya lega. Mereka pikir anak bungsu Paxley ini tidak peduli pada perusahaan keluarga. Melanjutkan kuliah lagi untuk Desain Grafis sampai di tengah jalan menuju gelar magister, ia memutuskan untuk pulang ke rumah setelah menyelesaikan tesis karena persiapan menjabat di Paxley Inc.

Hampir sepuluh tahun ia habiskan hanya untuk pendidikan. Namun, tetap saja hidupnya, pikirannya tertuju pada orang yang sama. Sampai sekarang. Meski teman-temannya sering mencarikan perempuan lain, ia tidak pernah menggubris. Tanpa pacarnya, ia merasa seperti dalam mode autopilot. Melakukan rutinitas berulang dan menghilangkan seluruh perasaan.

"Oi, jangan melamun. Nah, minum dulu." Seorang pria di sampingnya menuangkan bir dalam gelas di depannya. Namun, Gusion memandang tanpa minat. Di dalam kebahagiaan dan suka cita perayaan, ia tenggelam dalam pikiran sendiri.

"Thanks, Valir." Begitu saja tanggapannya. Ia beralih menatap rekan-rekannya yang lain bernyanyi dengan suara sumbang karena mabuk. Satu orang memainkan tamborin, yang lain memegang mikrofon bersama dan berteriak.

"How long this is been goin' ooooooooonnn aaaaaaaaa!"

"You been creepin round on meeeh, when you calling me baybeeeh!" Dan suara-suara tidak jelas lainnya keluar dari mulut mereka, lalu terbatuk-batuk karena bernyanyi sampai menekan tenggorokan.

Ia melirik sekali lagi minuman yang dituangkan Valir. Ia tidak ingin minum alkohol. Ia ingin ke bawah dan memesan minuman non-alkohol. Duduk sendiri di meja bartender sepertinya tidak buruk. Ia pun berdiri, berkata pada Valir yang mengetikkan sesuatu di ponsel, "Aku ke bawah."

"Ooh, oke. Nanti kembali ke sini!" sahutnya, kemudian kembali fokus pada ponsel. Gusion tidak menjawab dan beranjak ke luar ruangan. Ia merasa sesuatu menahannya untuk tidak mabuk dan turun ke bawah. Seperti ada yang berbisik, tetapi ia tak tahu itu apa dan siapa.

Saat Gusion hendak ke meja bartender, ia tertegun. Ia melihat perempuan berkemeja putih dengan rambut burgundinya yang digulung berantakan, berkali-kali terantuk meja. Lekas-lekas ia mendekat, melewati orang-orang yang hendak melantai. Seperti ia mengenal rambutnya yang kini di bagian pucuk terlihat warna asli, berwarna hitam. Ketika kepala si perempuan naik lagi dan hendak jatuh melewati meja, ia berhasil menyangga tubuhnya. Dan benarlah sangkaannya. Ini adalah perempuan yang selama ini ia rindukan, dan masih ia cintai.

"Lesley."

Di saat ia menyebutkan nama itu, hatinya yang selama ini seperti mati terbelenggu pun mulai terasa getarannya.

*

"Orang ja-hat, kau orang jahat, kan? Kau mem-bawaku ke mana?"

Gusion tidak menanggapi. Ia hanya fokus saja pada jalanan di hadapan. Selama Lesley tidak berbuat aneh-aneh, ia masih bisa konsentrasi.

"Kau benar or-rang jahat, ya!"

"Lesley, tenanglah. Sebentar lagi sampai."

"Apa? Apa ki-ta akan sampai ke akhirat? Ke surga? Wah, aku mau!"

Gusion hanya menggelengkan kepala keheranan. Memang orang mabuk biasanya melantur, tetapi khusus Lesley yang baru pertama kali ia lihat sedang teler seperti ini, terasa sangat aneh, sekaligus lucu.

Ia melirik dashboard mobil, jam di sana sudah menunjukkan jam 10 malam lewat. Mau tak mau ia membawanya ke apartemennya karena tidak tahu di mana Lesley sekarang tinggal. Terlalu beresiko apabila memulangkan ke rumah orang tuanya. Mungkin saja ia akan dimarahi karena pulang dalam keadaan mabuk. Lagipula, ia lupa di mana orang tuanya tinggal karena sudah lama sekali tidak berkunjung.

Gusion berhenti saat lampu lalu lintas berubah merah. Beralih pandangan pada Lesley yang kembali terpejam dan mendengkur halus. Tak sadar di wajahnya terlukis senyum tipis.

Hampir sedekade Gusion tidak bertemu, tetapi ia masih ingat dengan perempuan ini. Ia masih ingat dengan rambut panjangnya yang terkepang warna violet, menarik perhatiannya sejak pertama bertemu. Ia masih ingat saat pertama kali perempuan itu tersenyum untuknya saat ia membantu mengambilkan bola basket dalam keranjang di atas lemari tinggi saat pelajaran olahraga. Dengan seulas senyum itu saja, ia langsung yakin bahwa ia tidak bisa melewatkan Lesley begitu saja tanpa menjadi miliknya.

Sekelebat nostalgia membuat Gusion tersenyum, kemudian kembali ke kenyataan bahwa perempuan ini mungkin tidak tahu—atau belum, mengenai perasaannya. Mengenai hilangnya ia sehabis pertengkaran sebelum ujian sekolah. Mengenai ia yang segan untuk menghubungi lagi bertahun-tahun ke belakang. Kini, perempuan ini sudah ada di sampingnya. Dengan keadaan yang sudah kondusif, ia bertekad tidak menyia-nyiakan kesempatan terakhir. Mendapatkan kekasihnya kembali, atau tidak pernah terjadi.

*

Bahunya terasa cukup pegal saat membawa Lesley dari tempat parkir, melewati lift, sampai ke apartemennya yang terletak di paling ujung lorong. Namun, kelelahan yang dirasakan tidak sebanding dengan kelegaan karena menemukan kembali orang yang ia cintai. Setelah ia merebahkannya di ranjang, ia menaikkan selimut sampai seleher. Rambut panjang perempuan ini pun ia rapikan sedikit.

"Sekarang apa?"

Gusion memijit kepalanya, ia berpikir apa saja yang harus dipersiapkan apabila nanti Lesley terbangun dan mungkin saja mendapatkan "jackpot". Ia berjalan ke lemari nakas, ada wadah kecil warna merah. Diperiksa di dalamnya, ia mengeluarkan obat sakit kepala, diletakkan di atas meja. Ia keluar kamar, memeriksa dapur dan mengambil botol minum dari dalam kulkas. Ia ambil sebotol air mineral, kembali ke kamar dan meletakkan di atas nakas samping obat.

Melipat tangan dan meletakkan jari di dagu, ia berpikir apa lagi yang harus ditambahkan. Ia sendiri jarang—hampir tidak pernah mabuk karena ia tidak suka rasa pengar dari alkohol. Selain itu, melihat pamannya yang membuncit karena alkohol, ia merasa ngeri apabila ia berakhir sama karena kecanduan minuman memabukkan itu. Pernah ia mabuk, tetapi sampai kepala saja yang seperti mau meledak. Karenanya ia masih memikirkan apa saja yang perlu disiapkan.

"Mungkin sudah cukup." Ia berkata dengan nada lirih. Ia beralih pada lemari, mengeluarkan selimut dan melihat Lesley sekali lagi—wajahnya terlihat damai saat tidur.

"Masih cantik seperti dulu." Gusion senyum-senyum sendiri, kemudian berpaling ke pintu dan menurunkan sakelar lampu ke bawah.

"Selamat tidur, Ley-ley."

Ia keluar, memilih tidur di sofa ruang tamu.

Merapikan bantal, ia merebahkan diri, mencari posisi nyaman. Dinaikkan selimut sampai menutupi bahu, Gusion memejamkan mata. Ia menobatkan hari ini sebagai hari terbaik yang pernah ia alami.

TBC

hae maaf otor baru apdet huhuu otor kmren2 lg keranjingan maen criminal case save the world aaaaaaaa storylinenya mantep gais😭
tapi skrg otor lg males maen bikos udh nyari spoiler dluan hahahaa

otor lg demen ama Elliot anjir jamet tp dia unyuk gais dan seumuran otor jg ternyata, maap ni otor sembunyi2 dr pacal tkut dia cembokur ama chara 2d😭

lucuk banget gais kyaaaaa😆😆😆

oiya itu tmen2 nya gusion lg nyanyi lagu how long nya charlie puth😂

dahlah itu aja terima kasih sdh mau baca otor senang sekali, tunggu otor apdet lg ya😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro